Keesokan harinya, Aisyah sudah mendingan, jadi dia meminta kepada suster, untuk mencabut jarum infusnya.Semalaman Hanan tak pulang, karena kasihan kepada Arash, yang terus menjaga Uminya itu."Beneran sudah tidak apa-apa Ustadzah?" tanya Hanan, menatap Aisyah yang bersikeras ingin segera melihat kondisi Akbar.Aisyah mengangguk, "Iya Ustadz, saya sudah sehat kok." jawab Aisyah, segera menunduk, saat Hanan terus memperhatikan dirinya."Ya sudah, nanti saya antar ke ruangan Akbar, karena tadi malam, dia sudah di pindahkan ke ruang paviliun oleh Abinya." ucap Hanan, yang belum memberitahukan hal itu, kepada Aisyah."Ooh, jadi sudah di pindahkan ya?" Aisyah mengulang ucapan Hanan, dan merasa maklum, mantan suaminya pasti merasa tak nyaman berada di ruang perawatan kelas 2 tadi malam."Arash mana?" tanya Hanan, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan UGD, yang terlihat kosong."Katanya mau mandi tadi, Ustadz." jawab Aisyah, merasa canggung karena hanya berduaan saja dengan Hanan."Ust
Akhirnya Akbar pun sembuh, tapi begitu sembuh, dia meminta kepada Uminya, untuk pulang ke rumah Abinya yang dulu."Kita ikut pulang ke rumah Abi kan, Umi?" tanya Akbar dengan wajah polosnya.Farhan yang mendengar itu, hanya diam tak berani berkomentar apapun, takut salah di mata Aisyah.Aisyah menghela nafasnya sejenak."Akbar sayang? Akbar ingin ikut pulang ke rumah Abi?" tanya Aisyah, kemudian duduk di hadapan putranya itu, dan mengelus kepalanya lembut.Akbar segera mengangguk dengan cepat."Mainan Akbar kan masih di rumah Abi semua.." ucapnya."Jadi karena mainan? kalau hanya karena mainan? Umi juga bisa belikan Akbar mainan yang baru." jawab Aisyah, sedikit merasa lega.Akbar segera menggeleng."Tapi Akbar juga kangen dengan kamar Akbar yang dulu, terus kangen teman-teman Akbar juga." jawab anak 9 tahun itu, tampak memohon kepada Uminya.Farhan sangat senang, karena putranya itu ingin ikut dia pulang. Tapi dia tak berani berkomentar apapun, sementara ini, ia ingin tahu, apa jawab
"Putra gak di ajak Mas?" tanya Gendis, yang melihat suaminya itu tengah bersiap, untuk mengajak Akbar dan Arash, jalan-jalan sore itu.Akbar dan Arash sudah hampir satu minggu berada di rumah Abinya, dan dua hari lagi mereka sudah harus kembali bersama Uminya, karena sekolah sudah akan kembali masuk."Ikut saja kalau kamu mau." jawab Farhan, sembari menyisir rambutnya, kemudian mengenakan jaket, hadiah ulang tahun dari Aisyah dulu."Jaket sudah kusam begitu, masih saja di pakai." ucap Gendis, terlihat tak suka dengan penampilan suaminya."Kamu mau ikut atau tidak?! Aku mau ajak Akbar dan Arash untuk mencari peralatan sekolah mereka, dan juga nonton pertandingan bola di stadion!" ucap Farhan kesal, karena istrinya mencela penampilannya.Gendis mengerucutkan bibirnya malas. Ia paling tidak suka dengan pertandingan bola, dan lagi suaminya hanya akan mencarikan peralatan sekolah untuk anak-anaknya."Jangan terlalu malam pulangnya Mas!" peringat Gendis, kemudian keluar dari kamar, dan meli
"Ibu Gendis! Adek Putra berdarah-darah!" teriak Akbar yang siang itu tengah bermain di ruang tengah, bersama Kakak dan Putra juga.Gendis yang tengah tiduran sambil bermain ponsel terkejut mendengar teriakan Akbar.Bergegas dia bangkit dari tempat tidurnya, menuju tempat Putra bermain tadi."Apa yang kalian lakukan terhadap anakku!" teriak Gendis, segera mendorong Akbar dan Arash yang ingin membantu Putra.Tanpa mendengar penjelasan dari Arash dan juga Akbar, Gendis segera menelepon suaminya yang pergi ke kantor."Mas! cepatlah pulang, huhuhu... Putra Mas, Putra di pukuli oleh anak-anak kamu hingga berdarah-darah!" tangis jerit Gendis, saat menelepon suaminya.Farhan yang mendengar ucapan istrinya terkejut."Bagaimana mungkin?" serunya tak percaya."Cepatlah ke rumah sakit sekarang juga, aku sudah pesan taksi untuk ke rumah sakit." seru Gendis, kemudian menutup teleponnya.Sebelum berangkat, ia menatap tajam Arash dan Akbar yang terlihat ketakutan, karena telah di tuduh menyakiti Putr
Hanan tak dapat memejamkan mata nya malam ini. Karena besok adalah waktu yang ia tunggu-tunggu, untuk jawaban lamarannya terhadap Aisyah.Memang setelah itu, ia jadi kerap menyambangi rumah panti, untuk sekedar bermain bersama anak-anak, dan juga Fatimah, yang semakin hari semakin lengket saja dengannya.Hanan sungguh merasa gemas dengan gadis kecil berusia 3 tahun itu, tingkahnya selalu saja membuatnya tertawa..Tetapi, walau ia sering berkunjung ke Panti, Aisyah tidak mau menemuinya secara khusus. Jika kebetulan bertemu, perempuan itu hanya akan menyapa sekedarnya saja.'Ahh, lagipula apa yang kau harapkan Hanan! dia kan masih orang asing untukmu!' gerutu Hanan dalam hati, saat melihat Aisyah yang selalu terkesan acuh kepadanya."Ya Allah, mudah-mudahan engkau mudahkan jalan kami, agar bisa berjodoh selamanya." gumamnya dalam hati, menantikan hari esok, yang rasanya begitu panjang menurutnya.Sebelas dua belas dengan Hanan, Aisyah sendiri juga tampak gelisah malam itu.Pikirannya b
Semua kelengkapan yang akan mereka bawa ke Singapura untuk berobat Putra telah siap."Sekarang keinginanmu untuk ke luar negeri sudah terkabulkan Gendis." ucap Ambar, sambil membantu anak dan menantunya itu, dengan wajah yang kesal.."Mama..?" Farhan menegur Mamanya itu, supaya tidak semakin memperkeruh keadaan."Memang benar kan? Selama ini dia terus saja mendesakmu untuk jalan-jalan ke luar negeri, padahal sudah tahu, kalau suaminya sedang sibuk dengan pekerjaannya!" ucap Ambar, karena putranya sering pulang dan menginap di rumahnya, tidak tahan dengan rengekan sang istri, yang selalu berujung dengan pertengkaran.Gendis hanya diam saja tak menyahut."Jam berapa besok pagi kalian berangkat ?" tanya Drajat."Subuh Pa, besok kami akan di dampingi satu tim medis yang di utus oleh pihak rumah sakit, karena memang Gendis yang memintanya." Jelas Farhan lagi.Ambar menghela nafasnya pelan, ia sangat tahu, jika saat ini Farhan sedang sangat capek, karena kesibukannya yang baru di angkat seb
Farhan terlihat meremas rambutnya dengan wajah yang memerah karena marah, sekaligus sangat kecewa dengan istrinya.Tadi dokter memberitahunya, bahwa golongan darah Putra tidak sesuai dengan Ayah, ataupun Ibunya.Golongan darah Farhan adalah O+, sedangkan Gendis A, tapi kenapa putra memiliki golongan darah B?"Apakah anak ini bukan anak kandungan kalian? atau dia berbeda Ibu atau Ayah, mungkin?" tanya dokter, membuat Farhan seketika sadar.Ia langsung keluar dari ruangan dokter, tanpa menjawab pertanyaan itu.Segera ia tarik Gendis keluar ruangan, menuju taman rumah sakit untuk berbicara."Kamu dengar sendiri tadi dokter bilang apa?" tanya Farhan, dengan mata yang memerah."Katakan Gendis! Anak siapa sebenarnya, Putra?!" teriak Farhan marah, karena selama ini ia tak memperhatikan dan tak memperdulikan apapun tentang Putra, karena yang ia tahu, Putra adalah anak kandungnya sendiri, ia begitu menyayangi Putra selama ini. Jadi dia benar-benar tak menyangka, jika akan mendapatkan kejutan s
"Kamu sudah siapkan maharnya kan, Nak?" tanya Umi Hanan, berbisik kepada putranya itu.Hanan mengangguk cepat, jangankan mahar, ia bahkan sudah menyiapkan pakaian ganti, untuk menginap di rumah Aisyah."Syukurlah.." Jawab Umi Hanan, terlihat lega.Hanan putranya memang terbilang sudah mapan dalam segi ekonomi. Dulu, saat istrinya belum meninggal, Hanan memang sudah merintis beberapa usaha warung makan, dan juga percetakan, yang sekarang sudah mulai berkembang.Saat ia pergi untuk menuntut ilmu lagi di negeri orang, Hanan menitipkan semua usahanya itu, kepada alumni santri pesantrennya, yang sudah ia percaya.Dan syukur Alhamdulillah, nyatanya usahanya sekarang semakin maju, dan berkembang.Jadi untuk urusan nafkah, dan mahar, ia sudah tidak meminta lagi kepada kedua orangtuanya."Sebagai rasa hormat kami terhadap calon mempelai wanita, silahkan Nak Aisyah dan Hanan, untuk berembuk masalah mahar. Kira-kira Nak Aisyah mau minta mahar berapa, kepada calon suaminya." ucap Abah Ibrahim.Ai