Dipatok Ular.Sesampai di depan rumah ibu, terlihat banyak orang. Aku langsung loncat dari motor saat mas Rahman baru saja berhenti. Aku berlari kedalam untuk melihat ada apa di rumah mertuaku. Saat aku telah mencapai pintu, aku tak kuasa saat melihat apa yang ada di hadapanku. "Bapaaaaaak!" ——RatuNna Kania ——Aku menerobos masuk saat melihat bapak tengah dikipasi oleh Bu RT. Sedangkan ibu terlihat sangat khawatir. "ADA APA INI?" tanyaku dengan menjerit, wajah bapak terlihat tenang tapi dadanya masih naik turun, itu tandanya beliau masih hidup. "ADA APA INI?" Mas Rahman masuk tak kalah panik denganku. "Bapakmu dipatuk ular, Man!" ucap Bu RT. "Kenapa gak dibawa ke rumah sakit? Ayo kita ke rumah sakit!" ucap mas Rahman dengan panik. Urat-Urat di wajahnya tercetak jelas. "Lagi nunggu pak RT datang, kebetulan lagi keluar," sahutnya lagi."Pake motor saja, ayo bantu angkat, ucap mas Rahman. Kebetulan ada Aris suami Tika juga disana. Akhirnya bapak dibawa dengan menaiki motor
Dipatuk Ular. Heningnya malam menambah kecemasan. Kami semakin kalut, setiap derit pintu IGD terbuka, maka mata kami pun mengarah kesana. Ini sudah hampir jam dua malam, tapi belum ada kabar apapun dari dalam sana. Krieeet ….Derit pintu kembali terdengar, kali ini benar tebakanku mas Rahman yang keluar, aku langsung berlari ke arahnya, begitu pun kak Eni dan bang Rahmat. "Man!" "Mas!" Kami seolah kompak menyebut nama suamiku. "Aku mau jemput, Ibu," ucapnya dengan lemas. "Aku juga mau lihat, Bapak!" ucap kak Eni dan bang Rahmat serempak. "Sabar! Biarkan aku membawa ibu dulu!" Aku sedikit terperanjat saat mendengar kata-kata yang terucap dari bibir suamiku itu. Mas Rahman tak pernah bersuara tinggi terhadap kakak-kakaknya. Tapi kali ini dia seolah menyembunyikan sesuatu dari kami. Pikiranku tentang bapak sudah makin macam-macam saja. Teringat bu Hanum tetangga emak dulu, ia dipatuk ular tanah saat sedang membersihkan kebun di belakang rumahnya, dan nyawanya tidak bertahan dua p
Sepeninggal Bapak.Sirine mobil jenazah begitu meraung-raung di waktu menjelang subuh, sama kerasnya dengan raungan dalam hatiku yang kehilangan sosok mertua yang baik. ——RatuNna——Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya aku bertanya dalam hatiku sendiri, kenapa bapak harus pergi secepat itu. Akh, Bukankah jodoh, kematian dan rezeki adalah rahasia Allah? Lantas kenapa aku harus meratap seperti ini. Kuusap kain penutup tubuh bapak yang telah kaku. Begitu berat rasanya menerima dengan lapang kenyataan ini."Mala ikhlas, Pak! Bapak yang tenang. Semoga amal ibadah dan kebaikan, Bapak selama ini jadi penerang di alam kubur. Doakan juga Mala agar selalu sabar menghadapi ujian rumah tangga kami!" Aku menarik nafas dalam dan mengusap-ngusap dadaku yang masih terasa sakit, sakit karena kehilangan sosok bapak mertua yang begitu baik.Aku coba untuk tegar karena siapa lagi yang akan mengurus pemakamannya bapak hingga selesai kalau bukan aku dan Mas Rahman. Jika aku saja sesesak ini, ap
Ibu terus menangis. Proses penguburan pun berjalan lancar juga cepat karena banyak yang membantu. Kini yang tersisa hanya gundukan tanah yang sedikit menggunung dan yang ada di pemakaman pun tinggalah keluarga inti saja, para tetangga dan teman-teman dan saudara lainnya sudah pulang. Ibu terus mengusap-ngusap kuburan bapak tanpa berkata sepatah kata pun.Ria sudah di bawa pulang oleh Aisyah dan kak Eni memakai motor, karena kondisi badannya yang lemah dan beruang kali pingsan. Tapi aku tetap membawanya ke pemakaman bapak, agar nanti tak ada penyesalan dalam hatinya sama halnya seperti ibu yang aku paksa bawa untuk melihat penguburan bapak."Bu, ayo kita pulang," ajakku dengan pelan tapi ibu hanya menggeleng dan terus menatap ke arah kuburan."Bapak sudah tenang, Bu. Yuk! kita pulang. Ibu harus istirahat nanti Ibu sakit karena dari kemarin belum tidur," ucapku lagi. Tapi ibu mertuaku tidak bergeming hingga Mas Rahman yang kini mengajaknya bicara."Bu hari sudah semakin siang, terik mat
"Ada apa, Man?' tanya bang Rahmat yang datang dari belakang.Mas Rahman menceritakan apa yang terjadi, tentang telepon dari Arif dan dia harus pergi ke Lampung hari ini juga. Bang Rahmat pun mendukung untuk Mas Rahman segera kembali ke Lampung beberapa hari. Karena dia bilang mungkin saja kesempatannya tidak datang dua kali. Dan aku membenarkannya."Percayakan ini pada Abang, Man. Karena aku adalah anak tertua," ucapnya dengan memandang wajah adiknya. Akhirnya dengan berat hati Mas Rahman pun menyetujui untuk pergi. Aku pun mempersiapkan segala sesuatu untuk kepergiannya. Setelah mas Rahman pergi, aku makin sibuk mengurus acara di rumah ibu setiap hari, untung saja di toko ada Agus dan Sandi. Profit pun makin hari makin naik. Aku mengambil keperluan untuk acara tahlilan dari tokoku, tentu saja dengan mencatat setiap barang yang di ambil. Bukan perhitungan, tapi anak bapak ada banyak. Jadi biar tahu berapa pengeluaran untuk acara ini. Uang yang di dapat dari para pelayat pun tak mai
Dua juta rupiah, Aku mau. "Imbalannya apa? Kalian tidak bisa mengurusi ibu dengan alasan kalian bekerja dan reward untuk aku apa? Selama mengurusi ibu. Kalian bekerja sudah tentu mendapatkan uang lalu aku yang mengurusi ibu dapat apa?" ucapnya dengan lantang. Membuat aku kaget, dan kurasa bang Rahmat pun demikian. Sebegitu perhitungannya kak Eni dengan kami. Padahal sudah jelas selama setahun ini, akulah yang banyak mengeluarkan biaya atau tenaga untuk mengurusi keluarga ini. Dan yang aku titipkan juga ibunya, bukan ibuku."Kamu minta bayaran, Ni?" tanya bang Rahmat. Kak Eni terdiam, aku shock mendengar penuturan kakak iparku itu. Padahal selama ini, kehidupannya selalu ditopang oleh ibu. Bayar kontrakan, bayar listrik, bekal anaknya sekolah dan kadang-kadang makanan pun, selalu dibantu oleh ibu. Ya … kalau ibu sedang tidak punya, siapa lagi yang jadi korban? Pasti aku lah, dengan dalih pinjam dan ibu akan bilang, nanti ibu yang akan bayar. Tapi pada nyatanya tidak pernah terjadi.Se
Dua juta rupiah, aku mau."Gimana, La?" tanya bang Rahmat sambil memandangku penuh harap. "Bang!" panggil mbak Susan, mungkin dia keberatan dengan jumlah nominal sebesar itu, tapi jujur saja, aku pun demikian. Toh selama ini kebutuhan kak Eni selalu di topang ibu sudah sewajarnya dia mengurusi ibu, apalagi itu wanita yang melahirkannya. Aku tak habis pikir dengan isi kepalanya itu. "Anak ibu ada empat, jadi masing-masing kebagian lima ratus ribu rupiah. Gimana?" tanya bang Rahmat sambil memandang adik kandungnya. "Ndak bisa gitu lah, kalian yang bayar bertiga," sahut kak Eni. "Bukankah kamu yang bilang anak ibu ada empat? Jadi kalau dua juta dibagi empat, masing-masing kebagian lima ratus ribu rupiah. Plus kamu gak usah sewa lagi, pindah kesini tinggal sama ibu. Bagaimana?" "Aku mau ngurusin ibu dan tinggal disini tapi uangnya pengen dua juta genap tanpa kurang sepeserpun," ucapnya lagi."Ya, nggak bisa begitulah! Itu namanya curang, ketika kamu minta bayarannya kamu bilang anak i
"Mala! Tunggu!" teriak Mbak Susan.Aku langsung menghentikan langkahku, hanya sekedar ingin tahu, mau ngomong apa kakak iparku ini. "Kenapa?""Jangan gitu, La. Ibu kewajiban kita semua. Tolong mengalahkan sama Eni!" ucapnya dengan bijak. Cih, lihatlah bagaimana cara iparku mencari muka depan suaminya. Selama ini apa yang pernah ia berikan pada ibu mertua kami? Tidak Ada! Bahkan, beras kami pernah di curinya lalu ditukar dengan Pete. Banyak sekali dosa iparku itu, memanfaatkan kebodohan mertuanya sendiri. Berapa kali ibu ikut arisan, berapa kali pula katanya arisannya dibawa kabur, padahal uangnya digunakan sendiri. Jadi ketika dia bijak, jujur aku tak percaya. Apalagi setelah peristiwa viralnya aku di toktok akibat ulahnya, mual sekali rasanya. Dia berubah baik karena ada maunya, karena melihatku dengan keadaan sekarang biar mudah di hutangi."Mengalah? Untuk apa? Sudah jelas, kak Eni bilang itu urusan keluarga ini dan aku hanya menantu. Lah aku tau diri dong. Ngapain juga ngeribet