"Memangnya kenapa?" Sanad balik bertanya. Ia kembali menjumput abon itu."Aku kira, orang kaya tidak makan kaya beginian."Sanad terkekeh. "Di rumah memang nyaris tidak ada suguhan seperti ini. Tapi kami punya keluarga di Daha. Mereka sering menyuguhkan abon, tapi nggak seenak ini." Mulut Tera membulat. Ia meletakkan mangkuk berisi bubur sumsum. "Karena kalian mau jadi keluarga aku, jadi kalian harus bantu aku menghabiskan ini.""Bubur sumsum?" tanya Sanad. Tera mengangguk. "Acil Nurul setiap selalu membuatku ini. Biasanya aku memakannya bersama Rudi."Sanad ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika nama Rudi muncul di mulut Tera."Ayo, kita makan," ajak Tera setengah meletakkan dua tiga sendok. Tiba-tiba Evan menjauhkan dua sendok."Evan!" tegur Sanad.Evan tak menggubris. Ia mengambil sesendok, lalu menyodorkan ke mulut Tera. Tera bertanya dengan isyarat ke Sanad. Sanad menjawabnya dengan anggukan. Tera menyuapnya. "Hmm …." Kesan
"Masih ada jalan lain."Tera kembali menoleh. "Desa tetangga? Sungai Kupang atau ke sebelahnya lewat Muning. Kurasa berita burukku juga tersebar ke sana. Sekarang berita cepat melesat seperti anak panah lepas dari busurnya."Sanad terkekeh. "Danau Bangkau disebut juga lumbung ikan segitiga. Perbatasan kabupaten Hulu Sungai Tengah, Daha Selatan dan Hulu Sungai Selatan. Jadi bisa kita akses dari Hulu Sungai Tengah lewat desa Pahalatan dan sekitarnya, atau dari Daha Selatan."Tera mengerucutkan mulutnya. "Aku punya keluarga di Baruh Kambang, Daha Utara tapi. Kurasa tak masalah, selama bisa diakses lewat perairan, dengan transportasi cepat seperti speed boat."Tera tersenyum mengejek. "Sampai segitunya kamu mencari informasi tentangku."Sanad terkekeh. Ia menghela napas. "Tidak sepenuhnya tentangmu. Bagaimana pun aku seorang pebisnis. Apapun bisa menarik perhatianku. Saat mencari informasi tentangmu, tiba-tiba aku tertarik
"Aku akan terus memerhatikannya, meski memiliki anak lain. Aku tidak akan mengabaikannya," tukas Sanad. Tera mendecak. "Entah kenapa aku merasa kasihan padamu."Sanad tak lagi menggubris. Tera tidak akan mengerti bagaimana posisi Evan di hatinya. Dalam diri Evan ada cinta pertamanya. Tidak akan ada yang bisa menggantikan cinta pertamanya, kecuali Evan menyukai perempuan itu.Spontan Sanad menoleh, menatap perempuan yang disukai Evan. Ya, perasaannya pun seterang ungkapan Evan. "Perlu kamu ketahui, kita belum tentu bisa berbagi semuanya, meski kepada orang yang sangat dekat. Sebaliknya, kadang mudah saja kita berbagi meski orang itu jauh. Seperti Evan yang langsung saja menyukaimu. Padahal di sekitarnya, banyak orang yang berusaha meraih hatinya.""Mungkin itu hanya bentuk pertolongan Allah untukku. Evan mengulurkan tangannya di saat aku terjatuh.""Tidak, bagi Evan kamu malaikat yang jatuh dari langit di saat ia sangat kesepian
Gilang menarik botol yang dipegang Hayati saat hendak kembali menuang ke gelas. "Sudah cukup, Hay!"Hayati menggeleng. Wajahnya masih saja sembab. Kepalanya tak bisa lagi tegak. "Sakitnya masih terasa, Lang. Aku masih membutuhkannya," ceracau Hayati."Sudah cukup. Minum berapa botol pun tidak akan menyelesaikan masalah. Sadarlah, Hay. Buka matamu. Hati tidak bisa dipaksa.""Kenapa?! Kenapa dia tidak bisa menyukaiku," keluhnya, dengan kepala terantuk-antuk. "Apa kurangnya aku? Hampir 24 jam aku mengikutinya, melayaninya, mengapa dia tidak memberiku ruang sedikit saja?""Hay, bukankah kamu dulu bilang, selama dia bersamamu, kamu tidak menuntut apa-apa lagi padanya? Kamu lupa?" Gilang mengingatkan. Hayati tersenyum sendu. "Semuanya akan baik-baik saja, andai dia tidak memberikan perhatian pada wanita lain."Gilang mengerutkan kening."Apa kurangnya aku dibanding dia? Menjaga Evan? Aku pun bisa, andai aku diberi
Saat keluar dari kamar mandi Sanad mendapati istrinya sudah berada dalam kamar dengan keadaan terlihat sangat capek."Kamu dari mana?" tanya Sanad sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk. "Tak perlu kamu tau," jawab Hayati sambil berlalu hendak ke kamar mandi.Sanad menyambar lengan Hayati. "Tak perlu aku tau? Hayati, kamu istriku.""Istri?" ulang Hayati dengan nada mengejek. "Lalu malam tadi kamu membawa seorang gadis, apakah kamu tidak berpikir bagaimana perasaanku sebagai istri?"Sanad tergagap. "Apa maksudmu? Maksudmu Tera? Malam tadi? Itu hanya itu bentuk ungkapan terima kasih atas usahanya untuk Evan.""Usahanya?" Hayati tertawa sumbang. "Dengan mengajaknya jauh-jauh sampai ke Tangkisung? Yang benar saja? Padahal dia hanya beberapa bulan di sini. Bagaimana denganku? Aku membersamaimu sekian tahun, tapi apa yang kudapatkan?""Aku makin tidak mengerti. Bukankah aku selalu berusaha bersikap baik padamu? Soal ul
“Hayati, tolong kamu tinggalkan kami sebentar,” pinta Sanad pada Hayati yang duduk di sampingnya ketika Arsa, Tera dan Evan telah keluar.Hayati mengangguk, lalu menjauh. "Mengapa Mama lakukan itu?” tanya Sanad.“Mengapa? Tidak ada apa-apa. Apa salahnya menjodohkan mereka? Sama-sama masih sendiri,” sahut Fatima, lalu meneguk minumannya.“Kenapa tiba-tiba? Kenapa tidak membicarakan dulu secara pribadi? Kenapa begitu terang-terangan? Ada apa?”“Ada apa? Apa tidak sadar apa yang kamu lakukan malam tadi? Membawa seorang gadis jauh-jauh sampai ke Tangkisung?”“Ma, itu hanya perayaan ulang Tahun, di sana ada Evan dan Keane. Lagi pula di pinggir pantai, apa yang dapat kami lakukan di pinggir pantai?” bela Sanad.“Apapun itu, tetap tidak baik seorang laki-laki membawa anak gadis orang. Lalu apa kamu tidak berpikir bagaimana perasaan Hayati?” sungut Fatima.“Oke, anggap aku salah. Tapi kenapa Tera yang jadi korban?”
"Tidak. Aku sudah lama menyukaimu, hanya saja tidak kesempatan mendekatimu. Aku tidak akan menyerah sampai di sini. Oke, aku tidak lagi mengganggu kerjamu. Tapi aku akan buktikan ketulusanku."Arsa beralih ke Evan. Ia menepuk pundak. "Dengar, jangan khawatir! Aku tidak akan merebut tantemu, oke." Evan mengangguk ragu. Arsa menautkan ujung telunjuk dengan ujung jempolnya.Sanad mengelus rambut Evan. “Evan masuklah sendiri. Papa ingin bicara sama Mama, boleh?” tanya Sanad setelah Arsa hilang dari pandangan mereka. Evan mengangguk. Ia kembali memeluk Sanad. Dari getarannya, Sanad tau anak itu masih diselimuti kecemasan. Sanad memeluknya erat. “Nanti Evan terlambat. Masuklah duluan! Nanti Mama akan menyusul ke dalam, ya.”***Sanad membawa Tera ke sebuah kafe elite di pinggir kota. Kafe memakai konsep ala rumah santai. Ia memilih duduk ke sebuah sofa melingkar di salah satu pojok. Lagu Jodoh Pasti Bertemu dari Afgan meng
Sanad menghela napas. “Sebenarnya ini nanti mau aku hadiahkan pada seseorang.”Pak Arsyad mengernyit.“Saya tahu orang itu?”Sanad menggeleng. “Bapak tau keadaan putra saya.”Pak Arsyad mengangguk. “Kebetulan Evan cocok dengan seorang perempuan yang berasal dari sana. Banyak perubahan positif pada Evan. Jadi saya ingin memberinya hadiah itu. Bisa buatnya bekal, jika sewaktu-waktu dia memutuskan kembali ke desanya.”Pak Arsyad mengangguk-ngangguk. “Saya mengerti. Tapi apa perempuan itu nanti bisa mengelola?”“Jika dia bisa menangani Evan, saya percaya dia juga akan bisa menangani hal itu,” jawab Sanad tegas. Pak Arsyad tertawa. "Jadi ingat almarhum papamu. Waktu kecil kamu juga luar biasa. Hanya papamu juga bisa menanganimu. Terbukti dia juga berhasil menaklukkan masalah apapun."Sanad terdiam. Benar, papanya berhasil menaklukkan. Namun, berbeda dengan cara Tera. Tera tidak menaklukkan Evan. Evan sendiri yang datang karena ketulusan Tera."Pa, saya minta tolong lagi, bisa?" "Kenapa