"Kan! Sudah aku bilang juga apa? Kamu itu tidak mau keluar uang untuk ibu. Kamu itu emang apa, ya? Aku bingung harus bilang apa lagi. Sekarang banyak makanan dari tetangga untuk ibu, tentu sajalah kamu akan berat hati untuk melepaskan ibu pulang bersamaku. Aku sudah tahu akal bulusmu, akan menjual makanan pemberian para tetangga di tokomu!" ucapnya dengan meremehkan. Membuat aku geram dan ingin ku Jambak saja rambutnya. "Maaf, ya! Ni. Anak saya tidak mungkin punya sifat seperti itu. Karena saya dan abahnya mendidik dia agar menjadi pribadi yang jujur dan bertanggung jawab. Jadi jangan tuduh anak saya dengan macam-macam prasangka kotormu! Kalau kamu mau bawa ibumu pulang, silahkan! Pintu keluar sebelah sana!" ucap emak dengan tegas dan tatapan mematikan. Aku sampai terbengong melihat reaksi emak kali ini. Apakah ibuku sudah jengah dengan sikap mengalahnya? Tapi ini keren sekali, emak yang hanya terlihat diam saja berubah jadi bak singa lapar saat membela aku. Bu Usman menganga mende
Secercah harapan.Mala tak kuasa menahan mertuanya untuk tetap tinggal bersamanya, karena sang kakak ipar malah menudingnya yang lain-lain. Eni, melukiskan luka bukan hanya pada hati Mala sang adik ipar saja, tapi dihati bu Sarah juga sebagai ibunya Mala pun merasakan sakit, bahkan lebih sakit dari apa yang anaknya rasakan. Mala tak pernah dendam pada mertuanya meskipun selama menjadi menantunya tak pernah diperlakukan baik karena sang suami begitu menyayanginya. semua sikap tidak bersahabat yang diperlihatkan bu Samirah seakan menguap begitu saja karena perlakuan Rahman padanya. Rahman benar-benar adil dan sangat menyayangi ibu dan istrinya. Membuat Mala semakin meluaskan rasa sabarnya untuk sang mertua. Tapi pada Eni, sepertinya dia sudah mulai hilang respek dan berakibat pada ketidak pedulian Mala pada keponakan-keponakan Rahman. Mala tak bisa lagi bersikap manis atau beramah tamah pada ketiga anak Eni seperti dulu, semenjak kejadian viralnya toktok dan puncaknya hari kemarin.
"Kamu … dari waktu, Mas pulang belum haid?" tanya Rahman jantungnya semakin berpacu tak sabaran ingin tahu apa yang terjadi pada istrinya."Belum!" sahut Mala sambil menggelengkan kepalanya. Sepertinya Mala hilang fokus, tak sadar kalau percakapan dengan suaminya itu via telpon bukan video call atau berhadapan."Cepat tes, sana!" titah Rahman tak sabar. "Kata orang bagus pagi-pagi, Mas! Besok pagi aja!" kilah Mala. Rumor-nya mengechek urine pada tespek harus dilakukan pagi-pagi. Padahal di rumah sakit terkadang chek urine jam berapa saja tak jadi masalah. Lalu siapa yang pertama bilang seperti itu? Entahlah di ples enam dua ini ragam manusia adanya. Jadi banyak mitos yang kadang-kadang gak logis pun dipercayai. Tapi mungkin perihal urine ini ada benarnya, akan lebih akurat di pagi hari kali, ya? Akh entahlah. "Emang ada aturan ngechek urine?" tanya Rahman lagi."Entahlah!" sahut Mala ragu."Ya udah sana tes, aku ganti video call, ya!" "Hmz!" Mala sedikit merasa was-was dengan tes y
Positif.Mala sangat bahagia melihat garis dua di tespeknya. Ia sudah tak sabar ingin segera sore hari dan akan pergi ke bidan hari ini juga. Tak lupa ia menyuruh Aisyah untuk mengantarnya, tapi adiknya itu ternyata sedang sakit, terpaksa Faris yang harus mengantarnya. Mala belum memiliki motor meski keuntungan toko dua bulan ini sungguh menakjubkan, tapi ia ingin mengembalikan uang Helen dan kedua kakak iparnya, jadi ia menahan diri untuk membeli sesuatu yang sifatnya hanya butuh bukan darurat. Semetar di rumah bu Samirah, Eni sedang emosi karena ibunya bak di kasur. Padahal ia baru saja pulang menjemput anak pertamanya dari sekolah. Kondisi rumah yang berantakan akibat Nayla yang sedang masanya ngacak-ngacak mainan setiap harinya, ditambah ibunya yang semakin hari semakin merepotkan. Eni langsung meraih ponselnya dan mengetik sesuatu di grup wa keluarganya.{Beliin Pampers, sih! Hari ini ibu bak di kasur, baunya keseluruh penjuru dunia, cepat kirim Pampers ke rumahku} Mala yang s
"Hmz. Ini adik saya, Bu. Suami saya kebetulan sedang di luar pulau. Jadi yang mengantar kesini adik saya," terang Mala memberi penjelasan. Faris sudah dua kali menuai pandang yang menurut pemuda itu memalukan. Membeli tespek dan mengantar sang kakak ke bidan. Ia menjerit dalam hatinya kenapa Aisyah harus sakit disaat Mala membutuhkan bantuan. Karena biasanya Aisyah lah yang menghandle semua bantuan untuk kakaknya."Oh, kirain suaminya. Maaf, ya dek!" ucap wanita itu dengan menangkupkan kedua tangannya. Faris hanya nyengir menanggapi permintaan maaf itu meski hatinya dongkol."Suaminya di luar pulau kok, Mbak bisa hamil?" ucapnya lagi membuat Mala terkejut serta ingin memaki wanita di sebelahnya itu. Tingkat keponya melebihi rata-rata hingga pada orang tak dikenal pun dia bisa-bisanya julid. Bukannya tak pantas menanyakan hal seperti itu. Masih banyak pertanyaan lain yang berbobot untuk menjalin komunikasi dengan orang lain di tempat umum. "Suami saya pulang pergi seminggu sekali!" u
Gadis tujuh belas tahun itu langsung berkemas guna menuruti titah ibunya. Aisyah tipe anak yang patuh, tidak pernah membantah atau bilang ah saat Sarah atau Ahmad meminta bantuannya.Aisyah terbilang anak yang rajin beribadah, ia juga sedang belajar menghafal Al-Qur'an. Dari keempat anaknya, hanya Aisyah yang ingin menguasai banyak bidang dalam kehidupannya. Mulai dari membantu pekerjaan rumah, bahkan Aisyah tak segan membantu Ahmad menggembala domba-domba mereka. Kehidupan mereka makin hari makin membaik, jauh daripada saat anak-anaknya masih kecil. Makan telur satu biji pun harus dibagi empat. Tapi kini, jangankan telur … bahkan mereka mampu makan di restoran mahal apalagi setelah Aisyah menjadi salah satu affiliate di salah satu e-commerce berwarna orange."Is, cepatlah keburu malam!" teriak Sarah dari ruang depan. "Biar, Abah antarkan saja, Mak. Diluar sudah gelap!" ucap Ahmad, ia tak tenang jika harus melepas anak gadisnya pergi sendirian. "Ya … udah, Faris yang antar saja. La
"Sudah dekat, Man?" tanya Arip sambil membenarkan posisi duduknya serta melihat ke arah luar yang mulai menunjukkan bentangan sawah di sisi kanan dan rumah-rumah sederhana di sisi kiri. "Iya, bentar lagi. Kejedot, ya?" tanya Rahman tanpa melihat kearah Arif karena ia sedang fokus pada jalan berbatu dan sempit. Arif hanya terkekeh. Ia mematikan AC mobil lalu membuka jendela lalu menghirup aroma pagi di kampung Rahman. Banyak anak-anak berjalan untuk pergi kesekolah, aktivitas para warga sudah terlihat ramai di sepanjang jalan. Rahman melihat bangunan toko yang miliknya terlihat Agus dan Sandy tengah memindahkan barang, pikirnya pasti Mala masih di dalam rumah, karena jam baru menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Ia menarik rem tangan kemudian mematikan mobilnya. "Alhamdulillah sampai!" ucapnya. Agus dan Sandy melirik ke arah mobil hitam yang barusan parkir di depan toko. "Bang Rahman!" seru keduanya lalu menyalami suami bosnya itu. Tak lupa mereka pun menyalami Arif yang ba
"Is, belanja ke pasar, ya! Beliin sayuran dan daging sapi. Teteh mau masak banyak ada tamu!" titahnya sebelum ia masuk ke ruang tamu untuk menyapa Arif "Tamu siapa?" tanya Aisyah sambil menata nasi ke piring." Kamu belum tahu?" "Abang gak ngomong!" sahut gadis itu cuek."Ya … udah, hayu samperin dulu tamunya, terus kamu ke pasar. Nanti, Teteh catat apa saja yang harus di beli." "Siap, Bos!" sahutnya sambil memperagakan sikap hormat pada kakaknya keduanya tergelak dan melangkah beriringan untuk menemui Arif. "Akh, maaf menunggu lama. Gimana perjalanannya?" tanya Mala saat sudah berada di ruang tamu sambil menyodorkan tangannya. "Alhamdulillah aman dan lancar. Maaf saya merepotkan," sahut Arif sambil pandangannya menuju pada gadis yang berdiri disamping Mala. Gadis dengan alis tebal dan bulu mata lentik, sedikit pipinya agak gembul tidak terlalu tirus. Mata Arif tak berkedip melihatnya. "Ini adik saya!" ucap Mala membuyarkan fokus pandangan Arif, Aisyah maju dan mencium takjim ta