Langkahku baru saja dua langkah, terpaksa berhenti dan berbalik kembali untuk mengetahui siapa yang datang."Mala, La!" Aku langsung membuka kembali pintu itu dan ternyata Novi, tetangga belakang rumah Bu usman yang datang."Iya ada apa, Vi?" "Boleh aku bicara sebentar, La," ucapnya dengan tatapan sendu. Aku sedikit kaget dengan sikapnya. Lalu mempersilahkan masuk ke ruang tamu. Karena sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan. "Begini, La. Sebenarnya aku malu banget—aku mau minta tolong lagi," ucapnya dengan memainkan kedua telapak tangannya. "Ada apa?" tanyaku lagi mengulang pertanyaan yang telah aku lontarkan. "Aku mau pinjam uang tiga ratus ribu saja. Aku udah kepepet banget ni, La. Malu sama teman-temanku, karena aku belum bayar kreditan," sahutnya. Aku menghela nafas kemudian membuangnya. Ini bukan kali pertama Novi meminjam uang kepadaku dan alasannya selalu sama, untuk hal-hal yang tidak berfaedah. Dia punya geng sosialita yang selalu menjual barang-barang brande
Iseng-iseng aku membuka satu persatu status yang baru saja diperbarui itu, lalu mataku tertuju pada satu status berwarna pink yang tanpa aku buka pun sudah terlihat.'Ngasih pinjem nggak! Nyeramahin, iya. Menyebalkan! Bacot banget sih! Degh— Status Novi itu untuk siapa? Aku kah? ——RatuNna Kania——Padahal tadi dia yang minta pendapatku. Saat aku mengemukakan pendapat, dibilang menyudutkan. Sudah jelas masalahnya kalau dia itu konsumtif dengan cara membeli barang-barang mewah padahal keuangan masih ngos-ngosan. Aku langsung membalas statusnya. {Vi, Maaf, ya kalau kata-kata aku tadi tidak bisa kamu terima. Aku minta maaf} send. Tak lupa aku bubuhkan beberapa emot tangan tertangkup di akhir kalimat. Tak selang berapa lama, muncul notifikasi bahwa ada pesan Wa masuk. {Nggak kok, La. Bukan masalah itu, ini masalah lain lagi} balasnya. Aku tak membacanya. Rasa sakit hati setelah membaca statusnya Novi kini seakan menjalar dalam segala arah membuatku badmood seketika. Bisa-Bis
"Kamu gak bisa bikin sarapan lain selain nasi goreng? Perasaan, anakku setiap sarapan menunya nasi goreng terus. Dia baru pulang loh," ucap ibu seolah aku ini hanya bisanya memasak nasi goreng saja.Mas Rahman itu tipe orang yang mau makannya jadul saja. Walaupun kami jalan keluar pasti yang dicari nasi goreng. Begitupun sarapan di rumah. Dia pernah bilang daripada makan roti atau gorengan pagi hari, mending makan nasi goreng kenyang sampai siang jadi kalau lagi ngajar gak lapar. Tapi di mata ibu lain lagi. Padahal suamiku itu anaknya, masa iya lupa sama kesukaan anak sendiri. "Masak yang lain!" titahnya tak terbantah. "Iya, Bu!" sahutku dengan lelah, hari ini rencananya akan membuka toko untuk pertama kalinya. Tapi sudah di recokin ibu sepagi ini, ku kira setelah pindah aku akan terbebas dari bayang-bayang omelan ibu, tapi ternyata tidak! Bestie. Sepertinya ibu lebih suka ngurusin rumah tanggaku daripada rumahnya sendiri. Padahal bapak sedang tidak bekerja. Tapi ibu sempat-sempatn
Galau.Pembeli silih berganti meski masih jarang tapi uang di laci sampai saat ini sudah beberapa ratus ribu, banyak yang mampir belanja untuk dijual lagi, awalnya mereka akan ke pasar tapi karena melihat tokoku mereka pun akhirnya membeli di tokoku dengan dalih lebih hemat waktu juga BBM. Karena kalian tahu sendiri BBM sekarang mahal. Jelas saja aku sangat senang karena tidak usah mencari pelanggan tapi mereka yang datang sendiri.Tak terasa kumandang adzan ashar sudah terdengar aku berniat untuk pergi shalat terlebih dulu, mungpung lagi tak ada pembeli. Saat aku memundurkan kursi terdengar suara seorang wanita."Kapan pulang, Man?" ———RatuNna Kania———Kulihat Helen tengah berdiri dan menyodorkan tangannya pada suamiku. Aku dengan segera maju ke depan dan memanggilnya namanya."MAS!" teriakku. Dengan gegas mengahampirinya. Kulihat tangan Helen masih menggantung, mas Rahman seketika berbalik dan menoleh padaku. "Kenapa?" tanyanya denga suara yang lembut. "Ini sudah adzan, sa
"Dan asal kamu tahu! Kemanapun mas Rahman melangkah, maka, aku akan terus ada bersamanya, catat ingat itu!" "Hahaha! Rahman udah kayak peliharaan saja, ya ke mana-mana dikintilin Mulu. Ya … Allah, kasihan sekali nasibnya mantan pacarku itu. Malang benar takdir hidupnya," ledek Helen dengan tertawa terbahak-bahak membuatku ingin menyumpalkan sandal yang sedang aku pakai ke mulut besarnya.Sudah jelas-jelas aku overprotektif pada suamiku itu, karena akibat keagresifan dia yang tidak tahu malu. Dia tidak bisa mengambil hati suamiku, tapi dia telah mengambil hati mertua dan kakak iparku. Dan jika dia terus agresif seperti itu tidak menutup kemungkinan besok-besok suami hatiku pun ikut dicuri olehnya, ya kan?Sungguh keberadaan Mas Rahman di rumah saat ini, tidak membuatku tenang sama sekali. Karena aku tidak boleh lengah mengawasinya, andaikan aku lengah sudah ada rubah yang akan memangsanya. Ya … Tuhan apakah ini normal atau tidak? Ketakutanku akan kehilangan Mas Rahman begitu tidak ma
Me time. "Sana sholat!" titah mas Rahman dengan nada suara yang naik satu oktav. Huh alah sungguh aku tak rela jika aku pergi, lalu mas Rahman mengobrol dengan mantannya. Setelah kupandang wajah suamiku, aku pun meyakinkan diri ini untuk pergi meninggalkan toko. Ya, aku pergi untuk menunaikan shalat. Walaupun hatiku sangat gamang, baru juga dua langkah tiba-tiba ada suara yang memanggil suamiku"Man, Apakabar?" ——RatuNna kania——Aku langsung menengok ke belakang, ternyata suaminya Tika, sepertinya baru pulang pagi ini. Karena kemarin dia tidak ada di rumah. "Eh, Ris. Alhamdulillah Sehat. Baru keliatan nih," ucap mas Rahman dengan ramah."Baru pulang tadi pagi!" sahut Aris."Ayah, ia au shushu!" ucap Alia. Akh aku jadi tenang untuk meninggalkan toko, aku pun meneruskan langkahku dengan mantap. Aku pasrahkan semua pada Allah. Karena mau aku genggam seperti apapun, kalau memang ditakdirkan bukan milikku selamanya, aku bisa apa? Aku terkikik geli dengan mengingat kejadian tadi. Konyol
"Memangnya kamu nggak capek, Man? Seharian kamu jaga toko, sekarang kamu mau pergi. Apa jangan-jangan istrimu, ya yang minta jalan-jalan?" ucap ibu sambil melihatku dengan sinis dan aku hanya diam saja."Nggak! Bu. Rahman kan udah lama nggak pernah jalan sama Mala. Jadi malam ini Rahman ingin menyenangkan hati istri sendiri, begitu. Kamu senang kan kalau aku ajak jalan, La?" tanya Mas Rahman dengan tersenyum manis padaku. Hatiku tiba-tiba saja berdebar. Entahlah, meskipun telah menikah dengannya setahun yang lalu tapi jika diperlakukan seperti ini aku masih sering malu."Jangan terlalu memanjakan istri, Man. Nantinya ngelunjak!" ucap Ibu lagi dengan mendelik ke arahku. Ya … Tuhan ini mertuaku kapan akan baiknya padaku. Selalu saja bak bara api yang siap melahap ku kapan saja. Kurang apa aku selama ini. Bahkan ibuku pun selalu berbuat baik padanya tapi ibu selalu saja tak bisa bicara baik, padahal kalau diam sekalian itu lebih bagus.Aku tak habis pikir, kesalahan apa yang telah aku pe
Dipatok Ular.Sesampai di depan rumah ibu, terlihat banyak orang. Aku langsung loncat dari motor saat mas Rahman baru saja berhenti. Aku berlari kedalam untuk melihat ada apa di rumah mertuaku. Saat aku telah mencapai pintu, aku tak kuasa saat melihat apa yang ada di hadapanku. "Bapaaaaaak!" ——RatuNna Kania ——Aku menerobos masuk saat melihat bapak tengah dikipasi oleh Bu RT. Sedangkan ibu terlihat sangat khawatir. "ADA APA INI?" tanyaku dengan menjerit, wajah bapak terlihat tenang tapi dadanya masih naik turun, itu tandanya beliau masih hidup. "ADA APA INI?" Mas Rahman masuk tak kalah panik denganku. "Bapakmu dipatuk ular, Man!" ucap Bu RT. "Kenapa gak dibawa ke rumah sakit? Ayo kita ke rumah sakit!" ucap mas Rahman dengan panik. Urat-Urat di wajahnya tercetak jelas. "Lagi nunggu pak RT datang, kebetulan lagi keluar," sahutnya lagi."Pake motor saja, ayo bantu angkat, ucap mas Rahman. Kebetulan ada Aris suami Tika juga disana. Akhirnya bapak dibawa dengan menaiki motor