"Mala! Tunggu!" teriak Mbak Susan.Aku langsung menghentikan langkahku, hanya sekedar ingin tahu, mau ngomong apa kakak iparku ini. "Kenapa?""Jangan gitu, La. Ibu kewajiban kita semua. Tolong mengalahkan sama Eni!" ucapnya dengan bijak. Cih, lihatlah bagaimana cara iparku mencari muka depan suaminya. Selama ini apa yang pernah ia berikan pada ibu mertua kami? Tidak Ada! Bahkan, beras kami pernah di curinya lalu ditukar dengan Pete. Banyak sekali dosa iparku itu, memanfaatkan kebodohan mertuanya sendiri. Berapa kali ibu ikut arisan, berapa kali pula katanya arisannya dibawa kabur, padahal uangnya digunakan sendiri. Jadi ketika dia bijak, jujur aku tak percaya. Apalagi setelah peristiwa viralnya aku di toktok akibat ulahnya, mual sekali rasanya. Dia berubah baik karena ada maunya, karena melihatku dengan keadaan sekarang biar mudah di hutangi."Mengalah? Untuk apa? Sudah jelas, kak Eni bilang itu urusan keluarga ini dan aku hanya menantu. Lah aku tau diri dong. Ngapain juga ngeribet
Aku bergegas mandi dan bersiap untuk ke toko karena walaupun ada karyawan, usaha itu tidak boleh dilepas. Kita harus selalu memantau usaha kita. Itu pesan yang aku dapat dari bosku dulu. Jadi, kalau masalah uang, katanya tidak boleh mempercayakan kepada siapapun. Ketika kita mempunyai usaha, maka keuangan itu harus dikelola oleh kita sendiri atau orang yang benar-benar dapat kita percaya. Karena kalau tidak bisa hancur semuanya dan itu memang benar adanya. Bahkan tidak sedikit orang-orang terdekat, saudara atau suami bisa saja berbuat curang karena kesempatan yang ada untuk melakukan itu semua. Jadi aku akan belajar merintis usaha ini dengan tanganku sendiri.Saat aku memasuki toko, kulihat Agus dan Sandy benar-benar kewalahan karena ada lima orang pelanggan yang sedang memilih barang dan semuanya ditanyakan pada kedua karyawanku. Akhirnya aku suruh Agus untuk melayani mereka dan aku menggantikannya di kursi kasir.Sampai jam dua belas siang masih ada saja pelanggan. Pembeli tidak pe
"Tapi kak Eni, mau bayarannya dua juta itu full dari kita loh, La," ucap mas Rahman lagi."Oh … itu sih nggak masalah buat aku mah, karena Ibu kan orang tua kamu Mas.Dan aku ingin membantu kamu untuk berbakti pada orang tuamu, jadi untuk pembayarannya walaupun kita kebagian satu juta rupiah, bagiku nggak jadi masalah sih, Mas. Tapi kalau memang mau dibagi tiga sama Ria juga lebih baik," ucapku. Karena Ria sudah bekerja jadi wajar kalau aku pun mengharap biayanya jadi di bagi tiga."Ya … sudah kalau begitu nanti aku mau telepon bang Rahmat. Eh, atau kamu saja yang bilang sama bang Rahmat, Gimana?" tanya suamiku, suaranya sudah sedikit bersemangat dibandingkan tadi saat awal menelpon."Oh, kalau itu maaf, ya! Mas. Aku tidak ingin ada keributan atau sakit hati lagi seperti semalam. Karena kak Eni sudah jelas bilang aku tidak boleh ikut campur dalam musyawarah. Jadi maaf, aku tidak ingin terlibat lebih jauh, tapi aku akan mendukung apapun demi kebaikan ibu," sahutku meski dalam hati ini
Bakti seorang menantu."Aku sih memang nggak kepikiran ke arah situ. Aku kira dua juta itu semuanya dengan ibu," ucap Mbak Susan dengan polosnya. Aku tersenyum miring mendengar penuturan Mbak Susan masa iya sih sampai tidak kepikiran seperti itu."Si Eni itu benar-benar mau meras kita, La," ucapnya lagi, aku hanya menunjukkan wajah datar karena aku yakin kalau aku berucap lain-lain maka akan disampaikannya pun lain. Jadi aku memilih diam saja dan cenderung tak peduli. "La?" panggil mbak Susan."Apa?" —— RatuNna kania ——"Kamu kok santai gitu, sih! Aku pusing tau mikirin ini." Mbak Susan begitu kalang kabut. Padahal seharusnya dia berpikir ini sejak kemarin. Mana ada gaji dua juta semua kebutuhan ditanggung. Kak Eni, suruh bagi empat pembayaranya saja tidak mau, apalagi nanggung kebutuhan rumah dan ibu. "Ya, aku harus bagaimana, Mbak. Bahkan aku tak boleh bersuara sama sekali!" "Gilak emang si Eni. Licik sekali dia!" umpatnya."Kamu tau kan, Abang iparmu itu kerjanya macam mana? K
"Diam bu Usman! Dan, silahkan pergi dari rumah ini!" usir kak Eni dengan menunjuk ke arah pintu keluar."Kak!" "Apa? Kau juga mau aku usir?" hardiknya dengan mata hampir keluar."Kakak kenapa? Kesurupan? Ibu sakit bukannya gimana, Malah kayak kesetanan!" balasku tak mau kalah. Biarlah ku lawan saja sesekali. "Pergi kau dari sini! Adik ipar kurang ajar!" "Aku disini juga hanya karena ibu sakit, kalau ibu tidak sakit tak sudi aku masuk ke rumah yang ada kakak di dalamnya. Kakak pikir, aku suka dengan, kakak?" Aku tersenyum miris dan menatap meremehkan pada kakak iparku itu."Kamu ngajak ribut?" "Bukannya, Kakak yang ngajakin aku ribut duluan?" ucapku sambil menengadah menatap lekat wajah bengisnya karena posisiku duduk disamping ibu yang terbaring, jadi harus sedikit mendongak saat melihat ke arahnya. Cukup sudah aku membiarkan semena-mena selama ini. Dihargai bukannya sadar diri, malah makin ngelunjak mau nidas pula. Huft."Kamu nantangin aku?" "Kak, sudah! Aku kesini mau bawa ibu
Kuklik diinfo grupnya ternyata kak Eni sudah membacanya. Tapi dia tak merespon, kenapa, ya? Ah, biarlah yang penting aku bisa mengurusi wanita tua dihadapanku ini. Meskipun aku tak pernah diperlakukan dengan baik … tak apa, aku niatkan semuanya ibadah dan lillahitaala."Bu, hari ini kita pulang. Ibu, tinggal di rumah Mala, ya, Bu? Ibu mau kan?" Kugenggam tangannya dengan mengusapnya pelan. Ibu menatapku dengan lekat, seakan sedang memperhatikan sesuatu yang sangat penting. "Bu! Ibu mengerti-kan apa yang Mala katakan?" tanyaku sekali lagi. Ibu hanya mengangguk lalu memejamkan matanya kembali. Lah bagaimana bisa pulang kalau ibu terus menutup matanya? Aku jadi bingung deh."Assalamualaikum!" Abah datang bersama Sandy menjemput kami. Kebetulan dari semalam kami sudah ngobrol tentang ibu. dan saran Abah dan Emak adalah membawa mertuaku ke rumah kami. Tentu saja dengan persetujuan mas Rahman, akupun dengan mantap hati membawa ibu pulang. Abah dan Sandy membawa tas yang telah aku rapikan
Emosi Bu Sarah."Kamu hamil, La?" tanya Bu RT membuyarkan lamunanku. "Aku … aku—""Kayaknya iya deh! Mala terlihat gemukan," sahut Bu haji sambil mengulas senyum padaku. Sementara aku kayak orang bingung, karena memang dua bulan ini tak sadar kalau belum datang bulan. ——RatuNna kania——Aku melihat kearah tubuhku sendiri, kuusap kembali perut yang terhalang kemeja rayon itu dengan sejuta harap agar apa yang diomongkan ibu jadi kenyataan. Akh, aku rindu suara anak kecil. "Coba, sini kupegang," ujar Bu Usman sambil mendekat. Aku diam saja tapi tanganku telah menyingkir dari area perut. "Ini keras lho! Kayaknya bener kata Samirah, kamu hamil," ucap Bu Usman bahkan tangannya hingga berulang kali mengusap area perut dan menekankan sedikit. Emak yang baru masuk ke arah kamar, mengucap syukur sambil menengadahkan kedua tangannya."Alhamdulillah. Ya … Allah. Ya … Robbi. Sehatkan anak dan calon cucuku," ucapnya sambil meraupkan kedua tangannya pada wajahnya. Aku membingkai senyum bahag
"Kan! Sudah aku bilang juga apa? Kamu itu tidak mau keluar uang untuk ibu. Kamu itu emang apa, ya? Aku bingung harus bilang apa lagi. Sekarang banyak makanan dari tetangga untuk ibu, tentu sajalah kamu akan berat hati untuk melepaskan ibu pulang bersamaku. Aku sudah tahu akal bulusmu, akan menjual makanan pemberian para tetangga di tokomu!" ucapnya dengan meremehkan. Membuat aku geram dan ingin ku Jambak saja rambutnya. "Maaf, ya! Ni. Anak saya tidak mungkin punya sifat seperti itu. Karena saya dan abahnya mendidik dia agar menjadi pribadi yang jujur dan bertanggung jawab. Jadi jangan tuduh anak saya dengan macam-macam prasangka kotormu! Kalau kamu mau bawa ibumu pulang, silahkan! Pintu keluar sebelah sana!" ucap emak dengan tegas dan tatapan mematikan. Aku sampai terbengong melihat reaksi emak kali ini. Apakah ibuku sudah jengah dengan sikap mengalahnya? Tapi ini keren sekali, emak yang hanya terlihat diam saja berubah jadi bak singa lapar saat membela aku. Bu Usman menganga mende