Caritta terbaring dengan kondisi basah kuyup di tepi dermaga. Terbatuk-batuk mengeluarkan semua air laut yang baru saja tertelan olehnya. Berusaha menghirup sebanyak mungkin oksigen yang terasa murni di sekitarnya.
Kelegaan itu spontan turun merangkul erat punggung Caritta. Dia kembali bernapas—menjaring udara seperti seharusnya, bukan lagi kadar garam yang berambisi memecahkan seluruh fragmen di paru-parunya. Gemetar, dia menyibak sebagian rambut depannya yang menutupi wajah.Sepasang mata Caritta kemudian mengerjap-ngerjap menjernihkan pandangan. Langit menjadi pemandangan pertama yang dia lihat kala itu—cerah, nyaris tanpa awan. Warna oranye menyapu lembut kawasan barat dan menunjukkan gurat peralihan waktu.Caritta langsung mengedarkan pandang ke sekeliling dan menangkap sesosok pria asing yang tengah mengamati wajahnya dari atas. “Katakan padaku. Kau tidak nyata, bukan?”Pria itu menyipitkan mata dan Caritta lagi-lagi mendesis, “Kau“Caritta? Tidak, kumohon. Pergi dari sana!” jerit Rosetta yang mengigau dalam tidurnya.“Apa kau bermimpi buruk lagi?” tegur Marco yang langsung merangkul tubuh Rosetta dengan penuh perlindungan seperti sebelumnya.Rosetta segera membuka mata dan mendapati Marco yang sedang memeluk menenangkan tubuhnya yang gemetar. Mimpi buruk itu kembali terulang. “Aku melihat Caritta jatuh ke dalam laut, tetapi dia melakukannya dengan sengaja.”“Sengaja? Maksudmu, dia menjatuhkan dirinya secara sukarela ke sana?” balas Marco yang kedua alisnya kini mengernyit bingung.“Aku—entah, aku tidak tahu. Aku sangat takut,” racau Rosetta sambil menahan tangisnya berubah menjadi raungan yang memalukan.“Itu hanya bunga tidur. Itu sesuatu yang tidak nyata. Apa yang harus kulakukan agar dapat membuatmu sedikit lebih tenang?” bisik Marco setengah putus asa.“Peristiwa di kapal pesiar itu membawa mimpi buruk yang berkepanjangan untukku.”
Sesuatu yang Rosetta ungkapkan terdengar menenangkan bagi Marco, seolah-olah dunianya baru saja tersentuh oleh warna baru. Dunianya yang selalu kelam dan gelap sontak tersapu dengan gradasi cerah yang membingungkan. Wanita itu membuka ruang-ruang kosong yang belum pernah terjamah lagi di hatinya sejak Shirley memilih menyerah dan pergi.“Tidakkah kau merasa bahwa kau terlalu terburu-buru mengatakannya? Kau tidak tahu masa depan.”“Kita. Kita memang tidak akan pernah tahu masa depan, tetapi aku akan menjadi orang yang selalu ada di sana. Satu-satunya.”“Seyakin itu?”Rosetta menyunggingkan senyum muram. Digelayuti kesedihan yang terasa mengganggu pikirannya. “Apa kau meragukanku, Marco?”“Tidak. Hanya saja, aku berkaca dari pengalaman pribadi di masa lalu. Ada seseorang yang juga pernah mengatakan sesuatu yang manis sepertimu, tetapi dia mengingkarinya. Bukan berarti aku berniat untuk membanding-bandingkanmu dengan yang lain,” ur
“Bagaimana perasaanmu?”“Aku tidak percaya kau menanyakannya. Seks kita hebat dan aku merasa luar biasa,” sahut Rosetta sambil menggeliat manja di atas dada Marco.“Senang mengetahui kau menjadi normal lagi. Bukan menjerit atau mengigau seperti yang sudah-sudah.”“Tidak akan ada yang normal dalam hubungan kita, ingat?” gumam Rosetta yang kembali menggeliat mengendurkan otot-ototnya.“Maaf atas insiden yang—”“Itu bukan salahmu. Semuanya terjadi secara tiba-tiba. Maksudku, kau juga tidak menginginkan segala sesuatunya berakhir menjadi bencana.”Marco mendesah putus asa. Jemari kirinya kini bergerak menelusuri setiap lekuk indah di punggung Rosetta. Dia memainkan sedikit penjelajahan kecil yang kemudian terhenti di pinggul wanita itu.“Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?”Rosetta dapat merasakan tubuh Marco mengejang sesaat. Namun, dia dengan cepat menguasai dirinya lagi. Pria itu menoleh pada R
“Kekasih?” ulang Ludovic yang langsung menelan segumpal kekecewaan itu dengan hati yang patah dua.Kekesalannya pada Marco—yang mengungkit nama ibunya tadi—mendadak menguap bersama segenap keputusasaan yang menyergapnya. Keyakinan untuk memiliki Rosetta otomatis terkikis oleh status baru mereka. Itu membuat peluangnya untuk keluar sebagai pemenang kelewat rendah bahkan nyaris nol.“Wow! Kekasih? Apa kalian sedang terobsesi dengan drama romantik atau sejenisnya? Itu seperti cerita fiktif paling konyol yang pernah ada bagiku,” komentar Caritta sambil melambaikan jemarinya dengan maksud meremehkan.“Atau—oh, tunggu! Aku tahu. Apa itu seperti jatuh cinta pada pandangan pertama yang ditayangkan di televisi setiap akhir pekan? Menyukai pria yang melecehkannya? Seleramu sangat aneh,” ejeknya lagi dengan nada mencemooh.“Mengapa kau bicara—”“Aku hanya akan mengatakan apa yang ada di dalam pikiranku. Aku selalu berterus terang untuk ses
Area rooftop bar terlihat memukau malam itu. Pemandangan kawasan Puglia terbingkai apik lewat diorama yang terhampar dari lantai paling atas kediaman megah Botticelli. Garis pantai menjorok ke arah timur, lengkap dengan bangunan-bangunan berarsitektur klasik yang menakjubkan.Dua sejoli di dekat meja bar itu duduk dalam kesenyapan yang selaras dengan suasana kelam di sekitar. Hanya ada denting gelas sampanye mereka yang sesekali terdengar mengisi keheningan. Membiarkan Rosetta tenggelam lebih jauh dalam pikirannya.Marco—yang duduk di depan wanita itu—kembali menuangkan isi botol minuman yang tinggal separuh. Sorot matanya terkunci pada riak kecil di permukaan sari anggur yang naik ke atas. Dia menyesapnya sedikit, lantas meletakkannya di tempat semula.“Mengapa kau melakukan itu di hadapan Ludovic?” tanya Rosetta yang merobek kesunyian di antara mereka.Satu alis Marco terangkat, sementara sorot matanya tertuju pada wajah Rosetta yang ter
“Apa yang terjadi?” racau Rosetta yang baru saja terjaga dari tidurnya.Marco mengerang lirih, lantas membuka penutup matanya. Rasa kantuk masih menggantung erat di kelopak mata mereka. Namun, kekacauan di luar kamar terasa mengganggu dan mustahil untuk diabaikan.“Entah, Rosetta. Aku akan pergi melihatnya—oh, astaga! Apa yang Giuseppe lakukan pagi-pagi buta seperti ini?” keluh Marco yang berusaha duduk dan menegakkan punggungnya dengan sempurna.“Itu bukan suara Giuseppe,” sahut Rosetta yang kemudian menyambar piamanya di atas lantai.Marco memijit keningnya sebelum memutuskan untuk turun dari ranjang mereka dan mengecek keadaan. Dia berjalan menuju pintu dengan langkah yang tersaruk-saruk sambil berjuang mengenyahkan sensasi tajam pada netranya yang tadi dipaksa membuka. Berengsek, pikirnya.“Tunggu, Marco.”Marco langsung berhenti setelah Rosetta memintanya. Dia menoleh dengan sorot mata penuh tanya. “Kau melupakan
“Tekanan darahnya agak sedikit rendah, tetapi dia tidak apa-apa.”Dokter berkacamata minus itu kemudian menjelaskan kondisi Rosetta yang secara keseluruhan mulai membaik. Marco langsung merasa lega selepasnya dan mengizinkan tim medis untuk pergi. Dia tenang sebab wanitanya akan baik-baik saja.“Aku benar, bukan? Aku memang merasa bugar dan jauh lebih sehat dari kemarin. Kaulah yang kelewat paranoid,” ucap Rosetta setelah para dokter dan perawat itu pulang.“Aku lebih suka menyebutnya protektif. Aku hanya ingin kau mendapatkan perawatan yang terbaik. Aku peduli padamu. Aku tidak akan tahan melihat kekasihku masih dihantui oleh bayang-bayang buruk yang terjadi di kapal pesiar tempo lalu.”“Aku tidak apa-apa, Marco.”Suasana mendadak berubah canggung bagi Rosetta saat Marco duduk di sampingnya dengan sorot mata putus asa. Sesuatu yang jarang dia temui pada sosok tangguh itu, selain tadi malam sewaktu mereka duduk menikmati sampany
“Rencana kita harus berhasil, Caritta. Aku mengandalkanmu. Kau berutang itu padaku.”Caritta menaikkan kedua kakinya ke atas sofa—mempertontonkan sepasang tungkainya yang jenjang, lantas menyipitkan mata. “Aku akan melakukannya dengan baik. Itu bukan misi yang sulit.”“Aku akan memegang kata-katamu.”“Kau boleh memercayaiku.”Satu alis Ludovic spontan menukik sebagai reaksi. Dia berbalik memutar pinggangnya dan menumpahkan perhatian penuh pada Caritta yang memilin ujung rambutnya. Diam-diam berharap bahwa sosok yang sedang berbaring di sana adalah saudari kembar wanita itu; Rosetta.“Aku akan dihancurkan oleh obsesiku sendiri suatu hari,” desis Ludovic sambil mengusap-usap dagunya dengan kasar.“Apa?”Caritta menoleh pada Ludovic yang tengah berdiri di dekatnya dan kembali mengulangi pertanyaan yang sama, “Apa? Apa kau mengatakan sesuatu?”“Tidak.”“Aku baru saja mendengarmu menggumamk