“Bagaimana keadaannya?” tanya Tera sambil menatap Evan.
“Badannya masih panas,” sahut Fatima sambil membawa Tera, mendekati Evan yang masih terlelap.Tera meletakkan telapak tangannya ke atas dahi Evan. Ia sedikit terkejut panas yang sedikit menyengat telapak tangannya. Ia bertanya kepada Sanad dengan mimik wajah. Fatima yang menyadari hal itu, segera undur diri.“Mama keluar cari angin dulu, ya,” ucap Fatima.Sanad hanya menjawab dengan anggukan.“Kapan dia mulai sakit?” tanya Tera begitu Fatima hilang di balik pintu.“Dua hari yang lalu,” jawab Sanad lesu.Tera tersentak“Kok bisa?! Selama dua hari nggak turun-turun?!"Sanad menggeleng. "Makannya susah banget, mungkin karena itu jadi lambat pulih."Tera hanya bisa menghela napas. Ia mengelus lembut rambut keriting Evan."Bagaimana dia bisa sakit?” gumamnya.Tiba-tiba pandangannya tertuju pada telapak tangan Evan yang di“Baik, Mama yang kupas, ya?” tanya Hayati. Evan menyetujui dengan anggukan.Tera duduk di sofa satu dudukan. Hayati menarik kursi yang tak jauh dari mereka. Sementara Gilang mengajak Sanad keluar dari ruangan. “Evan sudah terbuka ya sama Mbak,” ucap Tera sambil tersenyum menatap Hayati menyuapkan satu siung jeruk ke mulut Evan. Hayati tersenyum getir. “Itu karena aku tidak berharap lagi padanya.”“Maksud, Mbak?” “Sepertinya Sanad belum cerita ya, kalau kami telah bercerai.”Tera tersentak, lalu menggelengkan kepala. “Kamu benar, Evan makin didekati, makin menjauh. Kini aku tidak berharap apa-apa lagi padanya. Apa yang kulakukan ini tulus untuk Evan, sehingga ia menerimanya.”Mata Evan mengerjap, begitu namanya disebut.Tera masih bungkam. Ia tidak pernah membayangkan kalau Sanad dan Hayati akhirnya bercerai. Hayati mengambil lagi satu siung, tetapi Evan sudah menggeleng. Ia tersenyum, lalu
“Apa mungkin kita bisa seperti yang dulu lagi?” lirih Gilang, sambil memutari cangkir dengan ujung jarinya. “Bisa saja, jika kita tidak terlibat lagi dengan urusan cinta.”“Kalau aku berhasil meraih hati Hayati, kamu tidak apa-apa?”Sanad tersenyum, lalu menggeleng. “Jadi yang kamu sukai gadis itu?” tanya Gilan lagi.“Hah?” “Sudahlah!” tukas Gilang. Mengapa ia menanyakan hal itu? Dari dulu, Sanad memang tidak terbuka padanya. “Aku tunggu, kabar baik darimu,” ucap Sanad.Gilang terkekeh. “Kalau berhasil. Kamu kasih hadiah apa di hari pernikahan kami?”Sanad tersenyum lebar. “Memangnya kamu mau apa?”Gilang menggeleng. “Aku tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya ingin kita bertiga kembali seperti dulu, tapi satu hal yang ingin aku minta darimu.”Sanad mengerutkan keningnya. “Aku ingin menjadi sahabat yang kamu percaya untuk berbagi suka dan duka.”“Kamu tau, bukannya aku nggak mau, tapi memang nggak bisa.” “Kamu harus coba. Paling tidak kamu ajak aku setiap kali ada proyek baru.”Sa
Entah berapa lama ia hanya menatap tanaman teratainya yang membentang luas. Pikirannya kembali memutar bersama Evan dan Sanad. Ah, betapa anak dan bapak itu membuatnya rindu. Tanpa sadar bibirnya tersungging, tetapi beberapa detik kemudian menghilang. Ia memang harus sadar diri, siapa dirinya, siapa Evan dan Sanad. Perlahan matahari terus berpendar. Senja kembali menyapa, keemasannya menghiasi tanaman teratainya. Perlahan, bumi mulai gelap. Takut tentu saja ada, tapi enggan untuk pulang. Untuk saat ini, ia hanya bisa berdoa. Semoga tidak terjadi apa-apa. ***Habis salat Subuh Rudi meluncur menjajakan kerupuknya. Beberapa buah warung makan dan kue langganannya yang buka pagi-pagi sekali, sedang toko-toko camilan buka agak siang. Rudi menepikan motornya di depan sebuah warung tempat ia menitip kerupuknya. Setelah melakukan transaksi dan menitip kerupuknya, ia membuka ponselnya. Terlihat banyak panggilan tidak terjawab dari ibu
“Percepat, Keane!” Keane menambah kecepatan mobilnya. “Maaf, Tuan. Sebenarnya apa yang terjadi?”“Di Bangkau ada razia illegal fishing.”“Lalu apa hubungannya dengan Tuan?”“Tera ditelpon tak kunjung diangkat. Aku kira sekarang ada di danau.”“Maaf, Tuan. Saya masih belum mengerti.”“Semoga tidak terjadi apa-apa. Sewaktu mencari informasi tentangnya, aku memang sempat baca kalau Danau Bangkau lumbung ikan yang memang menjadi incaran beberapa warga dari kabupaten HSU dan HST. Parahnya lagi mereka melakukan dengan cara tercela, yang membuat warga Bangkau sebagai pemilik danau itu bertindak. Di antaranya melakukan razia dengan kerjasama polres. Yang tak terelakkan terjadinya perlawanan saat razia dengan warga, tak jarang ada yang terluka, bahkan meninggal. Yang luput dari pemberitaan, ada dendam yang berkepanjangan di balik suatu tragedi. Tak jarang mereka melampiaskan dendam secara acak, asal ketemu warga Bangkau. Bahkan menurut A
Tawa salah seorang memecah segala pertimbangannya. Mereka semakin maju, sedang badannya sudah terhalang dinding lanting. Saat semakin dekat, spontan ia menarik sebatang bambu kecil yang biasa digunakan untuk menopang jemuran ikannya, lalu memukulkan ke kaki dua orang itu. Krak. Dari bunyinya dapat diketahui bambu itu telah rapuh. Setidaknya dapat memecah perhatian kedua orang itu. Ia bergerak cepat ke arah sampan, malangnya salah seorang menariknya, lalu melemparnya, hingga kembali terpental. Si jangkung kali ini benar-benar kesal. Tera cepat berdiri. Meski kekuatan tidak berbanding, ia tidak akan membiarkan dirinya dihina orang lain, apalagi penjarah seperti mereka. “Ho, kuat juga ternyata.” Si gempal bersuara.“Setidaknya tenagaku sudah dilatih dari nol, tidak seperti kalian tenaga instan. Bisanya cuma mengambil punya orang lain.”Seketika keduanya terbahak-bahak. "Ternyata bisa bicara," ejek jangkung.“Dan, gadis ini menarik juga," ucap si gempal.“Iya. Aku tahu seperti gadis ga
“TERA!” teriak Sanad dari kejauhan. Teriakannya semakin bergema, ketika sosok yang dipanggilnya tidak menunjukkan batang hidung. Juru kemudi mematikan mesinnya. Sanad melompat begitu sampan itu mendekat. Ia masuk ke dalam lanting. Panik semakin menguasainya karena Tera tidak terlihat. Tak lama Rudi pun datang. “Tera mana?” tanya Rudi sambil menepikan sampan. “Aku juga ingin bertanya padamu,” sahut Sanad.“Apa?” Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah sampan yang terhanyut jauh. “Itu sampan Tera.”Rudi langsung melajukan sampannya menunju sampan Tera. “Tuan!” Keane menunjuk warna merah di air yang tak jauh dengan sampan mereka. Sayang, gelombang yang diakibatkan sampan Rudi membuat warna itu memudar, Tidak membuang waktu, Sanad langsung melompat dan menyelam hingga sampai di dasar danau. Terlihat Tera tergeletak dengan tidak sadarkan diri. Ia bergegas mengangkat tubuh itu, lalu muncul ke permukaan. “CEPAT KEJAR ORANG ITU!” teriaknya set
Saat itu motor butut yang dikendarai Tera mogok di tengah jalan. Cukup jauh Tera menuntun motornya hingga akhirnya menemukan sebuah bengkel. Selama perbaikan, hujan turun cukup lebat. Ia terus menunggu, tetapi sampai malam hujan tak kunjung reda. Akhirnya ia memutuskan pulang.Meski menggunakan jas hujan, tetap saja tak luput dari basah. Hingga di sebuah desa yang sangat jauh dengan rumah penduduk, ia melihat sebuah mobil rusak di tepi jalan. Hujan deras menyebabkan desa itu seperti mati. Tidak ada aktifitas di jalan, kecuali sesekali orang lewat. Licinnya jalan membuat ia tidak berani menjalankan motor dengan kecepatan tinggi. Ia pun ingin abai dengan mobil itu, tetapi jerit tangis bayi membuat nalurinya tergerak untuk berhenti. Ia menepikan motornya, mendekati mobil itu. Tangisan bayi makin jelas. Ia menengok di balik kaca mobil yang sudah rusak, dua orang dewasa terluka parah dan tidak sadarkan diri. Sementara seorang bayi terus menangis diasuhan ibunya yang t
Sepeninggal Bastiah dan Kembang, Sanad duduk di kursi, bersebrangan dengan Evan. Ia memerhatikan bekas-bekas luka di tangan Tera. Ia mencium tangan itu dengan pelan dan lembut. Ia menggenggam tangan itu dan mendekatkan ke wajahnya."Tera, ternyata kamu sudah ada dalam kehidupan kami sejak lima tahun yang lalu. Kamu yang menyelamatkan kami, terutama Evan. Dan sekarang kamu juga membuat Evan sembuh. Aku janji berusaha membalas jasamu seumur hidupku." Tanpa sadar air matanya menetes. Evan mengerjap, menatapnya."Kamu harus bangun, Tera. Kamu harus berumur panjang. Tak kan kubiarkan lagi kamu tinggal di danau. Tak kan kubiarkan lagi kamu menderita seperti ini. Aku tidak akan membiarkanmu tinggal di lanting itu." "San."Sanad terkesiap. Ia menoleh ke arah Tera. Tera tersenyum geli. Evan tersenyum penuh arti. "Kamu sudah sadar?" tanyanya tak percaya."Dari tadi," sahut Tera setengah berbisik. "Aku terbangun, gara-gara mendengar orang bicara ngawur." Evan tertawa. Sanad memasang wajah