"Kamu pesan apa sih, La. Adikmu sampai blingstan begitu!" tanya Bu Sarah, sambil menata piring kotor selepas makannya usai. "Pesen anu, Bu!" Mala bingung, dia tidak siap dengan pertanyaan ibunya. "Teh Mala pesan cream, Mak. Jadi kalau tidak segera di ambil, lama lagi adanya," terang Aisyah yang melihat kakaknya mendadak gagap. "Akh, iya, cream, cream glowing!" ucap Mala sambil menyelipkan anak rambutnya di tentunya. Terlihat kegugupannya. Ia tak pernah berbohong pada ibunya, hingga hari ini ia terpaksa berbohong dan malah menjadikan tingkahnya kikuk di hadapan orang tuanya."Kenapa gak dari tadi di ambil. Kan, Teteh tau, waktunya toko itu tutup," ujar pak Ahmad sambil menyuapkan nasi di piringnya untuk suapan yang terakhir."Iya, Bah. Mala lupa." Mala menunduk. Batinnya berteriak minta maaf pada kedua orangtuanya. Bukan lebay, ini di mana posisi seseorang yang selalu ditanamkan perihal kejujuran dan kepergok bohong. Meski Bu Sarah atau pak Ahmad tidak mengatakannya. Tapi, mereka ta
part 170. Saran dari Tika."Berapa uang anakku yang kau habiskan? Hah?!" "Ibu—" Praaaang … rantang stainless berisi kue itu ditepis oleh Bu Samirah hingga membentur tembok dapur, isinya berserakan karena setelah jatuh rantang itu pun menggelinding. "Astaghfirullah haladzim." Mala bangkit sambil memegangi dadanya dan melafalkan istigfar. ——RatuNna Kania——Mala tidak menyangka kalau respon dari ibu mertuanya akan sedemikian bengisnya. Ditambah lagi dengan pertanyaan yang dilontarkan dari mulut Bu Samira membuat malah tertegun. karena benar adanya, uang yang digunakan untuk membeli kue itu adalah uang kiriman dari suaminya beberapa hari lalu dan dia pun sudah izin kepada Rahman, untuk menginap serta merayakan ulang tahun pernikahan orang tuanya.Rahman pun telah mengizinkannya tentu saja Mala tidak bilang atau izin untuk memakai uang yang diberikan kepadanya, karena pikir Mala itu adalah uang nafkah dari suaminya dan dia berhak menggunakannya untuk apapun. Selama uang itu di
"Minum dulu," titah Tika sambil menyodorkan segelas air putih yang di bawa Aisyah barusan. Mala menerimanya kemudian meminumnya hingga tandas. Beberapa menit kemudian, terlihat Mala sudah menguasai dirinya. Tika tak banyak bertanya, lebih memilih menunggu tetangganya itu bercerita. Mengalirlah cerita sebab dia menangis. Tika tak mencela setiap omongan Mala, ia fokus mendengarkan dan matanya melihat Alia uang anteng bermain di ayunan. Mala menceritakan apa yang terjadi di rumah mertuanya tadi, dengan detail. Sama seperti yang terjadi disana. "Begitu, Ka. Aku nggak nyangka ibu akan bicara seperti itu. Lagian aku beli kue dan hadiah dibantu dengan uang Aisyah. Kamu tau kan, Aisyah sudah bisa cari uang." Aisyah terlihat komat-kamit mulutnya, entah mengumpat kelakuan bu Samirah atau dia sedang berdoa agar bisa meredam emosinya yang sedang memuncak setelah mendengar penuturan kakaknya."Begini, ya La. Aku minta maaf terlebih dahulu, ini aku bicara melalu linsudut pandang aku. Di sini aku
Jam sudah menunjukkan kearah angka tiga. Tapi mata Mala belum juga terpejam. Hatinya gelisah juga terngiang-ngiang selalu tentang apa yang diucapkan oleh ibu mertuanya tadi siang. Dan apa yang dikatakan Tika, pun begitu menggerogoti pikirannya tentang kecemburuan besar Bu Samirah dan kedua iparnya itu, memang ia pun menyadari selama ini belum pernah memberikan perhiasan kepada Ibu mertuanya itu. Karena memang kondisi keuangan mereka yang hanya cukup, lagi pula gaji suaminya selalu dibagi dua dengan ibu mertuanya setiap bulan. Lalu bagaimana bisa ia memberikan hadiah untuk mertuanya? Mala terduduk lalu meraih botol minum di nakas yang memang selalu tersedia agar kalau kehausan tengah malam, ia tinggal bangkit saja tak usah ke dapur lagi. Hadiah kemarin pun bukan darinya. Gelang dan jam tangan itu dibeli oleh Aisyah, karena hanya adiknya yang mempunyai penghasilan sendiri saat ini. Sedangkan Mala masih mengandalkan uang dari Rahman, dia hanya membelikan kuenya saja seharga seratus dua
"Ya, wajarlah, namanya kakak sama adik, kamu juga gitu kan sama Rahman? Dulu, saat lahiran si Nayla yang capek kan Rahman, karena si Anton lagi di luar pulau," sahut Wak Isah menimpali ucapan kakak iparku. "Belum lagi ngurusin surat-suratnya, Wak Ali juga ikut turun tangan waktu itu. Jangan begitu mulutmu, Ni. Baik-baik sama ipar, Gak kapok apa?" Lanjut Wak Isah sambil mendelik. "Kenapa kamu yang sewot, Sah? Eni, bicara benar dan apa adanya!" Tiba-Tiba ibu nyeletuk tak terima."Mikir aja sendiri deh, Mir. Kamu sudah tua juga kan?" sahut Wak Isah dengan ketus. Kemudian menyuruh mang Ujang menghitung belanjaannya. Tika mengelus punggungku sambil berbisik. "Tenang, sabar dan biarkan!"La, ayo cepetan belanjanya, kalau lama-lama disini, nanti kamu bisa ketularan gak tau diri," ucap Wak Isah sambil melangkah pulang. Kulihat ibu mencebik. Sejauh yang aku tahu, ibu memang selalu kalah kalau berdebat dengan istri kakaknya itu. Mulut pedas Wak Isah selalu tepat sasaran. "Hitung, Mang!" tit
"Bapak sih, setuju saja. Yang penting kamu ingat janji kamu itu," sahutnya lalu meraih gelas yang ada di hadapannya kemudian meneguknya hingga tandas."Sama saja, itu merugikan orang. Berdalih apapun tetap jatuhnya begitu, mengambil keuntungan!" dengus ibu dengan pelan dan aku masih bisa mendengarnya. ——RatuNna Kania ——Aku tak memperdulikan ocehan perempuan tua dihadapanku. Sebab itu sudah tabiatnya, selama nyawanya masih bersatu dengan raganya, maka tak akan mungkin beliau berubah. Aku selalu mencoba mengabaikan apa yang dikatakan Ibu. Meski tidak bisa aku pungkiri dalam hati ini merasakan sangat sakit.Mau bagaimana lagi, beliau ibu dari suamiku. Selain sabar dan menerima, aku bisa apa? Selama suamiku dan bapak mertua masih baik. Tak ada alasan aku menjauhkan diri dari keluarga ini. Yang diperlukan saat ini adalah, kalapangan hatiku juga sabar yang tiada batas. Meski, terkadang aku lupa atas si sabar itu dan membantah ucapan ibu mertuaku. Aku hanya wanita biasa yang terka
"Tika gak kesini?" tanya Sisil sambil memandangku. "Aku tidak tahu, akan kucoba telepon." Aku langsung merogoh ponselku dibalik saku daster. Kemudian menekan nomor Tika dan terdengar dering, beberapa detik kemudian, langsung terdengar suara Tika "Iya, La. Ada apa?" suara dari seberang sana."Ka, kamu dimana? Sini ke pos kamling, kita mau rujakan. Aku, Sisil, bu Hana, Yanti dan juga Novi.""Aku masih di luar, lagi jemput sekolah. Ya … udah duluan aja!" sahut Tika. Akhirnya kami rujakan tanpa Tika, diselingi canda dan tawa begitupun ghibah tak luput dari mulut kami. Aku lebih banyak diam dan mendengarkan. Karena jika salah berucap akan jadi bumerang bagi diriku sendiri.Terlihat Aisyah lewat ternyata sudah jam dua lebih. Aku pun pamit dengan alasan aku akan pergi ke rumah emak dan Abah.Sebenarnya sudah dari tadi aku ingin segera pulang. Tapi, aku bingung dengan alasan apa. Jujur saja, aku kurang suka dengan kumpul-kumpul seperti ini. Karena selain menambah dosa, juga aku bukanlah ti
Jam, memang telah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku mengetuk pintu, karena saat ku putar handle pintu ternyata sudah terkunci."Siapa?" terdengar suara ibu bertanya dari dalam."Mala, Bu!" "Ada apa?" Pintu pun terbuka lebar. "Ini Mala, beli martabak buat, Ibu sama Bapak!" ucapku sambil menyodorkan bungkusan martabak yang masih panas."Malam-malam begini, kalian masih keluyuran? Perempuan macam apa?" ———RatuNna Kania ———Ibu mengomel sambil menerima bungkusan yang aku sodorkan. Aku pun langsung pamit, tanpa menyahuti ocehan ibu. Kulihat Aisyah menekuk mukanya mungkin kesal karena aku diam saja. Ya, mau bagaimana lagi. Wataknya ibu seperti itu, mau aku datang pagi atau malam akan tetap salah di mata ibu. jadi, biarkan saja beliau melakukan apapun maunya. "Heran, deh! Teteh, gak mau gitu balas ucapan nenek tua itu. Kupingku sakit, Teh, selalu mendengar ucapan ketusnya," sungut Aisyah sambil naik ke motornya. Wajar, kalau adikku kesal dengan perangai ibu selama ini. Karen