Kurang dari satu menit perempuan bercadar tadi keluar bersama seorang pemuda gagah dan tampan, Ahza melongo tak berkedip saat menatap wajah lelaki muda itu.Hidung, mata, dan bibir pemuda itu milik Uwais, Ahza yakin dialah putra sulungnya yang dahulu sering dibuat kecewa, manik matanya mulai berkaca-kaca saat pemuda itu melangkah mendekat diikuti oleh perempuan bercadar di belakangnya.Semakin dekat mereka melangkah maka, semakin bergetar pula seluruh tubuhnya, dipegangi pagar yang menjulang tinggi dengan erat, jangan sampai tubuhnya limbung saat ini."Cari siapa?" Pemuda itu bersuara sambil menatap lekat wajah Ahza.Uwais masih ingat dengan sosok ayah walau wajahnya banyak mengalami perubahan, ia terus menatap wajah sang ayah untuk meyakinkan keraguannya."I-ini Ayah, Nak." Suara Ahza terdengar bergetar.Sedangkan Uwais masih tercenung begitupula dengan Fatimah, perempuan itu maju satu langkah berdiri sejajar dengan kakaknya."Ini beneran Ayah? Ayah kami?" ungkapnya tak percaya.Sete
"Jadi sejak dulu Ayah selalu mencari kami?" tanya Fatimah menyela, ia mengira selama ini sang Ayah telah melupakan karena sibuk dengan dunia barunya."Iya, Nak, Ayah mencarimu ke seluruh kota Cianjur ini, karena paman kalian Fatan hanya memberitahu nama kotanya saja," Ahza mulai terisak mengenang perjuangannya dahulu yang begitu pelik."Astaghfirullah, kenapa paman tega memberitahu alamat rumah kami setengah-setengah?" tanya Fatimah lagi, masih belum mengerti."Karena Om Fatan mengetahui semua luka Bunda, bagaimana Bunda tertatih bangkit dari keterpurukannya saat Ayah mengkhianati dan lebih memilih wanita lain." Uwais menyela, sontak saja Fatimah dan Ahza menoleh bersamaan."Benarkah begitu, Ayah? jadi itu alasannya mengapa kalian bisa bercerai?" Sorot mata Fatimah menuntut penjelasan, sedangkan Ahza menunduk dalam tatapan itu seolah pedang yang hendak menusuk ulu hatinya.Selama ini baik Uwais ataupun sang Bunda tak pernah bercerita keadaan yang sebenarnya pada Fatimah, jika gadis it
"Ma-maksudnya Bundamu sudah tiada kemana Uwais?" tanya Ahza dengan dada yang mulai sesak."Dia sudah tiada 'kan di hati Ayah semenjak hadirnya wanita itu, untuk apa Ayah mencarinya lagi." Uwais terdengar ketus.Ahza bisa menghirup oksigen dengan lega, ternyata ia masih bisa melihat Fatma di dunia ini walau wanita itu menyimpan kebencian teramat dalam, itu tak mengapa asalkan ia bisa hidup bahagia."Ayah kira Bundamu sudah benar-benar tiada, Uwais."Uwais hanya mendelik setelah itu terdiam, dalam hati sebenarnya ia merasa rindu pada lelaki di hadapannya. Namun, semua perlakuan Ahza di masa lalu menjadi tembok penghalang yang menjulang tinggi.Hatinya tengah berjuang mengalahkan rasa benci, dan menumbuhkan kembali rasa cintanya yang dulu sempat terkubur dalam-dalam."Uwais, apa kamu masih benci Ayah?" tanya Ahza sambil menatap lekat putra pertamanya.Uwais hanya melirik dengan ujung mata lalu terdiam menatap adiknya yang sedang tercenung."Lihatlah adikku, Yah, bahkan dia langsung diam
Berpisah lagi dengan kedua buah hatinya merupakan sebuah balasan telak untuk diri Ahza, tubuhnya lunglai mendapati kenyataan jika ia tak bisa memiliki kedua anaknya.Tak bisakah mereka menyayangiku, layaknya seperti anak-anak yang lain? Ah, mengapa aku berharap terlalu tinggi."Fatma kalian mau ke mana lagi?" tanya Ahza sekali lagi, matanya sudah berkaca-kaca, di masa tua ia sangat berharap ada buah hatinya yang akan menemani, tapi nyatanya mereka malah memilih pergi bersama ibundanya.Fatma menghela napas sebelum memulai kata."Begini, Mas, Fatimah dan Uwais sudah mendapatkan beasiswa kuliah di Madinah, ya mau ga mau aku juga akan tinggal bersama mereka di sana, terlebih aku sangat ingin mati di tempat hijrahnya Rasulullah shalallahu alaihi wa salam itu," jawab Fatma.Seketika Ahza menyenderkan punggungnya di kursi, runtuh sudah harapannya untuk bisa menua bersama anak-anak, pandangannya lurus ke depan kabar ini cukup mematahkan harapannya."Tapi aku dengar dari kerabatmu kalau Uwai
Memang benar, setiap perbuatan itu akan ada balasannya baik di dunia dan di akhirat, Fatma tidak pernah membalas seperti kebanyakan wanita di luar sana, yang mana akan membalas dan mengambil hak miliknya.Namun, Fatma tidak lakukan itu karena ia yakin terhadap Tuhannya yang maha adil, dan terbukti sekarang ia dirundung kebahagiaan, bukan hanya anak-anak yang shalih saja melainkan dengan harta yang berlimpah.Uwais merupakan anak yang berbakti, sehingga seluruh hasil jerih payahnya ia berikan semua kepada sang Bunda, dan Fatma memanfaatkan pemberian anaknya sebaik mungkin.Berawal dari sebuah toko kecil hingga menjadi supermarket yang besar dan berkembang pesat dalam waktu dekat, supermarket yang ia dirikan bersama dengan Fatan ternyata sudah memiliki beberapa cabang di kota ini dan kota sebelah.Semua itu ia raih dengan derita dan air mata kini, Fatma tinggal menikmati masa tuanya dengan banyak beribadah, badai itu telah usai berganti dengan hari-hari yang cerah.Berbeda dengan Ahza,
"Nak, jika Ayah menelpon angkat ya, maaf Ayah ga bisa ngasih apa-apa untuk saat ini." Ahza segera merapikan tasnya hendak pamit pulang."Iya ga apa-apa, Yah, hati-hati di jalan ya," Balas Fatimah sendu.Sejujurnya ia masih rindu dengan mereka. Namun, terlalu lama berada di sana juga untuk apa, masih ada beberapa waktu lagi untuknya berkunjung.Lebih tepatnya rasa rindu itu terhalang oleh status, meski ia ayahnya anak-anak, tapi ia bukan lagi mahram dari ibundanya."Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam," jawab mereka serempak.Tiba-tiba Uwais menyambut seorang tamu yang dipastikan berjenis kelamin laki-laki tersebut, pemuda itu menuntunnya untuk masuk.Seorang lelaki yang berumur sedikit lebih muda dari Ahza. Namun, tak ada garis-garis penuaan yang nampak di wajahnya, lelaki itu duduk di kursi bersebelahan dengan putra sulungnya."Uwais, Om hanya mau mengantarkan ini," ucap lelaki itu seraya menyerahkan sebuah map ke tangan Uwais.Ahza penasaran, ia menatap benda yang kini dipegang ol
"Emm ... ini dari ... temenku, Mas." Wirda berbohong."Teman lelaki?" Ahza menatap tajam istrinya yang sedang gelagapan, dari gerakan tubuh ia sudah menebak jika wanita di hadapannya sedang berbohong."Bukan, aku mau ke kamar Mama dulu ya, Mas, dia pasti sendirian sejak Mbak Ami pulang," jawab Wirda mengalihkan perhatian.Mbak Ami adalah seorang penjaga Mama ketika Wirda sedang berjualan, wanita paruh baya itu yang menemani sang Mama juga yang menyiapkan segala kebutuhannya."Aku tahu kalung itu dari Deri mantan kamu 'kan?" Wirda menghentikan langkah merasa terkejut kenapa suaminya bisa tahu asal-usul kalung ini, lekas ia berbalik badan mendekati Ahza."Tau dari mana, Mas? jangan so tahu," jawab Wirda sambil mencebik."Aku tahu semuanya, Wirda! Bahkan lelaki itu kerap memberimu uang lebih 'kan, dia cukup cerdik selalu menemuimu saat aku ga ada di warung," Ahza mendelik.Wirda hanya mendengkus, menatapi wajah suaminya penuh kekecewaan."Aku tanya kamu dari mana tadi sampai pulang sore
Pagi-pagi sekali Wirda segera mengemasi barang-barang miliknya, wajahnya merah padam menahan amarah, semua ia masukkan ke dalam koper dan tas besar, air matanya mulai menitik kala mengingat dirinya akan segera berpisah dengan Ahza, lelaki yang pernah membuatnya sangat jatuh cinta.Bukan salahku, tapi salahnya sendiri yang tak pernah mau membuka mata untuk menerima kehadiranku, batin Wirda.Ia menatap lelaki yang terbaring diatas ranjang sana dengan derai air mata, sebentar lagi dirinya hanya akan menjadi bagian dari masa lalu Ahza, ia menyadari ternyata menjalani rumah tangga yang diwali dengan kecurangan dan kedzaliman tidak akan berjalan mulus, sekalipun itu sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.Rumah tangga ini bagai sebuah siksaan baik bagi Wirda ataupun Ahza, mereka tak ada yang merasa tentram dan bahagia, Ahza sibuk dengan penyesalannya sendiri, sedangkan Wirda merasakan lelah yang tak berkesudahan, karena terus menunggu Ahza menerimanya.Wirda mengayunkan langkah perlahan, takut