Shela melihat Sebastian masuk ke dalam rumah bersama dengan Tiano dan Tiana, kedua anak itu berjalan lebih dulu darinya. Mereka mendatangi Shela yang berdiri di ujung bawah anak tangga. "Mami..." Tiana berjinjit mengulurkan kedua tangannya. Shela pun tersenyum. "Kalian dari mana, Sayang? Jalan-jalan sama Papi ke mana, coba?" "Ke tempat temannya Papi, Mi," jawab Tiano yang kini berjalan di depan Shela menaiki anak tangga. "Mami pikir jalan-jalan ke mana," kekeh Shela, ia kini menatap Tiana dan mengecup pipi putri kecilnya tersebut. Tiana terlihat tidak bersemangat, entah kenapa dia diam saja memeluk Shela. Langkah Shela pun seketika terhenti. Ia mengusap pipi Tiana yang memerah. "Kenapa, Sayang? Tiana sakit?" tanya Shela. Anak itu menggeleng. "Mau makan sama sayur," pintanya. "Makan? Hem... Baiklah, ayo kita turun ke lantai bawah. Tadi Mami sudah masak sup yang enak sekali! Tino juga suka, pasti Adik Tiana juga suka," seru Shela. Wanita itu pun memutar badannya, mereka kini
"Shela itu punya laki-laki lain di belakangmu! Buka matamu, Sebastian! Masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik daripada dia!" Teriakan itu menggema di ruangan kerja Sebastian. Monica dan Bella datang ke kantor hanya untuk mengadukan Shela dan Adam padanya. Sebastian diam tak menjawab, Mamanya hanya akan menambah rasa pusingnya saja. "Mamamu benar, kau tahu... Laki-laki itu mengatakan kalau dia tidak akan membiarkan siapapun mengganggu ketenangan Shela. Aku yakin, mereka pasti menyembunyikan sesuatu di belakangmu!" Bella mengimbuhi. "Itu urusanku dan Shela, kalian jangan ikut campur!" Sebastian beranjak dari duduknya. "Sebastian tunggu..." Monica mencekal lengan sang putra. Iris hitam laki-laki itu terus memperhatikan Mamanya, Sebastian tidak tahu rencana apa lagi yang akan dilakukan dua wanita itu padanya. "Apa lagi, Ma?! Aku pusing, kalian jangan menggangguku!" "Kembalilah dengan Bella, biar Mama yang mengurus Shela dan akan mengambil anakmu. Jangan khawatir, kau akan m
"Sebastian! Akhh lepaskan, jangan begini..." Shela memejamkan kedua matanya erat, terasa begitu aneh sensasi apa yang Sebastian lakukan padanya. Membuat jejak di sepanjang leher Shela. Dalam hati Shela bertanya, apa begini juga dia lima tahun yang lalu?"Sebastian, apa yang kau lakukan! Sebastian..." Shela menendang-nendang dan terus memarahinya. "Kenapa, hem? Aku hanya ingin menandai milikku!" bisik laki-laki itu di hadapan wajah Shela dengan tatapan nyalang, marah. Benar-benar marah."Tidak, kau menyakitiku. Sebastian menyingkirlah!" Shela memekik keras. Nyatanya Sebastian malah melepaskan kencing blouse yang Shela pakai, lagi-lagi dia menjejakkan bibirnya pada manapun yang dia mau pada tubuh Shela. Shela menggigit bibir bawahnya, kemarahan Sebastian sangat mengerikan. "Akhh Sebastian cukup," lirih Shela tak didengar. Laki-laki itu semakin berkabut, Sebastian marah saat Shela dipeluk oleh Adam, sangat marah saat seseorang menyentuh wanitanya. "Mami... Mami di dalam? Mami, Ad
"Shela, kau baik-baik saja? Sepertinya beberapa hari ini kau dan Sebastian sedang tidak baik-baik saja ya?" Morsil menarik kursi dan duduk di samping Shela yang tengah diam melamun. Tidak ada jawaban apapun dari Shela, ia hanya diam dan menyandarkan punggungnya. Sekalipun ia datang di toko, Shela sama sekali tidak menyentuh pekerjaannya, ia hanya diam dan mengawasi si kembar yang sedang terlelap. "Ck! Aku benci sekali kalau kau sedang mode tuli seperti ini," omel Morsil seraya menatap Shela yang masih diam. "Aku pusing, Morsil," jawab Shela tertunduk. "Aku bingung ke mana lagi aku kabur dari Sebastian." "Hah?!" Morsil langsung menoleh cepat, ia menarik pelan pundak Shela agar menatapnya. "Apa katamu barusan? Kabur dari Sebastian, bagaimana?! Bukannya kalian baik-baik saja?" Shela menyeka air matanya. "Tidak..." Kali ini dia tidak tahan diam, Shela pun menangis menumpahkan kekesalan di dalam hatinya. "Aku takut dengannya, Morsil. Harusnya aku tidak mengenalkan identitas anak-anak
Setelah ribut dengan urusan kantornya, Sebastian masih di tempat bersama dengan dua temannya, Vir dan Gavin yang ikut pusing dengan berkas yang hilang. Tiga laki-laki itu kini masih berkutat pada laptopnya masing-masing. "Ck! Jam berapa ini?" gumam Sebastian, untuk kesekian kalinya dia berdecak. Vir pun menoleh, ia melirik arloji gold yang melingkar di pergelangan tangannya. "Setengah dua belas," jawab laki-laki itu. "Panik sekali, biasanya juga pulang pagi kalau di Paris dulu," sahut Gavin masih menatap layar laptopnya. "Shela sendirian, anakku sakit. Aku tidak bisa meninggalkan mereka sendirian," jelas Sebastian dengan nada sebal, ia harus mengulangi membuat berkas penting untuk materi meeting besok pagi. Vir dan Gavin pun sama-sama terkekeh. Lucu saja di telinga mereka saat Sebastian mengatakan dia punya anak, memang semua temannya tahu, tapi sangat lucu dan tidak biasa bagi dua pria itu. "Aku tidak yakin kau jadi Papa yang baik, Bastian," sahut Vir dengan wajah cengengesan
"Papi tidak boleh kerja, temani Tiana main! Tidak boleh pergi ke mana-mana pokoknya!" Teriakan anak kecil itu sangat keras, diiringi dengan rengekan dan tangisnya, Tiana mengejar Sebastian yang bersiap hendak ke kantor pagi ini. Sebastian yang mulanya berjalan di depan Tiana, ia berbalik dan menggendong putri kecilnya. "Papi sibuk, Sayang. Papi harus kerja, ada meeting pagi ini," jelas Sebastian, kini dia merasakan rumit juga punya anak yang masih kecil-kecil, apalagi ada tiga!"Apa itu meeting, Papi?" tanya Tiana, dia menggigit jari telunjuknya. "Meeting itu sangat penting. Papi harus kerja, nanti kalau sudah pulang kerja, nanti Papi main sama Tiana sama Kakak juga, bagaimana?" "Tetap tidak boleh." Sebastian menyergah napasnya kasar, ia berjalan ke lantai satu menatap Tino dan Tiano yang sudah bosan menunggu Papinya, mereka akan pergi ke sekolah bersama Sebastian. "Jadi sekolah, tidak sih?" gumam Tiano malas. "Bolos saja, enak. Nonton Tayo di rumah sambil buat Tiana nangis,"
"Papi lama sekali, kita sudah lapar." Tino meletakkan kepalanya di atas meja makan. Dia kesal sekali lantaran Papinya belum juga kembali dari kantor hingga pukul setengah tujuh. Sedangkan dua anak laki-lakinya itu tidak mau makan sebelum Papinya pulang. Sekeras apapun Shela membujuk mereka untuk makan, maka keras kepala pula mereka menolaknya. Titisan Sebastian ini memang sedikit berbeda. "Iya, Papi kok lama-lama sekali sih, Mam?" Tiano menatap Shela yang menyuapi Tiana. "Papi kan sibuk, Sayang. Makan saja dulu, nanti kalian sakit perut." Shela menatap mereka berdua.Tino berdecak kecil. "Punya Papi rasanya tetap saja seperti tidak punya Papi, jarang ada waktu buat kita." Celetukan Tino membuat Shela merasa sedih, mereka masih terlalu kecil untuk tahu seberapa sibuk Papinya di kantor. Belum sempat Shela membujuk mereka berdua, terdengar klakson mobil di depan rumah. Wajah berbinar Tino dan Tiano pun terlihat serempak. "Papi!" pekik dua anak itu langsung berlari turun dari kur
Shela dan Sebastian tidak kunjung tidur, rasanya seperti ada kebahagiaan yang menghampiri mereka hingga malam ini terasa sangat lamban tiap detiknya. Mereka berdua duduk bersantai di atas ranjang menatap jendela besar di kamar yang belum tertutup gordennnya meskipun penerangan telah Shela matikan. Shela menoleh pada Sebastian saat laki-laki itu menarik pundaknya. Dia menjadikan dada bidangnya sebagai sandaran untuk Shela. "Apa kau ingat, bagaimana kau bisa berada di kamar hotel malam itu? Kenapa kau ada di sana?" tanya Sebastian tiba-tiba. Shela menatap wajah tampan Sebastian sebelum dia menunduk dan mengusap punggung tangan laki-laki itu yang melingkar di pinggangnya. "Malam itu... Aku datang ke apartemen kekasihku, aku menabung dan membelikan dia kue ulangtahun. Tapi begitu aku sampai di sana-" Shela menghentikan ucapannya, ia mendongak menatap Sebastian dengan bibir cemberut. Laki-laki itu tersenyum, ia mengusap pipi Shela dan menaikkan kedua alisnya. "Kenapa?" tanya Sebastia