"Jawab aku, Kania.""Kau terlalu percaya diri. Sudah ku bilang itu karena aku lupa membuangnya.""Lalu bagaimana dengan susunan barang yang terlihat sangat rapi, kau masih mau mengelak?"Kania menelan ludahnya dengan gugup. Sial, ia jadi terpojok."Itu... Tunggu sebentar apa aku harus menjawabnya? Itu gudangku, kenapa pula aku harus memberi penjelasan? Sekarang, bisa minggir?" ujar Kania dengan sebal.Sean mengulas senyumannya melihat Kania yang malah mengalihkan pembicaraan. Senyuman menurut Kania cukup membahayakan."Aku akan minggir jika kau mengiyakan tawaran kencanku,"Kania memutar bola matanya mendengar ucapan Sean, "Kau tengah mengancamku?""Jika menurutmu begitu ya, aku sedang mengancam. Tapi, bukankah tadi kita sudah melakukan perjanjian sebelum memulai pertandingan? Beberapa menit lagi aku akan menang jika kau tidak bertindak kekanakkan."Kania mendengus, "Aku kekanakkan?""Ya, jika bukan begitu apa namanya? Kau melarikan diri begitu saja saat aku hampir menang. Jadi, cepat
Sentuhan lembut bibir Sean yang basah terasa menyapu bibir Kania. Padahal kata Sean alkohol yang mereka tenggak adalah alkohol yang kadarnya ringan, tapi entah kenapa Kania merasa sangat mabuk. Tiap sentuhan Sean di bibirnya membuat Kania terbuai dan melayang. Ia kehilangan arah, ia bahkan membuka mulutnya lebih lebar agar Sean mendapatkan akses lebih banyak ke dalam sana. Jantungnya terasa hampir meledak merasakan lumatan Sean yang mengabsen bagian mulutnya dengan hati-hati. Apa ia juga merindukan sentuhan itu? Apa ia juga merindukan Sean?Sadar bahwa yang ia lakukan salah, Kania mendorong tubuh Sean tiba-tiba. Ia mengerjapkan matanya dengan raut wajah bingung, apa yang sudah ia lakukan? Bagaimana bisa ia menikmati ciuman yang dilakukan oleh pria itu?Kania segera mengambil tas tangannya dengan cepat. Satu hal yang harus ia lakukan adalah melarikan diri secepatnya dari tempat ini."Aku harus pergi." Saat mendengar langkah kaki Sean yang hendak mengejarnya Kania segera berbalik, "Jang
"Bu? Ibu?""Hah?"Kania mendongakkan wajahnya dengan raut wajah terkejut saat mendengar panggilan dari Dewi. Ia membenarkan posisi duduknya, mencoba memfokuskan pikirannya kembali ke arah Dewi, "Kamu bilang apa tadi, Dew?""Tadi saya bilang baju Bu Ferla sudah beres semua,""Oh ya, nanti akan saya kabarkan ke Bu Ferla," jawab Kania dengan cepat.Dewi terlihat menelisik ke arah Kania dengan raut wajah heran, "Ibu tidak apa-apa? Apa Ibu sakit?"Kania seketika menggeleng mendengar ucapan Dewi. Karena kejadian semalam, ia bahkan jadi tidak fokus dalam bekerja. Kania menghela nafasnya panjang, "Tidak apa-apa, saya hanya banyak pikiran." jawab Kania dengan jujur."Apa karena perusahaan mantan suami Ibu? Bagaimanapun Ibu pasti terkejut soal ini. Ya keadaan memang sulit ditebak."Kania mengangkat alisnya tidak paham mendengar ucapan Dewi, "Perusahaan Sean? Ada apa dengan perusahaannya?""Lho Ibu tidak tahu beritanya? Saya pikir Ibu sedang memikirkan berita yang baru saja terbit hari ini. Semu
"Apa?"Wajah Keina seketika memerah mendengar ucapan Sean. Apa karena efek demam yang ia rasakan atau karena Sean memang tengah menggodanya, Kania terperangah dengan permintaan itu. Tidur dengannya? Tidur memiliki dua arti, bukan?""Kau tidak mau, ya? Jahat sekali."Kania kembali mengerjap, kini pria itu malah memasang raut wajah penuh kepedihan di hadapannya. Sebenarnya pria ini kenapa?"Kau benar-benar demam rupanya," gumam Kania saat melihat sikap Sean yang mulai melantur."Aku hanya meminta tidur bersama, tapi kau tidak mau. Jahat sekali."Kania menghela nafas saat mendengar Sean mulai merajuk. Kenapa tingkah kekanakkannya sangat mirip dengan Devan yang berumur tujuh tahun?"Ayo kita tidur, sebaiknya kau harus mulai berbaring karena sikapmu benar-benar aneh."Kania menyeret tangan Sean lalu membawanya ke arah kamar tidur. Ia membaringkan tubuh Sean, namun baru saja Kania hendak beranjak Sean malah menariknya hingga tubuhnya ikut jatuh ke arah ranjang."Sudah ku bilang, temani aku
"Seluruh usaha kita ditolak oleh distributor yang tersisa Pak, mereka masih tidak percaya dengan produk kita."Sean melemparkan berkas-berkas yang berada di tangannya dengan kuat. Seluruh usahanya selama beberapa hari rupanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Ia sudah melakukan segala cara, tapi krisis di perusahaannya tidak bisa sepenuhnya teratasi."Bramantyo benar-benar menutup semua jalan untuk kita," gumam Sean dengan kesal. Ia meremas rambutnya dengan frustasi. Jika terus seperti ini, perusahaannya benar-benar akan tamat.Apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus membiarkan perusahaannya bangkrut begitu saja?Tepat saat ia hampir putus asa, Sean tersentak saat ponselnya berdering dengan nyaring. Ia membuka layar ponselnya lalu seketika berdiri saat melihat siapa yang memanggilnya. Sheline. Ah, akhirnya wanita ini menghubunginya."Sheline?""Hai, Sean.""Aku senang kau menghubungiku.""Maaf aku baru melihat pesan yang kau kirim, aku baru pulang dari liburan bersama ibuku. Ibu men
Kania tertegun mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Leon. Perasaan ragu yang tadi sempat ia hapus, kini kembali mendera perasaannya. Apa Sean masih bisa dipercaya? Apa langkahnya memberikan kesempatan kepada Sean adalah salah? Kania seketika menggeleng, bukankah ia sudah membuat keputusan? Kenapa ia harus kembali ragu?"Aku akan memberikan kesempatan kepadanya lagi, Leon. Aku yakin Sean akan berubah." balasnya dengan yakin.Mendengar hal itu, Leon hanya bisa mengangguk dengan raut wajah kecewa. Ia mengambil cincin yang berada di atas meja lalu menyimpannya."Ku harap keyakinanmu itu tidak berubah, Kania."Kania mengulas senyuman tipis, "Terimakasih karena kau sudah mengerti, Leon."Kania kembali melangkahkan kakinya meninggalkan. Namun beberapa saat ia berjalan, Leon kembali memanggilnya."Tunggu, Kania?"Kania mengerutkan alisnya saat Leon terlihat bangkit berdiri lalu memegang bahunya."Hubungi aku jika Sean kembali menyakitimu. Aku akan selalu berada di sisimu, Kania."Sekali la
Sheline seketika terkekeh mendengar ucapan Sean."Kau tahu apa yang kumasukkan ke dalamnya? Aku memasukkan sesuatu yang bisa membuat kau bertekuk lutut padaku."Tatapan Sean seketika berubah nyalang, ia mencengkram leher Sheline lebih kuat, "Kau!""Hahaha..." Sheline tertawa dengan puas. Meski Sean berusaha terlihat marah, namun tatapannya berubah teduh saat ia merapatkan tubuh mereka. Tubuhnya yang basah juga pakaian yang terbuka membuat gairah Sean semakin menggila. Sheline membuka satu persatu kancing kemeja Sean lalu berbisik, "Jangan dilawan Sean, sentuh aku. Bukankah sudah lama kau tidak merasakan sebuah sentuhan? Kau butuh aku untuk meredakan sakitnya.""Tidak."Sean mencoba menjauh lalu bergerak ke arah pintu. Namun, tatapannya kembali melebar saat tahu pintunya sudah dikunci. Rencana Sheline benar-benar terencana."Mencari apa Sean? Mencari ini?"Sean terhenyak saat melihat kunci yang berada di genggaman Sheline."Kemarilah jika kau ingin keluar."Dengan susah payah, Sean men
"Kau!"Sean merangsek maju dengan penuh amarah saat efek obat yang diberikan Sheline hilang sepenuhnya. Sean lupa diri, ia mencengkram leher Sheline dengan kuat seolah hendak membunuhnya."Bunuh saja aku, Sean. Setelah itu kau akan terkejut melihat berita tentang kita."Mata Sean seketika melebar saat melihat Sheline yang menunjuk ke arah sudut. Ia terhenyak melihat ada kamera kecil bertengger di sana."Video itu sudah tersimpan dengan baik di seluruh gadget yang ku punya juga ponselku.""Sialan kau Sheline!" Sean menggeram dengan kuat sementara Sheline hanya tersenyum melihatnya."Bagaimana Sean? Kau mau aku memberikan video panas kita kepada siapa dulu? Ibumu? Kania? Atau Devan?""Brengsek!" Sean mengumpat dengan kuat, ia menghempaskan tubuh Sheline dengan kuat ke atas ranjang.Sean segera mengambil kemejanya lalu memakainya dengan cepat. Ia tidak menyangka jika perjalanannya kemari merupakan jebakan yang sudah dipersiapkan Sheline. Pantas saja wanita itu bersikap ramah padanya, pan