“Agh, sakit, Mei, astogeee, jangan kuat-kuat, woi!” Sekujur badan Aya digosok pakai batu kali. Pagi ini adalah hari pernikahannya dengan bodyguard kesayangan. Karena itu semua noda dan dosa yang melekat dalam diri Aya harus dihapuskan.“Supaya cantik dan halus kulitnya nanti, Tuan Putri. Jadi, Tuan Saka pun semakin klepek-klepek dengan tuanku yang jelita dan ayu mempesona.” Mei masih menggok telapak kaki Aya dengan sebongkah batu. “Pak Saka udah naksir Aya dari sejak Aya burik, eh, nggak pernah burik sih Aya dari dulu. Aduh, sakiiit! Itu jerawat punggung tolonglah dikondisikan.” Nyuut, batu kali menggiles jerawat belum mateng sampai pecah. “Selesai!” Mei memberikan kain panjang untuk sang putri. Habis itu Aya didandanin oleh seorang perias yang sangat terkemuka. “Wow, ngalahin MUA di dunia manusia ini.” Aya melihat wajahnya jadi berbeda. Pakai lipstik merah delima jadi terlihat lebih dewasa dari usianya. Terakhir sang putri menggunakan baju kebesaran untuk pernikahan ala kerajaan m
Bagian 62 Bulan MaduJadi setelah Aya memperoleh kesadarannya, apa yang dia lakukan? Meratap menangis di depan cermin, sampai luntur eye liner saking banjir air mata Aya yang turun. Saka sampai tutup telinga. Nggak selesai-selesai nangisnya dari tadi. “Bikin malu aja, hiks,” gumam Aja sambil sedot ingusnya yang keluar. “Sudahlah, Dinda, itu, kan dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Di luar jaringan,” jawab Saka. Padahal dia udah ready untuk malam pertama, tapi malah istrinya mewek duluan. Nggak jadi-jadi malam pertama, ketunda teros. Mana Mei Mei datang lagi membujuk sang putri. “Udah nikah tapi masih juga jomlo. Nasib punya istri masih bocah.” Saka duduk di tepi ranjang, melihat Mei membujuk tuannya. “Tuan Putri, maafkan hamba. Hamba yang salah memberikan obat. Hukum saja hamba karena memang pantas, hiks.” Ikut nangis Mei Mei. “Udah kejadian Mei, mau ditarok di mana mukak ini, huahahahahaha, hiks, hiks, hiks.” Malah paduan suara nangis bersama. Makin kencenglah Saka tutup te
Sampai semalam suntuk Aya sama Saka mengurus laporan yang ada di depan matanya. Entahlah, kayaknya sengaja Abhiseka menyusahkan putri dan menantunya. Mungkin ada maksud lain yang tersembunyi. “Lanjut besoklah, Kang Mas, masih banyak ini.” Aya menguap mangap lebar. Mei apalagi yang nungguin dia dari tadi. Oleh sang putri Mei disuruh istirahat duluan. Sepasang suami istri baru menikah itu masuk ke kamar, merebahkan diri dan lelap dalam nyenyak masing-masing. Malam pertama? Hanya dalam angan-angan saja. “Liar sekali pikiranku.” Saka menggeleng, tapi bayangan ia menduduki singgasana sang prabu terus berjalan-jalan di kepalanya. “Tidak, tidak mungkin. Bisa-bisa Aya marah dan tak peduli lagi padaku. Mendapatkan dia itu sangat susah!” Saka terus berpikir dalam gelapnya malam di kerajaan Gunung Kalastra. Sudah lama dia menjadi pengawal sang prabu. Hidup, mati, dan bahkan pernikahannya pun diatur oleh Abhiseka. Memang, hal demikian merupakah bayaran atas janji setianya dulu saat diangkat
Mei menangis melepas kepergian tuannya. Lagi pula Aya dan Saka sedang tidak ingin diganggu. Ingin bebas-sebebas-bebasnya seperti pasutri baru nikah pada umumnya. Nggak ada campur tangan orang tua di dalamnya. “Udah, nanti kalau ketemu wilayah kekuasan baru datang, ya, Mei. Tapi nggak janji kapan sih. Pokoknya nanti Aya kabarin.” Wanita bermata biru itu menenangkan sahabat yang telah menemaninya menjaga Amira. “Janji, ya, Tuan Putri. Hamba tunggu di sini, hiks.” Tangis Mei makin jadi. “Cari jodoh, Mei, jadi nggak jomlo lagi. Kirain kemarin bakalan sama Pak Cakra, rupanya dia kepincut janda dari pada anak gadis.” Aya melihat Cakra dan Saka yang sedang salam perpisahan sambil pukul perut, lakik banget pokoknya. “Bye, miss you all.” Aya dadah-dadah manja sama semua yang mengantar, termasuk gusti prabu dan ratu yang menarik napas berat. Sebenernya udah biasa Abhiseka melepas anaknya yang banyak untuk berumah tangga. Hanya saja sama Aya ini agak beda dari biasanya. Jalan-jalan sepasang
Pagi menjelang di dalam kamar hotel, sudah dua bulan dan keduanya belum juga pergi. Namun, kali ini baik Saka atau Aya sama-sama berkemas. Sudah waktunya menjelajah karena petugas hotel mulai mencurigai mereka berdua yang selalu membayar pakai daun emas. “Kita ke mana, Kang Mas?” Aya mengikat rapi rambutnya. Saka sendiri masih menatap ke luar jendela. Ia perhatikan mobil yang macet karena jam kerja serta sekolah baru saja dimulai. “Tidak mungkin juga kembali ke gunung. Kita cari tempat baru saja. Yang jauh dari sini. Sudah selesai?” Pengawal itu melirik istrinya yang memoleskan lipstik merah delima di bibirnya. “Udah, yuk, walau belum jelas pergi ke mana?” Sang putri menarik tangan suaminya. Mereka berdua keluar dari kamar hotel, mengunci dengan kartu, dan tentu saja jadi pandangan beberapa pelayan yang sedang membersihkan lorong hotel. Kadang-kadang kamar itu ada orang kadang nggak, disangkanya hantu yang tinggal di hotel mewah tersebut. Lalu keduanya mengembalikan kartu dan memb
“Ya, kan ceritanya emang begitu.” Aya meminta Saka duduk di sebelahnya. Putri malu dan pengawal pribadinya juga memperhatikan keduanya. “Ya, lanjutkan ceritanya kalau begitu.” “Putri Malu, kan, umurnya udah lebih tua daripada Ayahanda. Jadi udah saatnya naik ke langit, gitu katanya.” “Nirwana maksudnya?” Saka membenarkan maksud perkataan istrinya. “Nah, iya itu. Jadi kedatangan kita bisa dikatakan tepat waktu, Kang Mas. Dia mau pergi terus dia titipkan istana dan pulau ini sama kita. Gimana, mau, kan? Kita juga belum ada tempat tinggal. Di sini hening banget, cocok sama kita yang introvert parah.” “Memang dia tak punya keturunan?” tanya Saka dan Aya menggeleng saja. “Di sini nggak ada jantan. Adanya kupu-kupu betina aja makanya istana dibangun indah banget.” “Apa nanti tidak akan terganggu kupu-kupu di sini dengan dua ekor harimau seperti kita?” “Masa depan nggak ada yang tahu, Kang Mas. Nggak ada salahnya juga dicoba dulu. Kalau cocok kita lanjut kalau nggak cocok kita pergi
Hari pertama berada di istana putih, Saka dan Cahaya masih menjelajahi seluruh istana dan kerajaan. Tidak dengan terbang, melainkan keduanya berjalan kaki. Tidak ada pasukan khusus yang mengawal, mereka berdua saja. Kecuali kupu-kupu yang bentuknya mungil. Kerajaan itu memang sangat kurang dari segi penjagaan keamanan. Oleh karenanya Abhiseka melindungi dari jauh. “Sepi banget ya, di sini.” Cahaya menarik roknya yang berwarna putih berkilau. Tidak ada lagi sepatu atau sandal seperti di dunia manusia. Ia tak menggunakan alas kaki agar lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. “Sepertiya karena terlalu lama ditinggalkan. Terlalu sepi, mengalahkan Gunung Kalastra.” Bahkan Saka mengeluarkan asap dari dalam mulutnya, cuaca yang dinginnya mengalahkan kutub utara walau tanpa hujan salju. “Tapi walau sepi, ternyata luas juga tempat ini,” sahut sang ratu yang belum melompat dari satu tanah terbang ke tanah lainnya. “Benar, melebihi luas tempat tinggal kita. Gusti Prabu menyerahk
Cahaya menjejakkan kakinya di tanah yang rumputnya berwarna hijau dan ungu. Di atas rumput itu mulai ditutupi butiran es. Bukan karena salju yang turun, tetapi memang demikianlah adanya wilayah kerajaan itu. Sambil menutupi dingin di tubuh, Cahaya mengeluarkan api biru dari mulutnya. Lalu tak lama kemudian, sebuah jubah putih terbang ke arahnya dan menutupi tubuh sang ratu yang tetap nekat pergi ke wilayah terlarang. “Bulu harimau?” gumam Aya melihat corak harimau putih sangat jelas pada jubah itu. “Apa harimau pernah tinggal di sini?” Sang ratu masih belum banyak tahu tempat yang ia tinggali. Bagaimana kelamnya sebelum menjadi sangat indah. Secara tak sengaja, telapak kaki Cahaya menginjak sebuah tulang yang tidak rapuh. Ia mengaduh dan melihat ke bawah. Tulang yang mencuat dari dalam tanah itu, Aya tarik hingga keluar semua dan membuatnya terkejut. “Tulang harimau?” Semakin penasaran Aya dengan apa yang tersembunyi di kerajaannya. Sang ratu ingin memanggil Saka, tapi yang ada dia