Cempaka menutup kepalanya dengan dua tangannya, ia berhasil menghindar dari ledakan bom tangan karena jatuh ke dalam parit. Ia menunggu beberapa saat, hingga benar-benar ia pastikan serdadu tadi telah pergi meninggalkan tempat itu. Cempaka berjalan secepat dan setenang mungkin, mencari suaminya yang sesaat terpisah. Ia membalikkan tubuh demi tubuh, sebab warna baju itu telah sama-sama menghitam. Telinganya menangkap suara rintihan kesakitan. Ia bergegas menuju ke sana, dan Cempaka temukan Razi tengah kesakitan sambil memegang tangan kananya yang terkena serpihan bom. “Ya Allah, Bang Razi.” Wanita itu merobek kerundung panjangnya dan mengikat luka Razi agar darah tak terus mengucur. “Ja-jangan menangis lagi, air matamu membuat lukaku perih,” ujar Razi diantara rasa sakit yang mendera. “Kita ke atas ke tempat Kenanga.” Sekuat tenaga wanita bertubuh tinggi itu memapah Razi menuju ke tempat yang lebih tinggi walau harus tertatih dan beberapa kali menghindari dari serangan marsose. Sa
Cempaka memberikan Kenanga segelas kopi agar wanita itu tak tertidur, sebab terlihat olehnya, mata adiknya sangat ingin terpejam. Tak lupa pula ia mengajak sang adik terus bercerita agar ia tak terlena dengan rasa lelah yang luar biasa mendera. Di luar rumah, Alif mengadzankan bayi laki-laki yang baru saja dilahirkan, tubuh mungil yang ditutupi kain panjang itu sangat gemuk dan sehat tanpa kekurangan suatu apa pun walau harus lahir lebih cepat diantara desingan peluru. Bayi yang ia beri nama Teuku Ahmad Keumangan. Peperangan telah mereda sejenak, mayat-mayat syuhada telah dikuburkan dengan layak. Bukit itu menjelma menjadi ajang membela agama bagi kaum muslimin. Di atas pemumikan, beberapa tubuh marsose yang hendak menerobos tertancap di ujung tombak-tombak yang runcing. Luka-luka yang diderita oleh semua pejuang sebanding dengan kemerdekaan sejati yang mereka dapatkan, meski kabar berita yang berembus Belanda tak kunjung angkat kaki dari pulau emas. Tiga bulan sudah bayi itu tumbu
Hati kecil Ridwan diserang rasa ragu, ia harus meneruskan pesan tuannya untuk membawa Alif kembali. Namun, jika ia sampaikan keinginan Teuku Iskandar perihal pernikahan politik yang harus terjalin, sudah tentu pangeran itu akan menolak untuk pulang. Ia sangat mengenal keras watak sahabatnya jika sudah mengambil keputusan, walau tak jarang keputusannya dulu salah. Ridwan mengembuskan napas sejenak, ia menyampaikan pesan kerajaan pesisir yang harus ia sampaikan dengan runtut, tidak termasuk kesepakatan pernikahan, ia memutuskan merahasiakannya sampai sang pangeran tiba di tanah kelahiran. “Aku tak pernah memperhitungkan kalau pamanku sanggup memukul mundur pasukan Belanda yang menempati tanah kita. Aku bahkan lupa Paman masih hidup, sebab saat penyerangan seingatku dia sedang berada di tanah suci,” ujar Alif sambil memangku anaknya. “Benar, Tuan. Kerajaan membutuhkan seorang raja, dia menunggumu pulang, kembalilah Tuanku. Lanjutkan warisan dan syariat yang ditinggalkan oleh para pend
Sampai di depan istana, Ridwan undur diri terlebih dahulu, ia menemui Teuku Iskandar yang tengah berbincang dengan ulebalang lain yang menjalin kesepatakan politik dengannya. Punggawa setia itu dengan perlahan mengatakan bahwa Alif telah menikah selama bergerilya ke berbagai wilayah, juga telah memiliki seorang anak laki-laki. “Tak masalah, istrinya nanti bisa ditempatkan sebagai pendamping kedua. Pendamping resmi kerajaan tetaplah Putri yang telah kami sepakati,” sahut Teuku Iskandar. “Istrinya merupakan teman seperjuangan kami dulu, dia seorang tabib, tetapi dia bisu dan tuli, Tuanku,” jelas Ridwan perlahan. Penjelasan itu mendapatkan hinaan dari ulebalang lain. Alif dicibir tidak pandai mencari seorang pendamping yang sempurna, menjatuhkan marwah keluarga kerajaan. Teuku Iskandar menahan amarah di dalam hati, ia tersulut dengan hinaan ulebalang itu. “Siapkan semua upacara penyambutan keponakanku. Istri dan anak lelakinya tempatkan di halaman belakang. Aku yang akan mengatur sem
Wanita bisu itu mengabaikannya, ia tetap terus melangkah sembari menggendong Ahmad, walau ia tak tahu arah mana yang harus ia tempuh, hingga tangannya ditarik oleh Alif yang sedari tadi mencarinya. “Kita pergi bersama. Kita tak diterima di tempat ini,” ujar suaminya. Kenanga tersenyum, ia sempat mengira akan dibuang begitu saja oleh Alif. Dua orang itu terus berjalan walau tanpa arah yang jelas. Alif sendiri tak tahu harus ke mana membawa dua orang terkasihnya, terlebih lagi perbekalan mereka telah habis, hanya tersisa beberapa helai baju yang dibawa. Ridwan datang menyusul dari belakang. “Tuanku, Tuan hendak pergi ke mana? Kembali ke bukit akan menempuh waktu yang sangat lama.” “Aku bukan tuanmu lagi. Tak usah kau tanyakan ke mana tujuanku, itu bukan urusanmu lagi. Aku kecewa denganmu, kau tak memberitahuku dari awal. Pergilah!” Kali pertama Ridwan tak memperoleh kepercayaan tuan yang ia layani sejak kecil, hati punggawa itu merasa tersakiti akibat bungkamnya dari awal. Ia beru
Cempaka melihat dari jendela kamarnya, bagaimana Razi bercengkrama dengan beberapa anak kecil di halaman. Sepuluh tahun usia perkawinan mereka, tetapi belum juga diberi kepercayaan oleh Ar Rahim. Wanita bertubuh tinggi itu mulai memperhitungkan jika dirinya mandul, buktinya semua ramuan penyubur kandungan yang dijelaskan Kenanga tak kunjung menampakkan hasil, terlebih berita kelahiran anak ketiga adiknya yang membuat harga dirinya sebagai seorang wanita semakin luntur. Selama dua hari ia mendiamkan Razi tanpa sebab yang jelas. Ia takut untuk meminta lelaki itu mengambil jalan lain, karena hidupnya yang berteman dengan sepi akan semakin bertambah sunyi nantinya. Malam harinya ketika ia akan tidur, Cempaka terlebih dahulu mengutarakan niatnya. “Abang tak ada niatkah untuk merantau lagi?” tanyanya ketika duduk di kursi sembari membuka catatan lamanya dulu. Razi yang tengah melipat sarungnya seketika terdiam. Selama dua hari ia dihadapkan dengan istrinya yang bermuka masam, sekalinya
Usia anak bungsu mereka telah dua tahun, tetapi sesak di dada Alif tak kunjung sembuh meski segala macam pengobatan telah diupayakan istrinya. Pangeran pesisir itu justru semakin giat mengajarkan segala macam ilmu agama kepada Ahmad yang telah berusia dua belas tahun, sebab ia rasa kematian bisa kapan saja menjemputnya. “Kau jagalah Ummi dan adik-adikmu nanti jika Abu telah tiada. Kau anak laki-laki, kau mengemban amanah yang berat.” Alif membelai kepala anaknya yang baru saja selesai mengaji. Ia menasehati selagi Kenanga sibuk di dapur, lelaki itu tak mau membuat istrinya yang sudah sering kerepotan menjadi bertambah sedih. “Memang Abu hendak pergi ke mana? Abu tak akan meninggalkan kami, bukan?” “Bukan Abu yang menggengam hidup ini, semuanya sudah diatur oleh Allah. Abu kapan saja bisa dipanggil terlebih dahulu. Bila saatnya tiba nanti, Ummi, Lindung dan Yusuf menjadi tanggung jawabmu. Jangan pernah kau berpaling dari mereka meski nanti keadaan akan sangat susah, sebab perang tak
Teuku Ahmad, putra sulung Kenanga dan Alif bergabung bersama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), guna memepelajari kemungkinan masuknya tentara Jepang untuk membantu mengusir Belanda secepat mungkin. Organisasi rahasia bernama Fujiwara Kikan atau dikenal dengan Barisan F, memberikan janji semanis madu dalam kampanyenya akan mengusir Belanda setelah Jepang mendarat mulus di Aceh.Sepak terjang pejuang Aceh dan Barisan F membuahkan hasil. Pada tanggal 19 Maret 1942, Belanda menyerah atas gempuran dua kekuatan besar sekaligus. Pada tanggal 24 Maret 1942, Belanda juga menyerah atas kependudukannya di Bukit Gayo. Hal itu sekaligus menjadi penegasan kerja sama Aceh dan Jepang. Rakyat Aceh menyambut suka cita, sebab Jepang banyak menyediakan pasokan makanan yang amat susah dijumpai sejak peperangan panjang dengan Belanda. Sayangnya, ada satu hal yang mengusik ketenangan hati seorang gadis bermata abu-abu. Rembulan yang hidup di kota dibuat berpikir keras ketika Jepang memulai indoktrinasi