"Kenapa Ibu ke sini?" tanya Tera ketika sudah di luar gedung. Di pinggir jalan, sebuah mobil yang dikemudi oleh Arbain
"Pulanglah," pinta ibunya, sambil melirik Keane yang berada di dekat mereka.Tera beralih ke Keane. “Keane, dia ibuku, tinggalkan kami sebentar.”Keane mengangguk. “Tapi, maaf saya tidak bisa meninggalkan terlalu jauh. Mohon pengertiannya.”“Iya, saya mengerti. Terima kasih, Keane.”"Di sini aku sudah punya pekerjaan, jadi Ibu kembalilah,” pinta Tera setelah Keane menjauh. "Pekerjaan apa? Merebut suami orang?" ketus Bastiah.Tera tersentak. "Apa maksud Ibu? Aku di sini mengasuh seorang anak. Dari mana Ibu mendapat informasi ga jelas itu?"Bastiah tergagap. "Ada … ada pokoknya.""Iya, tapi siapa?" desak Tera. "Jangan katakan Arbain yang katakan itu pada Ibu?!""Bukan, bukan dia."Arbain keluar dari mobil, mendekati mereka. Melihatnya Tera jadi berang. Ia langsung menEvan langsung berlari ketika ia keluar dari kelasnya. Tiada adanya Tera di jam istirahat benar-benar membuatnya semakin cemas. Ia melambatkan jalannya begitu melihat Keane berdiri sendiri di depan gedung. Matanya mengerjap pelan. Jalannya semakin lambat, berharap Tera akan muncul. Kenyataannya, ia telah sampai di depan Keane. Halaman telah sepi. Pagar gedung sekolah sudah ditutup. Sekarang hanya ada dia dan Keane. Keane mendekatinya. Ia berjongkok sambil memegang pundak Evan. Keane sedikit dapat bernapas lega, Evan tidak menjauh darinya.“Mama ada keperluan mendadak. Evan pulang sama Om ya. Tadi Mama ada titip pesan di ponsel Om, nanti Evan bisa baca di mobil, ya?”Evan mengangguk. Keane merasakan ada yang mengganjal di tenggorokannya ketika melihat mata merah Evan yang mengerjap cepat. Ia bertanya-tanya siapakah perempuan yang dimaksud Bastiah? Mengapa tega mengorbankan anak tunawicara ini hanya demi kepentingan pribadi? ***“Katakan berapa harga yang kamu inginkan?” ucap Sanad ta
Ah, kadang Mama lupa Evan hanyalah anak kecil yang belum genap usianya 6 tahun. Namun, Evan anak istimewa yang sangat cerdas. Di saat anak-anak lain membaca buku fabel, Evan sudah membaca buku bahasa Inggris. Dulu Mama pikir, Papa itu sangat kejam. Setelah melihat perkembangan Evan, ternyata luar biasa. Evan sangat beruntung memiliki Papa. Ah, tidak. Papa yang sangat beruntung memiliki anak secerdas Evan. Mama juga sangat beruntung bertemu dan sempat bersama Evan. Betapa Mama sangat ingin terus bersama Evan, sampai melihat Evan tumbuh besar dan bisa bicara. Sampai detik itu, Evan pasti sangat membanggakan Papa. Maafkan Mama. Mama harus pulang dan tidak sempat pamitan sama Evan. Dari sini Mama akan selalu mendoakan Evan. Percayalah, Evan tidak pernah sendiri. Ada Papa yang selalu berjuang untuk Evan. Ada Mama yang selalu mendoakan Evan. Ada nenek, Mama Hayati, Om Keane yang selalu menjaga Evan, dan orang-orang di rumah yang selalu berusaha berbuat yang terbaik bu
Mobil meluncur bebas. Hujan semakin deras. Beberapa lokasi, lampu jalanan mati, membuat jalanan bertambah gelap. Penerangan lampu mobilnya yang cukup ditambah jalanan sepi membuat Sanad lebih leluasa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.“Hati-hati, Pa. Pelan-pelan saja. Tuh badan kita tidak basah,” ucap Kaayat sambil memeluk bayi Evan yang tertidur. “Iya, Sayang."Di sebuah belokan, tiba-tiba sebuah mobil muncul dari belakang mobil yang berlawanan arah dengannya. Seketika Sanad panik. Ia menekan klakson secepat dan sekuat mungkin. Lampu dari mobil lawan arah tepat di depannya. Ia membanting setir. Namun yang terjadi ia menabrak sebuah pohon besar. Sanad terlonjak. Ia terjaga dari mimpinya. Matanya mengerjap beberapa kali. Napasnya memburu.Hayati ikut terbangun. “Kenapa? Mimpi buruk lagi?”Sanad mengangguk. Napasnya masih belum teratur. Keringat membanjiri badannya. Ia menengok ke arah AC yang ternyata masih nyala.
Sanad meletakkan dagunya di atas kepala, tangannya memeluk erat, sedang pikirannya entah ke mana. Sudah berapa kali dia mendesah, hingga membuat mata Evan terbuka.“Mama?!”“Heh?” Sanad menurunkan wajahnya, menatap Evan.“Mama?”“Mama?” ulang Sanad. Keningnya mengerut. “Oh, Evan merindukan Mama? Iya, nanti Minggu kita ke sana. In sya Allah.”Evan menggeleng. Kening Sanad makin menukik.“Mama?” Evan menunjuk ke arahnya dengan dagu.“Papa?”Evan mengangguk.“Mama.”“Papa ... Mama." Sanad menatap langit-langit, berusaha mencerna ungkapan Evan. "Papa kangen Mama?”Evan mengangguk sambil tersenyum nakal.“Ish, mikir apa sih?! Sudah tidur nggeh,” tukas Sanad sambil menenggelamkan wajah Evan dalam pelukannya.'Kangen?' Tiba-tiba Sanad mengeja kata dalam hatinya. Bohong jika ia tidak merindukan gadis itu. Namun, rindu seperti apa yang dimilikinya? ***
“Nggak mau nyala?"Tera menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, ini. Mungkin karena lama nggak dihidupkan, jadinya gini,” keluhnya.“Sini aku coba.” Rudi mengambil alih gagang yang dipegang Tera. Hanya sekali tarikan, mesin langsung berbunyi. Seketika Rudi tertawa. “Tenagamu bukan seperti dulu lagi. Itu lihat, napasnya ngos-ngosan begitu.”Tera hanya memasang wajah merengut.“Memang di sana, benda yang paling berat kamu angkat apa?” tanya Rudi sambil mengangkat mesin dan meletakkan ke sampan.“Evan,” sahut Tera sambil mengikuti Rudi.“Itu bukan benda.”“Berat juga kan?”“Iya, tapi tetap saja beda. Manusia sudah secara alami memiliki keseimbangan jika diangkat. Coba kalau kamu angkat benda yang beratnya sama dengan Evan. Pasti beda."Rudi sudah kembali ke teras. “Mau ke danau?"Tera mengangguk.“Aku temani ya,” tawar Rudi.Tera memicingkan mata. “Nggak kerja?”“Sudah jam segini, masih ditanya kerja?”Tera memonyongkan bib
Sanad berjongkok. "Kita pulang dulu, ya. Nanti kita janjian lagi," bujuk Sanad. Evan tetap bersikukuh. Sanad beralih ke Bastiah. "Kami tunggu saja, Bu.""Iya, silakan masuk." Bastiah menyingkir. Sanad hendak menarik tangan Evan, tetapi anak itu malah menarik, lalu duduk di bangku panjang. "Kalau begitu, kami tunggu di sini saja, Bu. Maaf ya.""Iya, nggak apa-apa. Silakan. Saya ke belakang dulu," ucap Bastiah ramah.Sanad duduk di samping Evan, setelah Bastiah masuk ke rumah, Sedang Keane berdiri, bersandar ke sebuah tiang. “Cepat banget gerahnya ya,” keluh Keane sambil mengipas-ngipas kerah kemejanya. Ia membuka ponselnya. “Cuaca sama saja dengan Kandangan. Kenapa terasa cepat gerah?”“Itu karena posisi kita di atas air. Uap air akan membuat suhu lebih panas. Ditambah air menjadi panas ketika kena matahari. Semakin panas suatu benda, maka semakin panas pula suhunya. Panasnya akan berkali lipat. Panas ini ak
Sanad tertawa ketika melihat bintik merah di wajah putranya akibat gigitan nyamuk. Ditambah dengan garukannya, akibat gatal. “Jangan digaruk!” Sanad mengambil tangannya yang hendak kembali menggaruk. “Kulitnya putih sekali, jadi merahnya nampak sekali. Di sini banyak nyamuk, Cu. Apalagi kalau malam,” ucap Bastiah. Tak lama terdengar bunyi mesin ketinting dari kejauhan. “Nah itu mungkin Tera,” seru Bastiah, lalu berdiri. Evan langsung berdiri, hendak mengikuti, tetapi ditahan Sanad. “Di sini saja!”“Tak apa. Masuk saja. Barangkali mau melihat Bangkau lebih luas lagi."Evan bergerak-gerak, menarik ayahnya. “Ayo, Nak.”Akhirnya Sanad berdiri, masih dengan memegang tangan putranya mengikuti Bastiah. Di tengah rumah, tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari kamar dengan wajah kucel. Arbain terkejut ketika melihatnya.“Pak Sanad? Iya kan, Pak Sanad?” tanya Arbain.“Kamu mengenalnya?” tanya Bastiah. “Dia kan putra Bu Fatima, pemilik minimarket tempat saya bekerja.”“Benar, Nak?!” tanya
Tera menghela napasnya. Melihat sikap Tera, Sanad mendekat dan mengambil kertas yang dipegangnya. Ia mengelus rambut Evan. “Ada banyak yang harus dikerjakan Mama. Mama juga punya ibu yang harus dijaga, jadi Mama harus pulang. Evan ngerti ‘kan?” Evan mengangguk. Tera tersenyum haru. Matanya mulai mengembun. Evan kembali menulis dan menyerahkan pada Tera. [Evan juga akan jaga Mama jika sudah besar]Sontak Tera tertawa. Kali ini matanya berair. Diam-diam Sanad menatapnya. Betapa ia ingin menghapus air mata itu. Air mata yang mengalir untuk anaknya. Melihat Tera, ia selalu bertanya-tanya dalam dalam hati, benarkah perasaan sukanya murni dari hati? Jangan-jangan yang dirasakannya hanyalah bentuk terima kasih atas semua yang dilakukan Tera untuk putranya. Hari itu, anak dan bapak itu menghabiskan waktu seharian bersama Tera. Sore hari Bastiah menyuguhkan makanan khas Bangkau. Ikan kerapu goreng, ikan gabus panggang, tana