"Lah, kalau belanja dipasar mah, nanti harganya sama saja dengan warung lainnya." Ibu mencebik setelah sekilas melirikku. "Mala mau nanya, bukan belanja di pasar!" sahutku dengan sedikit menekan nada bicara. "Oh!" Hanya itu respon ibu. Sungguh ini keajaiban yang tak pernah aku bayangkan, sekalipun dalam mimpi. Hehehe."Mirah! tumben kau disini? Akur pula!" Bu Usman menghampiri kami yang sedang santai setelah makan. "Telat kau, Man. Kita baru selesai makan liwet loh!" ucap ibu sambil menyuapkan jeruk dari tangannya. "Kenapa gak ngasih tau aku sih?" ucapnya dengan merajuk. Kalau melihat pertemanan ibu dengan Bu Usman itu unik. Karena hanya ibu yang tahan terus jadi teman Bu Usman dengan segala celamitannya. Semua pintu kalau kedatangan Bu Usman akan mendadak terkunci karena, ya itu. Apa yang dilihat Bu Usman selalu ingin memilikinya. Apapun itu. Kalau tidak diminta, ya di pinjam. Tapi pinjaman yang tak akan dikembalikan.Aku meninggalkan emak, ibu dan bu Usman di teras. Kami beda ge
Sepuluh hari telah berlalu, pembangunan toko sudah selesai. Kini Fariz sedang memang banner nama toko di depan, dengan tulisan. 'Toko Berkah Jaya' khusus grosir. Nama itu hasil diskusiku dengan mas Rahman beberapa hari lalu dan disetujui oleh emak dan abah juga bapak, jangan tanya tentang pendapat ibu, karena ibu tetap ngotot ingin nama toko itu pake nama anaknya. Tapi mas Rahman tidak mau. Biarlah nama toko kami memakai kata berkah saja, katanya. Agar nanti penghasilan yang didapat juga bisa berkah buat kami. Dan nama Jaya' sengaja aku sematkan. Entahlah, aku selalu melihat beberapa toko berakhiran nama Jaya' selalu ramai pembeli dan kokoh bertahan lama. Ini hasil pengamatanku, saat dulu masih bekerja di toko milik koh Acong. Di Sekitar toko tempatku berkerja banyak nama toko lainnya yang berujung jaya. Ada, Udin Jaya, Padang Jaya' kemudian banyak lagi. Jadi aku pake aja nama Jaya'nya biar berjaya juga. Hehehe. Di rumahku beberapa orang sedang membantu memasak, karena akan diadak
Waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore, aku baru selesai ber-make up. Dua jam setengah aku luluran, maskeran dan segala macam perawatan. Untung ada kamar mandi dalam kamarku, jadi semua ku lakukan dalam satu ruangan. Luluran di bantu Aisyah tadi. Terdengar riuh dari arah depan. Apakah mas Rahman telah datang? Akh, aku harus segera keluar. Dan, benar saja ibu sedang memeluk anaknya dan menangisinya. Sedangkan bapak juga Abah berdiri di sampingnya. Aku jadi ikutan terharu. Ada pepatah yang bilang, sedewasa apapun seorang anak. Tapi, Dimata orang tuanya, dia tetap anak kecil yang perlu diingatkan dan selalu dinasehati. Mas Rahman melihatku lalu melepas pelukan ibunya dan menghampiriku, aku mencium takzim tangannya. Lalu dia memelukku di hadapan orang banyak, membuat riuh suasana seketika. Sorak-Sorai menggema belum lagi suara suit-suit dari Aisyah. Aku hafal betul itu suitan adikku. Karena hanya dia yang bisa memainkannya. "Aku rinduuuuu sekali," bisiknya di telingaku. Bulu romak
Langkahku baru saja dua langkah, terpaksa berhenti dan berbalik kembali untuk mengetahui siapa yang datang."Mala, La!" Aku langsung membuka kembali pintu itu dan ternyata Novi, tetangga belakang rumah Bu usman yang datang."Iya ada apa, Vi?" "Boleh aku bicara sebentar, La," ucapnya dengan tatapan sendu. Aku sedikit kaget dengan sikapnya. Lalu mempersilahkan masuk ke ruang tamu. Karena sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan. "Begini, La. Sebenarnya aku malu banget—aku mau minta tolong lagi," ucapnya dengan memainkan kedua telapak tangannya. "Ada apa?" tanyaku lagi mengulang pertanyaan yang telah aku lontarkan. "Aku mau pinjam uang tiga ratus ribu saja. Aku udah kepepet banget ni, La. Malu sama teman-temanku, karena aku belum bayar kreditan," sahutnya. Aku menghela nafas kemudian membuangnya. Ini bukan kali pertama Novi meminjam uang kepadaku dan alasannya selalu sama, untuk hal-hal yang tidak berfaedah. Dia punya geng sosialita yang selalu menjual barang-barang brande
Iseng-iseng aku membuka satu persatu status yang baru saja diperbarui itu, lalu mataku tertuju pada satu status berwarna pink yang tanpa aku buka pun sudah terlihat.'Ngasih pinjem nggak! Nyeramahin, iya. Menyebalkan! Bacot banget sih! Degh— Status Novi itu untuk siapa? Aku kah? ——RatuNna Kania——Padahal tadi dia yang minta pendapatku. Saat aku mengemukakan pendapat, dibilang menyudutkan. Sudah jelas masalahnya kalau dia itu konsumtif dengan cara membeli barang-barang mewah padahal keuangan masih ngos-ngosan. Aku langsung membalas statusnya. {Vi, Maaf, ya kalau kata-kata aku tadi tidak bisa kamu terima. Aku minta maaf} send. Tak lupa aku bubuhkan beberapa emot tangan tertangkup di akhir kalimat. Tak selang berapa lama, muncul notifikasi bahwa ada pesan Wa masuk. {Nggak kok, La. Bukan masalah itu, ini masalah lain lagi} balasnya. Aku tak membacanya. Rasa sakit hati setelah membaca statusnya Novi kini seakan menjalar dalam segala arah membuatku badmood seketika. Bisa-Bis
"Kamu gak bisa bikin sarapan lain selain nasi goreng? Perasaan, anakku setiap sarapan menunya nasi goreng terus. Dia baru pulang loh," ucap ibu seolah aku ini hanya bisanya memasak nasi goreng saja.Mas Rahman itu tipe orang yang mau makannya jadul saja. Walaupun kami jalan keluar pasti yang dicari nasi goreng. Begitupun sarapan di rumah. Dia pernah bilang daripada makan roti atau gorengan pagi hari, mending makan nasi goreng kenyang sampai siang jadi kalau lagi ngajar gak lapar. Tapi di mata ibu lain lagi. Padahal suamiku itu anaknya, masa iya lupa sama kesukaan anak sendiri. "Masak yang lain!" titahnya tak terbantah. "Iya, Bu!" sahutku dengan lelah, hari ini rencananya akan membuka toko untuk pertama kalinya. Tapi sudah di recokin ibu sepagi ini, ku kira setelah pindah aku akan terbebas dari bayang-bayang omelan ibu, tapi ternyata tidak! Bestie. Sepertinya ibu lebih suka ngurusin rumah tanggaku daripada rumahnya sendiri. Padahal bapak sedang tidak bekerja. Tapi ibu sempat-sempatn
Galau.Pembeli silih berganti meski masih jarang tapi uang di laci sampai saat ini sudah beberapa ratus ribu, banyak yang mampir belanja untuk dijual lagi, awalnya mereka akan ke pasar tapi karena melihat tokoku mereka pun akhirnya membeli di tokoku dengan dalih lebih hemat waktu juga BBM. Karena kalian tahu sendiri BBM sekarang mahal. Jelas saja aku sangat senang karena tidak usah mencari pelanggan tapi mereka yang datang sendiri.Tak terasa kumandang adzan ashar sudah terdengar aku berniat untuk pergi shalat terlebih dulu, mungpung lagi tak ada pembeli. Saat aku memundurkan kursi terdengar suara seorang wanita."Kapan pulang, Man?" ———RatuNna Kania———Kulihat Helen tengah berdiri dan menyodorkan tangannya pada suamiku. Aku dengan segera maju ke depan dan memanggilnya namanya."MAS!" teriakku. Dengan gegas mengahampirinya. Kulihat tangan Helen masih menggantung, mas Rahman seketika berbalik dan menoleh padaku. "Kenapa?" tanyanya denga suara yang lembut. "Ini sudah adzan, sa
"Dan asal kamu tahu! Kemanapun mas Rahman melangkah, maka, aku akan terus ada bersamanya, catat ingat itu!" "Hahaha! Rahman udah kayak peliharaan saja, ya ke mana-mana dikintilin Mulu. Ya … Allah, kasihan sekali nasibnya mantan pacarku itu. Malang benar takdir hidupnya," ledek Helen dengan tertawa terbahak-bahak membuatku ingin menyumpalkan sandal yang sedang aku pakai ke mulut besarnya.Sudah jelas-jelas aku overprotektif pada suamiku itu, karena akibat keagresifan dia yang tidak tahu malu. Dia tidak bisa mengambil hati suamiku, tapi dia telah mengambil hati mertua dan kakak iparku. Dan jika dia terus agresif seperti itu tidak menutup kemungkinan besok-besok suami hatiku pun ikut dicuri olehnya, ya kan?Sungguh keberadaan Mas Rahman di rumah saat ini, tidak membuatku tenang sama sekali. Karena aku tidak boleh lengah mengawasinya, andaikan aku lengah sudah ada rubah yang akan memangsanya. Ya … Tuhan apakah ini normal atau tidak? Ketakutanku akan kehilangan Mas Rahman begitu tidak ma