Di Bangkau.
Seorang pemuda berkulit putih memasuki halaman rumah Tera yang berbentuk jembatan. Bangkau wilayah rawa. Rata-rata rumah panggung dengan halaman berupa jembatan dari papan. Ko“Assalamu ‘alaikum.”“Wa alaikum salam. Elang?! Kamu pulang? Kok tiba-tiba pulang? Ada apa?” cecar Kembang panik."Kak Tera mana?" tanya Elang sambil masuk rumah dengan menenteng ranselnya.“Datang-datang langsung nanyain Tera? Tanyain ibu dulu kek,” protes Kembang.“Kak Tera mana?” ulang Elang dengan suara meninggi.“Dia sedang pergi,” kilah kembang.“Ke mana?”“Mana kutau. Dia kan sudah besar. Masa harus minta izin dulu padaku,” jawab Kembang sambil berlalu ke dapur.Elang Diam. Menatap tajam kakaknya yang sedang menuang air minum ke dalam gelas.“Nih, minum dulu!” Kembang menyerahkan gelas itu pada Elang. “Jau“Dan mama percaya itu?” tanya Elang.“Jadi kamu menuduh Arbain merayu dia?” sela Kembang.“Ya mungkin saja. Secara kita lebih lama berkumpul dengan Kak Tera dibanding Arbain. Arbain masih tergolong orang baru di keluarga kita.”Arbain terkesiap. “Teganya kamu berkata begitu,” protes Kembang. “Ini bukan masalah tega nggaknya. Ini masalah kebenaran. Masa kita lebih percaya ke orang baru, daripada dia yang seumur hidup bersama kita. Coba pikirkan, Kak Tera yang gila kerja tiba-tiba merayu laki-laki, kan aneh? Dengan pengorbanannya yang begitu besar kepada kita, tiba-tiba merayu suami adiknya, aneh tidak?”Kembang tergagap. “Ya mungkin saja. Secara umur dia kan sudah menjelang tiga puluh, wajarlah jika dia menyukai laki-laki dan yang terdekat.”Elang menggeleng, menatap ejek. “Kalau ngomong difilter dulu. Sebagai orang sekolah, aku malu mendengar ucapan Kakak
“Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Tera. “Baik. jangan pikirkan dia. Pikirkan diri Kakak sendiri.”Tera mengernyit. Ia menatap penuh selidik. “Jangan katakan, kamu tidak ingin Kakak pulang, supaya bisa menguasai Teratai Produksi?!” Elang tersenyum geli. Ia mengambil minuman yang baru saja diletakkan karyawan. “Di mata Kakak, di dunia ini tidak lagi orang baik ya?”Tera hanya menjawab gerakan kedua keningnya, lalu meneguk minumannya.“Tadinya mau mengajak pulang, tapi begitu melihat Kakak cantik begini, aku jadi mengurungkan niat.”Tera mengenyit. “Sepertinya Kakak sangat baik di sini. Usia Kakak juga sudah 27, ah hampir 28 ya."Tera mendelik. Di desanya usia 28 tahun sudah dicap sebagai perawan tua. Beberapa teman Tera sudah berkeluarga dan mempunyai anak, "Sudah saatnya Kakak memikirkan diri Kakak sendiri. Kembang sudah men
“Karena cantik? Aku benci ini.”“Tapi ….”“Sudahlah! Aku sudah punya Evan, dia keluargaku. Dia pelengkap hidupku, jangan khawatirkan Kakak”Elang membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara keluar. Ia berpaling ke arah Evan. “Evan dengar 'kan? Kakakku mendedikasikan hidupnya untuk Evan, Evan harus baik pada dia. Evan mau kan berjanji sama Om? Evan akan selalu baik dan melindungi Mama?!”Evan masih diam. Setelah sekian lama, akhirnya Elang memutuskan berdiri."Aku pulang, Kak. Aku akan langsung ke Banjarbaru. Jaga diri baik-baik, lakukan apa yang membuat bahagia, tapi jangan lagi terlalu berkorban untuk orang lain. Karena belum tentu orang itu akan berbuat baik juga pada Kakak."Tera mengangguk. "Kamu juga jaga diri baik-baik. Hati-hati di jalan."Elang mengangkat tangan lalu menautkan ujung telunjuk dan ujung ibu jarinya. Tera tersenyum haru. El
Papa? Tera menyebut Sanad juga Papa? Hayati merasakan dadanya berdenyut nyeri. Andai ia tidak melihat foto itu, mungkin ia tidak perlu merasakan sakit seperti ini. "Mama rasa sebentar lagi Papa akan datang. Mama keluar sebentar, ya."Evan mengangguk. "Anak pintar." Tera mencium pipi Evan. Papa? Mama? Hayati menyentuh dadanya yang kembali terasa nyeri. ***Hayati membawa Tera ke sebuah kursi di taman depan. Temaram lampu membuat suasana taman terlihat sedikit menyedihkan di mata Tera. Indahnya tanaman, bunga-bunga, rumput yang dipangkas rapi, bahkan satu set kursi taman tidaklah membuat lebih berarti jika hanya dijadikan pajangan. Indah, tetapi kesepian. Tera teringat saat-saat ia mengisi malam bersama Rudi. Menatap bintang di teras dengan bangku seadanya, dilengkapi nyamuk yang tidak pernah absen untuk mengganggu, di sana ia sering mengukir mimpi-mimpinya. Waktu itu terasa biasa saja, tapi sekarang momen itu menjadi sangat berarti dan tiba-tiba ia merindukannya. Mungkin suatu sa
***"Kamu pernah masuk ke dalam sekolah Evan?" tanya Tera pada Sanad.Sanad menoleh sebentar, lalu berbicara pada Evan. "Nanti kita lanjutkan lagi ya. Papa mau bicara sama Mama." Evan mengangguk. "Bagaimana kalau Mama antar ke kamar dulu. Mama cuma mau bicara sebentar sama Papa. Ya?" Tera merentangkan tangan, tetapi Evan malah memeluk Sanad "Baik, biar Papa yang antar," ucap Sanad sambil mengangkat badan Evan. Tera terkekeh. Tiba-tiba matanya mengembun.*** "Kenapa?" tanya Sanad ketika ia keluar dari kamar. Sesaat Tera terkejut. Ia merasa tertangkap basah karena telah membaca obrolan Sanad dengan Evan. Sesaat ia merapikan kertas-kertas itu, lalu duduk di sofa. "Bagaimana keadaannya di sana? Dia mau bergaul dengan teman sebayanya?"Sanad menghempaskan bokongnya ke atas sofa,
Tera membuka mulut, tetapi urung begitu melihat Evan menatapnya. Ia berjingkit, sebelah tangan bertumpu pada tangan Sanad, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Sanad, ditutup dengan lainnya."Aku ingin mendekatkan Evan dengan Hayati. Ini kesempatan," bisik Tera. Ia tidak tahu, Sanad mematung dibuatnya. Selain Kaayat, hanya Tera yang berani berbuat seperti itu padanya.***Suasana di mobil menjadi hening. Tera sengaja menggeser duduknya, supaya posisi Evan dekat dengan Hayati. Bagaimana Hayati merayu hati Evan, itu terserah Hayati. Ia merasakan anak itu terlihat tidak nyaman. Evan suka memainkan jari jemarinya jika merasa tidak nyaman. Kesal, tapi tidak bisa berbuat apa. Tera lebih menyukai Evan merengut, dibanding sekarang ini. Setidaknya ia mampu mengungkapkan perasaannya.Tera tidak habis pikir mengapa Evan tidak menyukai Hayati, padahal Hayati bukanlah ibu tiri jahat seperti
“Evan lagi ngapain?” tanya Tera sambil duduk di samping. Evan memamerkan hasil bongkar pasangnya yang hampir menjadi sebuah robot.“Keren. Anak Mama memang selalu terbaik,” puji sambil membelai rambut keriting Evan. “Evan, Tante,” ucap seorang anak kecil perempuan yang sejak tadi menangis bersama seorang pengasuh perempuan.“Hei, Sayang, mau berteman sama Evan?” tanya Tera.Gadis kecil itu mengangguk. Tera menoleh ke sampingnya, terlihat wajah Evan yang muram. Tera mengalihkan pandangannya ke arah pengasuh yang membawa gadis itu. Ia berbicara dengan isyarat. Pengasuh itu mengangguk. Mulut Tera membulat, lalu mengangguk. “Siapa namanya, Sayang?” tanya Tera pada gadis kecil itu. “Adiba Kayla, dipanggil Diba,” jawab gadis itu. ”Wah, nama yang cantik,” puji Tera. Ia mengerling ke samping. Evan melepaskan bongkar
Hari ini Sanad sengaja mampir ke sekolahan Evan, untuk berkenalan langsung dengan teman pertama putranya. Tera tersenyum menatapnya yang gelisah, sesekali memerhatikan jam di tangan. “Evan!” Spontan mereka berpaling ke arah suara. Evan langsung berlari menyongsong dan meraih tangan Adiba. Tera terkekeh melihat mata Sanad yang melebar kombinasi kilatan cerah. Tera segera menundukkan pandangannya. Ia merutuki diri, kenapa sekarang jadi suka memerhatikan bos arogan itu?Evan menarik tangan Adiba hingga sampai kepada ayahnya. Sanad berjongkok. “Hallo, namamu Adiba Kayla, ya?” sapa Sanad.“Iya, Om,” sahut Adiba sambil mengangguk. Sanad tersenyum. “Anak cantik. Evan banyak bercerita tentangmu. Terima kasih, ya.” Tera susah payah menahan tawanya. Laki-laki itu telah kehilangan kata-kata. Tiba-tiba senyumnya hilang. Ia baru menyadari, kebahagiaa