Share

Bab 4

Hanya Sandiwara

Kumandang adzan subuh, membuat Izzah langsung terjaga. Dia pun kemudian mengecek semua pakaiannya, dan begitu lega, karena ternyata masih utuh, matanya pun mencari keberadaan suaminya itu, dan tentu saja saat itu, Alif masih bergelung dengan selimutnya di sofa yang empuk itu.

Hati Izzah kembali lega, karena Alif ternyata tak membohonginya. Dia pun akan segera ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, setelahnya dia pun melaksanakan salat subuh dengan khusyuk.

Setelah selesai shalat dan berzikir, Izzah kemudian berusaha membangunkan Alif, untuk shalat subuh. Dia pun menoel kaki suaminya itu berkali-kali.

"Lif, ayo bangun! Nggak shalat subuh kamu?!" ucap Izzah yang mulai kesal karena tak direspon sama sekali.

Akhirnya Alif pun membuka selimut yang menutupi wajahnya dan menguap.

"Apaan sih? Masih malam gini kok sudah ganggu orang tidur!" ucap Alif sambil mengerjap.

"Malam katamu?! Ini sudah waktunya shalat subuh, kamu nggak shalat?" kata Izzah sembari berkacak pinggang.

"Nanti sajalah, gampang itu! Sekarang aku masih ngantuk banget ini!" sungut Alif sembari akan menutup kembali kepalanya dengan selimut.

Namun, dengan sigap tangan Izzah memegang selimut itu, dan malah membukanya.

"Shalat kok nanti sih! Waktunya keburu habis! Di suruh shalat kok malah mau tidur lagi!"

"Kamu ya...!" Tangan Alif sudah melayang dan akan menampar Izzah, namun diurungkannya.

"Apa! Mau nampar?! Silahkan, kalau kamu berani!" Tak mau kalah, Izzah pun kini melotot sempurna ke arah suaminya.

"Kalau sudah tak ingat apa kata Bapak, sudah pergi aku dari sini! Ingat...jangan pernah mengatur hidupku, jaga privacy-ku, dan aku pun akan begitu! Pernikahan kita hanya untuk menyenangkan Papamu saja  'kan? Sudah sana pergi, sebelum aku tak bisa lagi mengendalikan emosi!"

Alif kemudian merebut kembali selimut itu, dari tangan Izzah dan kembali tidur, dan menutupi seluruh badannya. Sementara itu, Izzah pun kemudian keluar kamar.

Bukannya dia lemah dan takut dengan Alif,  tapi dia hanya tak ingin semua sandiwara ini cepat berakhir, apalagi saat ini Papanya kan sedang sakit. Jadi di depan Papanya, pernikahan ini haruslah terlihat sempurna.

Setelah kembali menetralkan emosinya, Izzah pun menuju kamar Papanya. Kebiasaan yang dilakukan Izzah setelah shalat subuh adalah mengajak Papanya jalan-jalan, dia akan mendorong kursi roda Pak Hasan, keliling kompleks.

"Loh...kamu ngapain di sini, Zah?" tanya Pak Hasan saat melihat Izzah masuk kamar.

"Kok pakai nanya sih, Pa? Kan setiap habis subuh, kita selalu keliling kompleks 'kan? Apa saat ini papa lagi kurang enak badan? Atau kelelahan karena pesta semalam?" tanya Izzah.

"Nggak kok, setelah acara semalam justru rasanya, badan papa ini makin fit saja, Zah. Semangat hidup juga makin meningkaat, Papa ingin berumur panjang, agar bisa melihat cucu-cucu papa nantinya.

Lah kamu sepagi ini ngapain ke sini? Sekarang kan kamu sudah menikah, masih pengantin baru, lagi. Jalan-jalan keliling kompleksnya ditiadakan saja mulai sekarang, agar secepatnya Papa ini bisa dapat cucu, hehehre," goda Pak Hasan sambil tertawa.

Mendengar perkatan Pak Hasan itu, hati Izzah langsung mencelos, dia amat bersedih dan merasa bersalah. Ternyata Papanya itu, amat senang dengan pernikahan ini, dan ingin segera mempunyai cucu.

Padahal bagi Izzah dan juga Alif, semua ini hanyalah sandiwara, untuk menyenangkan hati orang tua mereka saja. Entah sampai berapa lama lagi dia bisa melakkonkan semua sandiwara ini. Izzah kini hanya bisa berdoa, agar Pak Hasan selalu diberi umur panjang, hingga bisa terus membersamainya.

"Hey...kok malah bengong sih? Pengantin baru itu, pamali kalau bengong, lagi mikirin apa sih?" goda Pak Hasan, sambil menepuk tangan putri semata wayangnya itu.

"Hemmm...papa sok tahu deh, siapa juga sih yang nglamun! Ayok ah, sekarang kita jalan-jalan!" ucap Izah berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Eits...tapi kok rambut kamu nggak basah sih, Zah? Apa kamu memikirkan hal ini?" Pak Hasan kembali bertanya pada putrinya.

"Emmm...nggak lah, Pa. Anu...itu...Izzah kan lagi datang bulan, hehehe," jawab Izzah salah tingkah.

"Ya sudah nggak apa-apa, biasanya kalau awal menikah gini dapat haid, malah bakal cepet nanti punya anaknya. Kayak Mamamu dulu. Sudah, sekarang kamu masuk kamar lagi sana, meski sedang berhalangan, suami bakal senang kalau di temani."

"Enggak ah, Pa. Mas Alif kecapekan karena pesta semalam, jadi setelah shalat subuh, dia tidur lagi.

Sudah ah, ayok jalan-jalan Pa. Meski sudah menikah, tiap hari wajib kita tetap jalan-jalan, Pa. Karena sampai kapanpun Papa tetaplah jadi prioritasku.

Aku ingin Papa kembali sembuh, agar nanti Papa bisa membantu merawat anak-anakku..Ok!" ucap Izzah sambil mendorong kursi roda itu keluar.

"Papa tahu, kamu sangat sayang sama Papa, tapi ingat, setelah menikah, seorang istri itu, harus mendulukan suaminya dan menuruti semua keinginannya. Jika suamimu melarang sesuatu, maka harus kamu ingat itu.

Papa mulai sekarang ini jaddi nomer dua untukmu Zah. Jaga pernikahan ini sekuat tenaga, karena sesungguhnya Allah itu sangat membenci perceraian. Lewati semua cobaan di awal, insyaallah semua indah pada akhirnya, karena Papa tahu, kamu dan Alif saat ini masih butuh penyesuaian.

Mulai sekarang, Papa pun janji, akan lebih semangat terapi dan minum obat, serta makan yang bergizi. Asal kamu juga janji, secepatnya memberikan Papa cucu. OK!" ucap Pak Hasan penuh semangat.

Sekali lagi, ucapan Pak Hasan itu, membuat hati Izzah teriris

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status