Rin melepaskan genggaman tangannya pada Roan, lalu tersenyum canggung pada Lazio. Tatapan Roan langsung berubah tajam melihat gelagat sang istri. Ia menggenggam tangan Rin kembali hingga membuat mata Rin melotot. "Kalian ... mesra." Komentar Lazio. Sebelah alisnya terangkat.Pria berbadan tinggi itu mengamati Rin dan Roan bergantian. Roan memakai jas mahal seperti biasa, sepatunya mengkilap dan rambutnya juga rapi. Sementara Rin memakai androk selutut, baju putih dan rambutnya bergelombang. Wajah Rin cukup imut di mata Lazio hingga membuat bibirnya terangkat, pria itu mengulurkan tangan."Lazio, sahabat dekaaaaattt Roan." Lazio memperkenalkan diri sebagai sahabat, padahal bagi Roan mereka tidak pernah berteman. Rin segera melepaskan tangan Roan dan menerima jabatan tangan Lazio. "Saya Rin, sekretarisnya Pak Roan." "Sekaligus istri." Roan menambahi. "Oh, ini istrimu. Aku baru tahu. Santai aja jangan terlalu formal." Lazio cukup ramah di mata Rin. Roan melepaskan jabatan tangan m
Aku tidur sepanjang penerbangan, mualku tidak separah awal kehamilan, tapi sebagai gantinya aku mudah lelah dan mengantuk. Beruntung ada Roan yang selalu menjagaku. Pesawat jet ini sangat nyaman, ada dapur dengan makanan yang lengkap. Desainnya sangat elagan dan cantik. Pramugarinya juga cantik dan ramah, kupikir pesawat ini memang didesain untuk para milyarder. Bisa aku bayangkan seberapa kaya temannya Roan itu.Oh ya, Bapakku ikut. Dia berfoto layaknya pemilik pesawat jet. Wajahnya merekah seolah ini memang liburannya. Sementara mertuaku, mereka tenang di sisi kursi yang berbeda. Tidak mau diganggu oleh kebisingan Bapak. Aku melihat keluar setelah dibangunkan Roan, kami telah sampai di pulau Maladewa. Dari atas terlihat sangat cantik. Air lautnya bening dengan pantai pasir putih. Pantas saja para orang kaya menjuluki tempat ini pulau surga. "Rina lihat itu, Bapak sudah pernah ke sini 7 tahun lalu. Keren, kan?" Bapak tersenyum lebar, bangga menunjukkan liburannya memakai uang jud
Gaya hidup bapak seperti orang kaya, liburan dan berpesta. Main perempuan juga. Hanya saja keuangannya tidak mumpuni karena pengangguran dan menjilat di sana sini. Untuk memenuhi gaya hidup Bapak yang suka pamer liburan di media sosial, bapak berjudi. Juga menyusahkan ku. "Pak, niatku membawamu ke mari adalah membuangmu. Tapi aku nggak nyangka Bapak udah akrab sama tempat ini. Tapi walaupun begitu aku tetap akan meninggalkanmu di sini, jadi aku nggak akan ngasih penginapan." Aku bicara terus terang. "Apa? Kamu berniat membuang orang yang sudah merawatmu?!" Teriaknya tambah emosi. Dia mendorong Roan hingga terhuyung ke samping. Mencengkeram kuat tanganku, terasa sakit. "Kapan Bapak merawatku?! Bapak udah buang aku sejak kecil!" Balasku."Kau pikir, kalau aku tidak mengambilmu dari tempat sampah, apa kau sekarang masih bisa hidup?!" Teriaknya lagi. Eh, apa? Mengambilku dari tempat sampah. Apa itu berarti aku bukan anak kandungnya? Apa itu yang membuat Bapak dan ibu mengabaikanku
Suasana mendadak aneh, Roan kembali setelah mengantar Bapak ke petugas keamanan. Wajahnya melihatku dengan iba, juga Tuan besar yang biasa tegas kini mengasihaniku. Hal yang lebih aneh adalah Nyonya Rosa menangis untukku. Melihat gelagatnya kurasa dia tulus. Aku jadi salah tingkah kalau semua orang seperti ini. Walaupun hidupku sangat kacau, tapi aku sungguh baik-baik saja. Nyonya Rosa melepas pelukannya, menghapus air di sudut mata. Kupikir dia akan semakin membenciku yang merupakan anak tong sampah. Ternyata dia malah iba. "Kami akan berusaha mencari orang tua kandungmu," kata Nyonya Rosa. "Nggak perlu, Ma. Aku beneran nggak papa." Orang tua ku kaya atau miskin, sama-sama menyusahkan. Bisa aku tebak bahwa ayahku kaya dan ibuku miskin. Kalau sangat kaya maka aku bisa terlibat perebutan hak waris yang merepotkan. Beruntung kalau aku tidak diracuni anak ayahku yang lain. Apalagi aku hanya di luar nikah. Tidak mungkin banyak dapat warisan. Kalau ibuku sudah bisa diperkirakan miski
Kami duduk di kayu, melihat laut lepas dan ombak. Tidak terlihat indah di malam hari. Tapi pantai ini banyak orang berlalu lalang dan lampu yang menyala terang. "Apa kamu masih sedih?" tanya Roan. "Sejak awal aku nggak sedih," jawabku. "Jangan bohong," kata Roan.Aku menggeleng. "Aku nggak bohong. Aku nangis karena kayaknya kalian pikir aku sedih."Kami saling diam, Roan melihat ke depan. Mengikuti arah pandanganku. "Syukurlah kalau kamu nggak sedih.""Mungkin karena dari awal aku ngrasa nggak punya orang tua, jadi waktu tahu ternyata aku memang nggak punya orang tua, rasanya biasa aja." "Apa kamu nggak mau cari orang tua kandungmu?" "Kalau ketemu pun mau ngapain? Kita hanya orang asing." "Meskipun begitu, mereka tetap orang tuamu." "Cariin aja ayah kandungku, biar kalau aku mati di nisanku jelas binti siapa." "Hahaha, kamu bisa aja bercanda.""Aku nggak bercanda." Suasana berubah, Roan tidak jadi tertawa. Wajahnya canggung. "Baiklah." Kami menikmati suasana malam di pulau M
Kupikir hidupku terlalu sempurna, hal-hal baik terjadi setelah menikah. Semua berubah 180 derajat. Aku memiliki Roan yang menyayangiku, mengandung baby sultan dan mertua yang baik. Semua berjalan sangat lancar sampai aku lupa bahwa ini diawali dengan kebohongan. Niat awal pernikahan adalah menipu kedua orang tua Roan, berakting dan membodohi mereka. Niat yang sangat buruk untuk orang yang sudah membesarkan dari kecil. Orang tua Roan sangat menyayangi putra kesayangannya itu. Namun, balasannya adalah penipuan. Mereka sakit hati dan mengusir kami, Roan berusaha menjelaskan bahwa memang awalnya seperti itu. Tapi selebihnya kami sungguh suami istri dan saling menyayangi. Hanya saja kedua orang tua Roan terlanjur kecewa dan marah. Dulu aku tidak peduli dengan kedua orang tua Roan, bagiku yang penting dibayar. Aku sering bersikap kurang ajar pada Nyonya Rosa di awal pernikahan karena tidak menganggapnya mertua. Tapi sekarang semua berubah, kasih sayang kedua orang tua Roan padaku nyata.
Aku memandang Roan yang tersenyum, menunggu reaksi bahagiaku karena sudah berhasil menemukan orang tua kandung. Apa aku harus pura-pura bahagia? "Kok malah cemberut? Aku udah nemuin orang tua kandungmu." Roan memegang kedua pipiku, mencubitnya supaya aku tersenyum. Sayangnya bibirku tidak bisa berbohong. Aku tidak bahagia. Tidak ada gunanya menemukan orang tua kandung, aku sudah nyaman hidup tanpa mereka. Rasanya akan canggung dan penuh drama kalau bertemu. Keinginanku sekarang hanyalah berbaikan dengan orang tua Roan, melahirkan janin ini dengan selamat dan juga hidup bahagia sebagai Nyonya Roan Nathanael. Aku tidak membutuhkan apapun lagi. "Mereka hidup?" tanyaku. "Mereka hidup dan sehat wal afiat." Aku kecewa mendengarnya. "Jadi benar mereka membuangku ke tong sampah?" Roan diam, lewat ekspresinya aku sudah tahu jawabannya. Aku tidak berharap banyak, sungguh. Kalau seumpama aku diculik maka sudah pasti aku akan ditemukan sejak kecil. Jakarta sempit, aku tidak perlu mender
Hingga hari ketika pertemuan itu tiba, aku memakai jurus berbagai macam alasan supaya bisa kabur. "Aku mules, nggak bisa ketemu hari ini. Duh, kapan-kapan aja ya." Roan langsung mengeluarkan obat diapet, diare mampet."Badanku rasanya nggak enak," alasanku yang lain.Roan mendatangkan dokter. "Kakiku sakit." Roan membelikan kursi roda. "Aku pingin makan cilok." "Eh, apa?" "Cilok." Tak lama kemudian segerobak cilok datang. Aku sungguh tidak ada alasan lagi, Roan menyeretku yang kaku seperti tiang listrik. Sebelumnya dia mendadaniku hingga mengucir rambutku."Jangan bertemu di tempat umum," kataku. Kami berada di mobil, melihat kanan kiri, siapa tahu ada jalan untuk kabur. Aku belum siap bertemu ayah kandungku yang suka buang benih sembarangan. Hanya karena dia ayahku, bukan berarti kami harus bertemu 'kan? Tapi Roan bilang nanti bingung nasabnya, tidak mau anak kita sampai menikah dengan sepupunya sendiri atau lebih parah dari itu. Maka asal usulku dari pihak ayah harus jela