Hari ini Sanad sengaja mampir ke sekolahan Evan, untuk berkenalan langsung dengan teman pertama putranya. Tera tersenyum menatapnya yang gelisah, sesekali memerhatikan jam di tangan.
“Evan!”Spontan mereka berpaling ke arah suara. Evan langsung berlari menyongsong dan meraih tangan Adiba. Tera terkekeh melihat mata Sanad yang melebar kombinasi kilatan cerah. Tera segera menundukkan pandangannya. Ia merutuki diri, kenapa sekarang jadi suka memerhatikan bos arogan itu?Evan menarik tangan Adiba hingga sampai kepada ayahnya. Sanad berjongkok.“Hallo, namamu Adiba Kayla, ya?” sapa Sanad.“Iya, Om,” sahut Adiba sambil mengangguk.Sanad tersenyum. “Anak cantik. Evan banyak bercerita tentangmu. Terima kasih, ya.”Tera susah payah menahan tawanya. Laki-laki itu telah kehilangan kata-kata. Tiba-tiba senyumnya hilang. Ia baru menyadari, kebahagiaa"Kau bicara seakan-akan tidak ada harapan lagi buatku," lirih Rudi makin sendu."Aku sudah bilang ingin fokus merawat Evan dulu, dan entah berapa tahun lagi. Jangan buang waktumu untuk sesuatu yang tidak jelas."Ponselnya kembali menyala. Kini bukan lagi Evan yang memanggilnya.***Tera setengah berlari ke arah gedung sekolahan. Evan telah bersama Sanad, berdiri di sisi mobil. Keane berdiri di samping pintu mobil yang terbuka. "Ke mana saja?" cecar Sanad dengan wajah lamanya. Tera mencebik. "Dasar pria berkepribadian ganda," desisnya. "Apa kamu bilang?!""Tidak apa. Tadi ada teman datang nganterin ini," sahut Tera sambil mengangkat rantang tingkat dua yang dibawanya.Sanad mengerutkan kening. Ia bertanya ke Keane dengan isyarat, tetapi pria kekar itu hanya menjawab dengan gelengan kepala. ***
Tera tertawa, bersamaan dengan air matanya yang semakin deras. "Ucapkan doa.""Heh?" tanya Tera bingung. "Ucapkan doa dalam hati," ulang Sanad. Tera memejamkan mata sambil berpikir apa yang ia inginkan. Saat ini yang ia inginkan hanyalah Evan bahagia, bisa berbicara, tumbuh sehat dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya dengan tulus. Ia membuka matanya. "Tiuplah!" "Evan, bantu Mama meniup, ya," pinta Tera. Evan mengangguk. "Kalau begitu Papa yang hitung. 1 … 2 … 3!"Evan dan Tera meniup bersamaan hingga lilin itu padam."Yey!" Tera menepuk tangannya. Tatapannya ke arah Evan yang terus saja tersenyum. Sanad mengambil alih cake itu, lalu meletakkan di atas alas. Ia mengambil sendok kecil di keranjang yang telah disediakan Keane. "Sekarang Evan suapi Mama," ucap Sanad sambil menyerahkan sendok itu pada Evan.Evan segera mengambilnya. Ia menyendok cake yang dilapisi cream warna putih itu, lalu menyodorkan ke mulut Tera. Tera langsung menyuapnya. "Hmm … enak. Terima kasih,
"Memangnya kenapa?" Sanad balik bertanya. Ia kembali menjumput abon itu."Aku kira, orang kaya tidak makan kaya beginian."Sanad terkekeh. "Di rumah memang nyaris tidak ada suguhan seperti ini. Tapi kami punya keluarga di Daha. Mereka sering menyuguhkan abon, tapi nggak seenak ini." Mulut Tera membulat. Ia meletakkan mangkuk berisi bubur sumsum. "Karena kalian mau jadi keluarga aku, jadi kalian harus bantu aku menghabiskan ini.""Bubur sumsum?" tanya Sanad. Tera mengangguk. "Acil Nurul setiap selalu membuatku ini. Biasanya aku memakannya bersama Rudi."Sanad ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika nama Rudi muncul di mulut Tera."Ayo, kita makan," ajak Tera setengah meletakkan dua tiga sendok. Tiba-tiba Evan menjauhkan dua sendok."Evan!" tegur Sanad.Evan tak menggubris. Ia mengambil sesendok, lalu menyodorkan ke mulut Tera. Tera bertanya dengan isyarat ke Sanad. Sanad menjawabnya dengan anggukan. Tera menyuapnya. "Hmm …." Kesan
"Masih ada jalan lain."Tera kembali menoleh. "Desa tetangga? Sungai Kupang atau ke sebelahnya lewat Muning. Kurasa berita burukku juga tersebar ke sana. Sekarang berita cepat melesat seperti anak panah lepas dari busurnya."Sanad terkekeh. "Danau Bangkau disebut juga lumbung ikan segitiga. Perbatasan kabupaten Hulu Sungai Tengah, Daha Selatan dan Hulu Sungai Selatan. Jadi bisa kita akses dari Hulu Sungai Tengah lewat desa Pahalatan dan sekitarnya, atau dari Daha Selatan."Tera mengerucutkan mulutnya. "Aku punya keluarga di Baruh Kambang, Daha Utara tapi. Kurasa tak masalah, selama bisa diakses lewat perairan, dengan transportasi cepat seperti speed boat."Tera tersenyum mengejek. "Sampai segitunya kamu mencari informasi tentangku."Sanad terkekeh. Ia menghela napas. "Tidak sepenuhnya tentangmu. Bagaimana pun aku seorang pebisnis. Apapun bisa menarik perhatianku. Saat mencari informasi tentangmu, tiba-tiba aku tertarik
"Aku akan terus memerhatikannya, meski memiliki anak lain. Aku tidak akan mengabaikannya," tukas Sanad. Tera mendecak. "Entah kenapa aku merasa kasihan padamu."Sanad tak lagi menggubris. Tera tidak akan mengerti bagaimana posisi Evan di hatinya. Dalam diri Evan ada cinta pertamanya. Tidak akan ada yang bisa menggantikan cinta pertamanya, kecuali Evan menyukai perempuan itu.Spontan Sanad menoleh, menatap perempuan yang disukai Evan. Ya, perasaannya pun seterang ungkapan Evan. "Perlu kamu ketahui, kita belum tentu bisa berbagi semuanya, meski kepada orang yang sangat dekat. Sebaliknya, kadang mudah saja kita berbagi meski orang itu jauh. Seperti Evan yang langsung saja menyukaimu. Padahal di sekitarnya, banyak orang yang berusaha meraih hatinya.""Mungkin itu hanya bentuk pertolongan Allah untukku. Evan mengulurkan tangannya di saat aku terjatuh.""Tidak, bagi Evan kamu malaikat yang jatuh dari langit di saat ia sangat kesepian
Gilang menarik botol yang dipegang Hayati saat hendak kembali menuang ke gelas. "Sudah cukup, Hay!"Hayati menggeleng. Wajahnya masih saja sembab. Kepalanya tak bisa lagi tegak. "Sakitnya masih terasa, Lang. Aku masih membutuhkannya," ceracau Hayati."Sudah cukup. Minum berapa botol pun tidak akan menyelesaikan masalah. Sadarlah, Hay. Buka matamu. Hati tidak bisa dipaksa.""Kenapa?! Kenapa dia tidak bisa menyukaiku," keluhnya, dengan kepala terantuk-antuk. "Apa kurangnya aku? Hampir 24 jam aku mengikutinya, melayaninya, mengapa dia tidak memberiku ruang sedikit saja?""Hay, bukankah kamu dulu bilang, selama dia bersamamu, kamu tidak menuntut apa-apa lagi padanya? Kamu lupa?" Gilang mengingatkan. Hayati tersenyum sendu. "Semuanya akan baik-baik saja, andai dia tidak memberikan perhatian pada wanita lain."Gilang mengerutkan kening."Apa kurangnya aku dibanding dia? Menjaga Evan? Aku pun bisa, andai aku diberi
Saat keluar dari kamar mandi Sanad mendapati istrinya sudah berada dalam kamar dengan keadaan terlihat sangat capek."Kamu dari mana?" tanya Sanad sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk. "Tak perlu kamu tau," jawab Hayati sambil berlalu hendak ke kamar mandi.Sanad menyambar lengan Hayati. "Tak perlu aku tau? Hayati, kamu istriku.""Istri?" ulang Hayati dengan nada mengejek. "Lalu malam tadi kamu membawa seorang gadis, apakah kamu tidak berpikir bagaimana perasaanku sebagai istri?"Sanad tergagap. "Apa maksudmu? Maksudmu Tera? Malam tadi? Itu hanya itu bentuk ungkapan terima kasih atas usahanya untuk Evan.""Usahanya?" Hayati tertawa sumbang. "Dengan mengajaknya jauh-jauh sampai ke Tangkisung? Yang benar saja? Padahal dia hanya beberapa bulan di sini. Bagaimana denganku? Aku membersamaimu sekian tahun, tapi apa yang kudapatkan?""Aku makin tidak mengerti. Bukankah aku selalu berusaha bersikap baik padamu? Soal ul
“Hayati, tolong kamu tinggalkan kami sebentar,” pinta Sanad pada Hayati yang duduk di sampingnya ketika Arsa, Tera dan Evan telah keluar.Hayati mengangguk, lalu menjauh. "Mengapa Mama lakukan itu?” tanya Sanad.“Mengapa? Tidak ada apa-apa. Apa salahnya menjodohkan mereka? Sama-sama masih sendiri,” sahut Fatima, lalu meneguk minumannya.“Kenapa tiba-tiba? Kenapa tidak membicarakan dulu secara pribadi? Kenapa begitu terang-terangan? Ada apa?”“Ada apa? Apa tidak sadar apa yang kamu lakukan malam tadi? Membawa seorang gadis jauh-jauh sampai ke Tangkisung?”“Ma, itu hanya perayaan ulang Tahun, di sana ada Evan dan Keane. Lagi pula di pinggir pantai, apa yang dapat kami lakukan di pinggir pantai?” bela Sanad.“Apapun itu, tetap tidak baik seorang laki-laki membawa anak gadis orang. Lalu apa kamu tidak berpikir bagaimana perasaan Hayati?” sungut Fatima.“Oke, anggap aku salah. Tapi kenapa Tera yang jadi korban?”