"Mama! Aku lapar, ayo kita makan, biarkan Papa yang menungguin Mas Faris selama kita pergi." Naya langsung memotong pembicaraan Mama, dia paham kalau apa yang akan di ucapkan sang Mama bakalan tidak di sukai oleh sahabatnya."Tapi—""Rizal! Jangan ngebut selama perjalanan, yang kau bawa orang hamil, mengerti!" Naya kembali memotong ucapan Mamanya dengan memberikan pesan tegas pada Rizal sambil menciumi pipi Ivana dan Umi secara bergantian.Ivana tersenyum saat melihat wajah Mama yang dengan berat hati akhirnya mengikuti apa yang di inginkan Naya, merelakan Ivana untuk kembali ke panti."Zal, aku boleh minta tolong, nggak?" tanya Ivana di dalam mobil, saat perjalan pulang ke panti."Ada apa, Va?""Tolong carikan aku rumah atau tanah di pinggir desa, dengan ukuran yang luas, dong. Untuk membangun panti," pinta Ivana penuh harap ke Rizal."Ok! Kamu butuh segera atau nyari santai, Va? Karena kalau ingin tanah atau bangunan dengan ukuran yang big, susah dapatnya kalau kita butuh segera."
"Bagaimana, Dok?" tanya Umi saat melihat Dokter Agustin keluar dari ruangan ICU."Ini sudah pembukaan tujuh, semestinya akan lebih cepat, sakitnya pun biasanya akan semakin hebat, tapi ini sudah di tunggu sampai tiga jam tapi tidak ada kontraksi lagi. Harus segera di operasi, karena air ketuban sudah pecah tadi di waktu pembukaan ke lima." Dokter Agustin yang menangani Ivana menjelaskan pada Umi, Mama dan Naya. "Lakukan yang terbaik Dokter, asalkan anak dan cucu saya bisa diselamatkan," ujar Mama dengan mata berkaca kaca. "Baik kalau begitu, yang bertanggung jawab untuk pasien, tolong segera menyelesaikan adminstrasinya dan tanda tangani berkas persetujuan tindakan medis." Dokter perempuan itu kembali masuk ke ruangan ICU."Biar aku yang mengurusnya, Mama dan Umi di sini aja," usul Naya pada Mama Via dan Umi yang berada di luar kamar perawatan, karena tidak di ijinkan mendampingi pasien. "Iya, setidaknya nanti kalau bayinya lahir, Mama dengan Umi jadi orang pertama yang melihat b
"Biarin, lagian untung nggak dijenguk, aku takut muntah kalau liat dia," jawab Naya, terdengar sarkas."Jangan gitu, jadi orang jangan terlalu membenci, nanti nanti malah jadi menyayangi," balas Dimas, bijak mengingatkan Naya. "Maaf ya, cintaku sudah kepadamu, tak ada lagi untuk yang lain." Naya menjawab Dimas sambil tersenyum menggoda. Hingga membuat yang berada dalam kamar tersebut cekikan menahan tawa."Alhamdulillah." Dimas mengucapkan syukur sambil tersenyum dengan ke dua tangannya mengelus dada."Kalian nikah aja kenapa, sih? Lama lama pacaran juga nggak baik kali bagi kesehatan." Berengut muka Rizal yang melihat kemesraan antara Naya dan Dimas."Apa hubungannya dengan kesehatan? Lagian kesehatan siapa yang nggak baik?" Naya menjawab ucapan Rizal dengan pertanyaan pula."Ya kesehatan akulah, memangnya siapa lagi yang jadi obat nyamuk di antara hubungan kalian? Aku kan? Hanya aku seorang!" Rizal menjawab Naya sambil menunduk sedih, Namun walau sesedih apa pun muka yang di
"Makanlaah ...! Mama pun harus jaga kondisi, Faris masih butuh kita, walau pun sekarang dia sudah sadar, tapi selama masih belum di ijinkan pulang itu berarti dia belum sehat." Papa Adi membujuk Mama untuk makan, pagi itu di kamar rawat Faris."Makan dong, Ma! Atau mungkin Mama mau aku suapin?" tanya Faris, dengan wajah yang kini mulai terlihat lebih segar. "Diii ... kamu aja di suapin, ini sok sokan nyuapin mama, songong!" Mama menjawab sambil sedikit memonyongkan bibirnya ke depan."Ya ... mungkin Mama kangen aku suapin, kan bisa aja?" Faris menjawab dengan senyum nakalnya. "Apa rencanamu setelah ini, Ris?!" Papa Adi menengahi perdebatan antara mama dan anak. "Prioritas sih, kembali kerja, Pa. Kemudian sesuai rencana, meneruskan rencana yang tertunda, yaitu menikah dengan Bella." Mama Via dan Papa Adi hanya bisa saling pandang ketika mendengar apa yang akan dilakukan oleh anak sulung mereka. "Bagaimana dengan Ivana?" Papa Adi sengaja menyebut nama Ivana di depan Faris."Buka
"Bu —bukan seperti itu, Sayang. Kamu jangan terlalu mengartikan apa yang tadi adikmu katakan, ka - karena aku bisa jelaskan semuanya." Bella terlihat bersusah payah menutupi kegugupannya."Jelaskan padaku, kenapa kamu tidak pernah menjenguk selama ini ...?" seru Faris dengan mata terus menatap menuntut jawaban."Aku mempunyai alasan sendiri kenapa tidak datang menjengukmu, Sayang_""Apa alasanmu?" putus Faris, menatap lekat sang kekasih yang terlihat bingung. "Itu karena—""Karena apa, Bella?!" sentak Faris yang mulai tak sabar."Karena saat kita kecelakaan, bayi kita sudah tidak dapat di selamatkan, aku terpuruk dan takut untuk datang ke sini," jawab Bella dengan wajah ketakutan yang menatap ke lantai."A–aku minta maaf karena tak bisa menjaga bayi kita," ujar Bella, lagi. Masih menundukkan wajahnya seperti sedang menangis, entah keluar dari mana air yang kini membasahi pipinya itu."Hei ... jangan menangis, aku yang harusnya kamu salahkan, maap, tadi sempat meninggikan suaraku."
"Saya mau ketemu dengan Bapak Kamandaka. Advokat senior yang menjadi pendamping perusahaan AVA. Corp." Papa Adi mengutarakan alasan kedatangannya kepada salah satu di antara dua receptionist kantor itu."Maaf, dengan Bapak siapa saya berbicara?" tanya perempuan sebelah kanan, yang berpenampilan modis, menanyakan identitas Papa. "Saya, Adi Harmaka Agung. Pemilik AVA. Corp.""Apakah sebelumnya sudah ada janji, Pak?" tanya receptionist yang menggunakan kerudung."Belum, kamu telpon saja beliaunya katakan kalau Papa dari Alfaris Harmaka Agung, ingin bertemu." Dengan nada yang terdengar kesal, Papa Adi meminta karyawan perempuan tersebut untuk langsung menghubungi orang yang dia cari. "Baik, Pak! Silahkan anda menunggu lebih dulu. Kami akan proses permintaan anda. Terima kasih." Karyawan tersebut mengatupkan ke dua tangannya di dada saat mengucapkan terima kasih pada Papa Adi."Ada apa, Pa? Kok tumben pagi-pagi gini dah ngajak ke kantor advokat?" Mama Via yang semula hanya diam saja,
"O ... iya! Saking terlalu bahagianya, hingga aku terlupa menanyakan alasanmu kenapa pagi pagi sudah berada di kantorku? Apa ada yang bisa kubantu?" tanya Pak Damar sambil kembali ke kursi kerjanya. Melepaskan jas yang ia pakai, dan meletakkannya di sanderan kursi sebelum ia duduki."Aku ingin melihat berkas perceraian Anakku, Alfaris Harmaka Agung, bisa?" tanya Papa Adi, yang duduk di samping Mama Via yang masih terisak."Faris?! Kalau dia anakmu, kenapa tak kau tanyakan langsung padanya, Di?" Dengan heran Pak Damar balik bertanya dengan kedua mata memandangi wajah Papa Adi, terlihat bingung."Anakku ... dia baru sadar dari pingsan selama kurang lebih tujuh bulan akibat kecelakaan yang dialaminya. Jadi berkas itu masih ada di sini. Lagi pula hubungan kami masih belum sehat," jawab Papa Adi yang dibalas anggukan pelan Pak Damar tanda mengerti situasinya."Ita, tolong bawa berkas Alfaris Harmaka Agung dari perusahan AVA!" perintah Pak Damar pada seseorang melalui pesawat interkom."Ba
"Waktu itu ... aku melihatnya sedang duduk sendiri di kursi depan kantin kampus, aku pikir itu kesempatan untuk mendekat. Namun, saat sudah berada di depannya, barulah tampak dengan jelas kalau dia sedang menangis. Lalu aku bertanya, apakah aku boleh duduk bersamanya? Kulihat Ana tampak terkejut waktu itu, mungkin dia tidak menyangka kalau aku bakal menyapa, bahkan izin untuk duduk bersamanya." Pak Damar menghentikan ceritanya dengan sebuah tarikan nafas panjang. "Agak lama dia membuatku menunggu izin untuk duduk, dan saat aku sudah mulai menyerah, aku mundurkan langkahku dua langkah, kemudian terdengar suaranya menahan langkahku. Dengan suara yang serak akhirnya dia mengizinkan aku duduk bersamanya.Tangan kanannya mempersilahkanku ke kursi di depannya bukan di sampingnya. Tapi tak apa, untukku, itu sudah merupakan awal yang bagus bukan?!" Mama Via terlihat ikut tersenyum saat dari sudut matanya yang melirik, melihat pak Damar melakukan hal yang sama. "Sungguh! Aku senang sekal