"Tidak. Aku sudah lama menyukaimu, hanya saja tidak kesempatan mendekatimu. Aku tidak akan menyerah sampai di sini. Oke, aku tidak lagi mengganggu kerjamu. Tapi aku akan buktikan ketulusanku."
Arsa beralih ke Evan. Ia menepuk pundak. "Dengar, jangan khawatir! Aku tidak akan merebut tantemu, oke."Evan mengangguk ragu. Arsa menautkan ujung telunjuk dengan ujung jempolnya.Sanad mengelus rambut Evan. “Evan masuklah sendiri. Papa ingin bicara sama Mama, boleh?” tanya Sanad setelah Arsa hilang dari pandangan mereka.Evan mengangguk. Ia kembali memeluk Sanad. Dari getarannya, Sanad tau anak itu masih diselimuti kecemasan. Sanad memeluknya erat.“Nanti Evan terlambat. Masuklah duluan! Nanti Mama akan menyusul ke dalam, ya.”***Sanad membawa Tera ke sebuah kafe elite di pinggir kota. Kafe memakai konsep ala rumah santai. Ia memilih duduk ke sebuah sofa melingkar di salah satu pojok. Lagu Jodoh Pasti Bertemu dari Afgan mengSanad menghela napas. “Sebenarnya ini nanti mau aku hadiahkan pada seseorang.”Pak Arsyad mengernyit.“Saya tahu orang itu?”Sanad menggeleng. “Bapak tau keadaan putra saya.”Pak Arsyad mengangguk. “Kebetulan Evan cocok dengan seorang perempuan yang berasal dari sana. Banyak perubahan positif pada Evan. Jadi saya ingin memberinya hadiah itu. Bisa buatnya bekal, jika sewaktu-waktu dia memutuskan kembali ke desanya.”Pak Arsyad mengangguk-ngangguk. “Saya mengerti. Tapi apa perempuan itu nanti bisa mengelola?”“Jika dia bisa menangani Evan, saya percaya dia juga akan bisa menangani hal itu,” jawab Sanad tegas. Pak Arsyad tertawa. "Jadi ingat almarhum papamu. Waktu kecil kamu juga luar biasa. Hanya papamu juga bisa menanganimu. Terbukti dia juga berhasil menaklukkan masalah apapun."Sanad terdiam. Benar, papanya berhasil menaklukkan. Namun, berbeda dengan cara Tera. Tera tidak menaklukkan Evan. Evan sendiri yang datang karena ketulusan Tera."Pa, saya minta tolong lagi, bisa?" "Kenapa
"Nggak bisa dilepas?" tanya Sanad saat melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 11. Tera kembali menggeser tangannya, tetapi lagi-lagi Evan merengek. "Sepertinya belum benar-benar tidur ya?" tanya Sanad pelan."Sepertinya hari ini dia benar-benar ketakutan," bisik Tera. "Ditambah kemunculan Arbain.""Iya, Keane ada cerita padaku. Aku minta maaf. Tidak seharusnya tadi memakai tenaga Keane." Sanad berjongkok di sisi ranjang. Ia membelai lembut rambut Evan. "Kamu istirahatlah. Tak baik lama-lama di sini," tegur Tera. Ia menatap ragu, tetapi benar kata Tera. Lama-lama diam di kamar Evan, tidak baik buat Tera. Gerakannya terhenti ketika hendak berdiri. Ia menatap ujung piyamanya yang dipegang Evan. Sanad kembali duduk. “Evan mau ditemani Papa?”Evan mengangguk. “Kalau begitu Mama tidur ke kamarnya, ya. Papa yang temani Evan,” bujuk Sanad.Evan menggeleng. Seketika keduanya saling terperanjat. ***Gerakan Sanad terhenti ketika hendak berdiri. Ia menatap ujung piyamanya
"Kenapa Ibu ke sini?" tanya Tera ketika sudah di luar gedung. Di pinggir jalan, sebuah mobil yang dikemudi oleh Arbain "Pulanglah," pinta ibunya, sambil melirik Keane yang berada di dekat mereka.Tera beralih ke Keane. “Keane, dia ibuku, tinggalkan kami sebentar.”Keane mengangguk. “Tapi, maaf saya tidak bisa meninggalkan terlalu jauh. Mohon pengertiannya.”“Iya, saya mengerti. Terima kasih, Keane.” "Di sini aku sudah punya pekerjaan, jadi Ibu kembalilah,” pinta Tera setelah Keane menjauh. "Pekerjaan apa? Merebut suami orang?" ketus Bastiah.Tera tersentak. "Apa maksud Ibu? Aku di sini mengasuh seorang anak. Dari mana Ibu mendapat informasi ga jelas itu?"Bastiah tergagap. "Ada … ada pokoknya.""Iya, tapi siapa?" desak Tera. "Jangan katakan Arbain yang katakan itu pada Ibu?!""Bukan, bukan dia."Arbain keluar dari mobil, mendekati mereka. Melihatnya Tera jadi berang. Ia langsung men
Evan langsung berlari ketika ia keluar dari kelasnya. Tiada adanya Tera di jam istirahat benar-benar membuatnya semakin cemas. Ia melambatkan jalannya begitu melihat Keane berdiri sendiri di depan gedung. Matanya mengerjap pelan. Jalannya semakin lambat, berharap Tera akan muncul. Kenyataannya, ia telah sampai di depan Keane. Halaman telah sepi. Pagar gedung sekolah sudah ditutup. Sekarang hanya ada dia dan Keane. Keane mendekatinya. Ia berjongkok sambil memegang pundak Evan. Keane sedikit dapat bernapas lega, Evan tidak menjauh darinya.“Mama ada keperluan mendadak. Evan pulang sama Om ya. Tadi Mama ada titip pesan di ponsel Om, nanti Evan bisa baca di mobil, ya?”Evan mengangguk. Keane merasakan ada yang mengganjal di tenggorokannya ketika melihat mata merah Evan yang mengerjap cepat. Ia bertanya-tanya siapakah perempuan yang dimaksud Bastiah? Mengapa tega mengorbankan anak tunawicara ini hanya demi kepentingan pribadi? ***“Katakan berapa harga yang kamu inginkan?” ucap Sanad ta
Ah, kadang Mama lupa Evan hanyalah anak kecil yang belum genap usianya 6 tahun. Namun, Evan anak istimewa yang sangat cerdas. Di saat anak-anak lain membaca buku fabel, Evan sudah membaca buku bahasa Inggris. Dulu Mama pikir, Papa itu sangat kejam. Setelah melihat perkembangan Evan, ternyata luar biasa. Evan sangat beruntung memiliki Papa. Ah, tidak. Papa yang sangat beruntung memiliki anak secerdas Evan. Mama juga sangat beruntung bertemu dan sempat bersama Evan. Betapa Mama sangat ingin terus bersama Evan, sampai melihat Evan tumbuh besar dan bisa bicara. Sampai detik itu, Evan pasti sangat membanggakan Papa. Maafkan Mama. Mama harus pulang dan tidak sempat pamitan sama Evan. Dari sini Mama akan selalu mendoakan Evan. Percayalah, Evan tidak pernah sendiri. Ada Papa yang selalu berjuang untuk Evan. Ada Mama yang selalu mendoakan Evan. Ada nenek, Mama Hayati, Om Keane yang selalu menjaga Evan, dan orang-orang di rumah yang selalu berusaha berbuat yang terbaik bu
Mobil meluncur bebas. Hujan semakin deras. Beberapa lokasi, lampu jalanan mati, membuat jalanan bertambah gelap. Penerangan lampu mobilnya yang cukup ditambah jalanan sepi membuat Sanad lebih leluasa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.“Hati-hati, Pa. Pelan-pelan saja. Tuh badan kita tidak basah,” ucap Kaayat sambil memeluk bayi Evan yang tertidur. “Iya, Sayang."Di sebuah belokan, tiba-tiba sebuah mobil muncul dari belakang mobil yang berlawanan arah dengannya. Seketika Sanad panik. Ia menekan klakson secepat dan sekuat mungkin. Lampu dari mobil lawan arah tepat di depannya. Ia membanting setir. Namun yang terjadi ia menabrak sebuah pohon besar. Sanad terlonjak. Ia terjaga dari mimpinya. Matanya mengerjap beberapa kali. Napasnya memburu.Hayati ikut terbangun. “Kenapa? Mimpi buruk lagi?”Sanad mengangguk. Napasnya masih belum teratur. Keringat membanjiri badannya. Ia menengok ke arah AC yang ternyata masih nyala.
Sanad meletakkan dagunya di atas kepala, tangannya memeluk erat, sedang pikirannya entah ke mana. Sudah berapa kali dia mendesah, hingga membuat mata Evan terbuka.“Mama?!”“Heh?” Sanad menurunkan wajahnya, menatap Evan.“Mama?”“Mama?” ulang Sanad. Keningnya mengerut. “Oh, Evan merindukan Mama? Iya, nanti Minggu kita ke sana. In sya Allah.”Evan menggeleng. Kening Sanad makin menukik.“Mama?” Evan menunjuk ke arahnya dengan dagu.“Papa?”Evan mengangguk.“Mama.”“Papa ... Mama." Sanad menatap langit-langit, berusaha mencerna ungkapan Evan. "Papa kangen Mama?”Evan mengangguk sambil tersenyum nakal.“Ish, mikir apa sih?! Sudah tidur nggeh,” tukas Sanad sambil menenggelamkan wajah Evan dalam pelukannya.'Kangen?' Tiba-tiba Sanad mengeja kata dalam hatinya. Bohong jika ia tidak merindukan gadis itu. Namun, rindu seperti apa yang dimilikinya? ***
“Nggak mau nyala?"Tera menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, ini. Mungkin karena lama nggak dihidupkan, jadinya gini,” keluhnya.“Sini aku coba.” Rudi mengambil alih gagang yang dipegang Tera. Hanya sekali tarikan, mesin langsung berbunyi. Seketika Rudi tertawa. “Tenagamu bukan seperti dulu lagi. Itu lihat, napasnya ngos-ngosan begitu.”Tera hanya memasang wajah merengut.“Memang di sana, benda yang paling berat kamu angkat apa?” tanya Rudi sambil mengangkat mesin dan meletakkan ke sampan.“Evan,” sahut Tera sambil mengikuti Rudi.“Itu bukan benda.”“Berat juga kan?”“Iya, tapi tetap saja beda. Manusia sudah secara alami memiliki keseimbangan jika diangkat. Coba kalau kamu angkat benda yang beratnya sama dengan Evan. Pasti beda."Rudi sudah kembali ke teras. “Mau ke danau?"Tera mengangguk.“Aku temani ya,” tawar Rudi.Tera memicingkan mata. “Nggak kerja?”“Sudah jam segini, masih ditanya kerja?”Tera memonyongkan bib