"Ada apa, Man?' tanya bang Rahmat yang datang dari belakang.Mas Rahman menceritakan apa yang terjadi, tentang telepon dari Arif dan dia harus pergi ke Lampung hari ini juga. Bang Rahmat pun mendukung untuk Mas Rahman segera kembali ke Lampung beberapa hari. Karena dia bilang mungkin saja kesempatannya tidak datang dua kali. Dan aku membenarkannya."Percayakan ini pada Abang, Man. Karena aku adalah anak tertua," ucapnya dengan memandang wajah adiknya. Akhirnya dengan berat hati Mas Rahman pun menyetujui untuk pergi. Aku pun mempersiapkan segala sesuatu untuk kepergiannya. Setelah mas Rahman pergi, aku makin sibuk mengurus acara di rumah ibu setiap hari, untung saja di toko ada Agus dan Sandi. Profit pun makin hari makin naik. Aku mengambil keperluan untuk acara tahlilan dari tokoku, tentu saja dengan mencatat setiap barang yang di ambil. Bukan perhitungan, tapi anak bapak ada banyak. Jadi biar tahu berapa pengeluaran untuk acara ini. Uang yang di dapat dari para pelayat pun tak mai
Dua juta rupiah, Aku mau. "Imbalannya apa? Kalian tidak bisa mengurusi ibu dengan alasan kalian bekerja dan reward untuk aku apa? Selama mengurusi ibu. Kalian bekerja sudah tentu mendapatkan uang lalu aku yang mengurusi ibu dapat apa?" ucapnya dengan lantang. Membuat aku kaget, dan kurasa bang Rahmat pun demikian. Sebegitu perhitungannya kak Eni dengan kami. Padahal sudah jelas selama setahun ini, akulah yang banyak mengeluarkan biaya atau tenaga untuk mengurusi keluarga ini. Dan yang aku titipkan juga ibunya, bukan ibuku."Kamu minta bayaran, Ni?" tanya bang Rahmat. Kak Eni terdiam, aku shock mendengar penuturan kakak iparku itu. Padahal selama ini, kehidupannya selalu ditopang oleh ibu. Bayar kontrakan, bayar listrik, bekal anaknya sekolah dan kadang-kadang makanan pun, selalu dibantu oleh ibu. Ya … kalau ibu sedang tidak punya, siapa lagi yang jadi korban? Pasti aku lah, dengan dalih pinjam dan ibu akan bilang, nanti ibu yang akan bayar. Tapi pada nyatanya tidak pernah terjadi.Se
Dua juta rupiah, aku mau."Gimana, La?" tanya bang Rahmat sambil memandangku penuh harap. "Bang!" panggil mbak Susan, mungkin dia keberatan dengan jumlah nominal sebesar itu, tapi jujur saja, aku pun demikian. Toh selama ini kebutuhan kak Eni selalu di topang ibu sudah sewajarnya dia mengurusi ibu, apalagi itu wanita yang melahirkannya. Aku tak habis pikir dengan isi kepalanya itu. "Anak ibu ada empat, jadi masing-masing kebagian lima ratus ribu rupiah. Gimana?" tanya bang Rahmat sambil memandang adik kandungnya. "Ndak bisa gitu lah, kalian yang bayar bertiga," sahut kak Eni. "Bukankah kamu yang bilang anak ibu ada empat? Jadi kalau dua juta dibagi empat, masing-masing kebagian lima ratus ribu rupiah. Plus kamu gak usah sewa lagi, pindah kesini tinggal sama ibu. Bagaimana?" "Aku mau ngurusin ibu dan tinggal disini tapi uangnya pengen dua juta genap tanpa kurang sepeserpun," ucapnya lagi."Ya, nggak bisa begitulah! Itu namanya curang, ketika kamu minta bayarannya kamu bilang anak i
"Mala! Tunggu!" teriak Mbak Susan.Aku langsung menghentikan langkahku, hanya sekedar ingin tahu, mau ngomong apa kakak iparku ini. "Kenapa?""Jangan gitu, La. Ibu kewajiban kita semua. Tolong mengalahkan sama Eni!" ucapnya dengan bijak. Cih, lihatlah bagaimana cara iparku mencari muka depan suaminya. Selama ini apa yang pernah ia berikan pada ibu mertua kami? Tidak Ada! Bahkan, beras kami pernah di curinya lalu ditukar dengan Pete. Banyak sekali dosa iparku itu, memanfaatkan kebodohan mertuanya sendiri. Berapa kali ibu ikut arisan, berapa kali pula katanya arisannya dibawa kabur, padahal uangnya digunakan sendiri. Jadi ketika dia bijak, jujur aku tak percaya. Apalagi setelah peristiwa viralnya aku di toktok akibat ulahnya, mual sekali rasanya. Dia berubah baik karena ada maunya, karena melihatku dengan keadaan sekarang biar mudah di hutangi."Mengalah? Untuk apa? Sudah jelas, kak Eni bilang itu urusan keluarga ini dan aku hanya menantu. Lah aku tau diri dong. Ngapain juga ngeribet
Aku bergegas mandi dan bersiap untuk ke toko karena walaupun ada karyawan, usaha itu tidak boleh dilepas. Kita harus selalu memantau usaha kita. Itu pesan yang aku dapat dari bosku dulu. Jadi, kalau masalah uang, katanya tidak boleh mempercayakan kepada siapapun. Ketika kita mempunyai usaha, maka keuangan itu harus dikelola oleh kita sendiri atau orang yang benar-benar dapat kita percaya. Karena kalau tidak bisa hancur semuanya dan itu memang benar adanya. Bahkan tidak sedikit orang-orang terdekat, saudara atau suami bisa saja berbuat curang karena kesempatan yang ada untuk melakukan itu semua. Jadi aku akan belajar merintis usaha ini dengan tanganku sendiri.Saat aku memasuki toko, kulihat Agus dan Sandy benar-benar kewalahan karena ada lima orang pelanggan yang sedang memilih barang dan semuanya ditanyakan pada kedua karyawanku. Akhirnya aku suruh Agus untuk melayani mereka dan aku menggantikannya di kursi kasir.Sampai jam dua belas siang masih ada saja pelanggan. Pembeli tidak pe
"Tapi kak Eni, mau bayarannya dua juta itu full dari kita loh, La," ucap mas Rahman lagi."Oh … itu sih nggak masalah buat aku mah, karena Ibu kan orang tua kamu Mas.Dan aku ingin membantu kamu untuk berbakti pada orang tuamu, jadi untuk pembayarannya walaupun kita kebagian satu juta rupiah, bagiku nggak jadi masalah sih, Mas. Tapi kalau memang mau dibagi tiga sama Ria juga lebih baik," ucapku. Karena Ria sudah bekerja jadi wajar kalau aku pun mengharap biayanya jadi di bagi tiga."Ya … sudah kalau begitu nanti aku mau telepon bang Rahmat. Eh, atau kamu saja yang bilang sama bang Rahmat, Gimana?" tanya suamiku, suaranya sudah sedikit bersemangat dibandingkan tadi saat awal menelpon."Oh, kalau itu maaf, ya! Mas. Aku tidak ingin ada keributan atau sakit hati lagi seperti semalam. Karena kak Eni sudah jelas bilang aku tidak boleh ikut campur dalam musyawarah. Jadi maaf, aku tidak ingin terlibat lebih jauh, tapi aku akan mendukung apapun demi kebaikan ibu," sahutku meski dalam hati ini
Bakti seorang menantu."Aku sih memang nggak kepikiran ke arah situ. Aku kira dua juta itu semuanya dengan ibu," ucap Mbak Susan dengan polosnya. Aku tersenyum miring mendengar penuturan Mbak Susan masa iya sih sampai tidak kepikiran seperti itu."Si Eni itu benar-benar mau meras kita, La," ucapnya lagi, aku hanya menunjukkan wajah datar karena aku yakin kalau aku berucap lain-lain maka akan disampaikannya pun lain. Jadi aku memilih diam saja dan cenderung tak peduli. "La?" panggil mbak Susan."Apa?" —— RatuNna kania ——"Kamu kok santai gitu, sih! Aku pusing tau mikirin ini." Mbak Susan begitu kalang kabut. Padahal seharusnya dia berpikir ini sejak kemarin. Mana ada gaji dua juta semua kebutuhan ditanggung. Kak Eni, suruh bagi empat pembayaranya saja tidak mau, apalagi nanggung kebutuhan rumah dan ibu. "Ya, aku harus bagaimana, Mbak. Bahkan aku tak boleh bersuara sama sekali!" "Gilak emang si Eni. Licik sekali dia!" umpatnya."Kamu tau kan, Abang iparmu itu kerjanya macam mana? K
"Diam bu Usman! Dan, silahkan pergi dari rumah ini!" usir kak Eni dengan menunjuk ke arah pintu keluar."Kak!" "Apa? Kau juga mau aku usir?" hardiknya dengan mata hampir keluar."Kakak kenapa? Kesurupan? Ibu sakit bukannya gimana, Malah kayak kesetanan!" balasku tak mau kalah. Biarlah ku lawan saja sesekali. "Pergi kau dari sini! Adik ipar kurang ajar!" "Aku disini juga hanya karena ibu sakit, kalau ibu tidak sakit tak sudi aku masuk ke rumah yang ada kakak di dalamnya. Kakak pikir, aku suka dengan, kakak?" Aku tersenyum miris dan menatap meremehkan pada kakak iparku itu."Kamu ngajak ribut?" "Bukannya, Kakak yang ngajakin aku ribut duluan?" ucapku sambil menengadah menatap lekat wajah bengisnya karena posisiku duduk disamping ibu yang terbaring, jadi harus sedikit mendongak saat melihat ke arahnya. Cukup sudah aku membiarkan semena-mena selama ini. Dihargai bukannya sadar diri, malah makin ngelunjak mau nidas pula. Huft."Kamu nantangin aku?" "Kak, sudah! Aku kesini mau bawa ibu