Share

Mencoba

Bunyi ketukan di pintu membuat Reisa terbangun. Dia mengerjapkan mata berulang kali dan melirik ke arah jam di dinding. Tubuhnya terasa pegal, juga perut yang semakin mual.

Reisa berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Hanya ada cairan, karena sejak kemarin malam dia tidak bisa makan. 

Atas kesepakatan bersama, Inah dan Tarno ikut tinggal bersama mereka untuk menjaga dan mengurus rumah ini. Mereka juga diminta untuk mengawasi sikap Andra selama menemani Reisa.

Sarah menyanggupi akan menjenguk keponakannya satu minggu sekali. Sekalipun mereka dibiarkan tinggal bersama, tetapi Wisnu tetap memantau perkembangannya dari jauh. 

Setiap hari Inah sudah membuatkan berbagai macam jenis makanan. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang bisa Reisa telan. Semalaman dia menangis karena merasa kelaparan. 

Akhirnya Reisa tertidur dengan perut yang kosong. Wanita itu lebih banyak mengurung diri di kamar sejak tinggal di sini. 

Papanya bilang, setelah bayi ini lahir, Andra akan menikahinya. Itu membuat hatinya semakin sakit. Lukanya semakin menganga dan berdarah. Entah kapan akan sembuh, hanya waktu yang bisa menjawab. 

Menikah. 

Reisa benci mendengar kata-kata itu. Benci kepada papanya, juga kepada takdirnya. Dia sangat benci kepada Andra. Lelaki brengsek yang sudah merenggut kehormatannya. Berpura-pura memakai topeng sebagai sahabat, tetapi menyimpan tipu muslihat.

Satu hal yang paling menyakitkan adalah kebencian Reisa kepada Dimas. Laki-laki itu mengaku cinta, tetapi malah meninggalkannya begitu saja.

"Non Reisa. Ini Bibik. Bukain pintunya. Bibik mau masuk." 

Inah dengan sabar menunggu di depan dan berharap semoga Reisa memberi izin untuk masuk.

Sebenarnya, ada Andra di belakang Inah. Namun, lelaki itu memilih diam dan tak berani bersuara agar tidak ketahuan. 

"Non Rei. Bibik bawain makanan ini. Enak-enak semua." 

Inah menunggu dengan harap-harap cemas. Ketika terdengar suara pintu dibuka, dia menarik napas lega. Andra sengaja berlindung, sehingga tubuh menjulangnya tak nampak. Untunglah tidak terlihat karena Reisa hanya mengintip dari balik pintu. 

"Apa, Bik?" 

Reisa bertanya sembari melirik, mencari-cari apa Andra ada bersama Inah. Mengingat entah sudah berapa kali lelaki itu mencoba untuk bertemu dan dia menolaknya mentah-mentah.

"Ini Bibik bawain makanan. Non Rei sarapan dulu,ya."

"Aku mual, Bik," tolaknya halus. 

"Kemarin Non Rei gak makan. Nanti bisa sakit, loh. Kasian si dedek--" 

Kata-kata Inah terhenti. Pandangannya melirik ke arah perut Reisa yang masih datar. 

"Bau, Bik."

"Ini dicoba dulu, Non. Kalau gak cocok nanti dibikinin yang lain."

"Bibik masak apa?"

"Sop ayam. Pakai jamur, baso sama sayuran. Seger, Non. Si Nok aja makannya banyak, sampai nambah dua kali." 

Inah berusaha mencairkan suasana dengan bercanda. Namun, Reisa terlihat tidak tertarik untuk menanggapinya.

"Masuk, Bik." 

Reisa membuka pintu sedikit lebih lebar dan mempersilakan Inah masuk. Andra yang diam-diam menguping, menarik napas panjang karena lega.

Akhirnya dia mau makan juga, batin lelaki itu. Dia sangat khawatir mengenai kesehatan Reisa, juga bayi mereka.

Inah masuk membawa nampan. Dia sengaja tidak merapatkan pintu, supaya Andra bisa mendengar percakapan mereka. Wanita paruh baya itu tidak tega juga kepada tuannya. 

Andra sudah beberapa kali mencoba masuk ke kamar itu. Dia tidak tahan jika berjauhan. Lagipula jika Reisa menolak, kapan dia bisa mendekatinya. 

Apalagi melihat kondisi Reisa yang semakin drop. Rasanya Andra ingin memindahkan sakitnya. Biarlah dia yang menanggung semua. 

Reisa mengalami mual muntah yang cukup hebat. Hyperemesis namanya. Tubuhnya menjadi kurus dengan wajah yang pucat. Jangankan berdandan, menyisir rambut pun dia enggan.

Semua akibat perbuatanmu, Andra.

Inah mengambil kursi dan duduk berdampingan dengan Reisa. Diusapnya helaian rambut yang berantakan itu. Ada bulir keringat membasahi dahinya. 

"Mual ya, Non?"

"Banget,Bik. Aku gak tahan rasanya. Pengen mati."

Jantung Andra berdebar kencang saat mendengarnya. Dalam hatinya berkata, Jangan sayang, jangan bilang begitu.

Inah memeluknya lembut untuk memberikan kekuatan. Pelukannya terasa, hangat sama seperti kasih seorang ibu. 

Andra juga ingin berada diposisi Inah saat ini. Memeluk pujaan hatinya dengan erat. Memberinya kekuatan dan ketenangan selama menjalani kehamilan. Seperti para ayah di luar sana yang selalu siaga. 

Jangan bermimpi. Buang jauh-jauh semua anganmu. Benak Andra berkata. 

"Bibik suapin ya, Non." 

Reisa mengangguk lemah. Dia berbaring dengan posisi bantal yang ditumpuk sehingga kepalanya bisa bersandar nyaman. Inah dengan telaten menyuapkannya makan.

Reisa tak bisa makan nasi sama sekali. Hidungnya begitu sensitif mencium bau-bauan. Bahkan, dia tidak tahan mencium harum pelembut pakaian Apalagi bau badan orang-orang yang berdekatan dengannya.

"Enak, Non?"

Reisa mengangguk lalu menelan sesuap demi sesuap dengan lahap. Inah mengucap syukur bahwa nonanya sudah tidak mual lagi. Sementara itu dari balik pintu, Andra mengulum senyum saat mendengar Inah sedang menghiburnya.

"Kalau trisemester pertama emang gitu biasanya. Mual, muntah, pusing, semua jadi satu. Tapi katanya itu yang bagus. Kandungannya kuat." 

Reisa terdiam mendengarnya, kemudian membuang pandangan. Seperti tidak sudi jika kata-kata itu diucapkan. Entah apa yang dia rasakan. Antara ingin menyayangi atau membuang janin ini. 

"Jangan, Rei. Sebenci apa pun kamu sama Andra, anak ini gak bersalah." Begitulah nasihat Tante Sarah ketika dia kedapatan menelan pil peluruh haid. 

Reisa mengusap perutnya. Dalam hati berkata, "Nak, kamu sedang apa di dalam sana? Kamu denger, gak? Ini mama, Sayang."

Perang di dalam batinnya terus berkecamuk, hingga kadang membuat kepalanya sakit dan rasa mual itu semakin menghebat. 

"Non Rei, mau buah?" tanya Inah membuyarkan lamunannya. 

Reisa menggeleng. 

"Maunya apa aja? Biar Bibik siapin. Kalau bisa makan yang banyak. Tapi kalau gak bisa ya sedapatnya aja. Jangan kosong perutnya. Bikin tambah mual karena asam lambung naik."

"Aku mau es krim."

Andra yang sedari tadi menguping bergegas ke bawah menuju dapur. Dengan perlahan dia berjalan, menuruni tangga agar tidak ketahuan. Laki-laki itu membuka kulkas dan memilih beberapa variant rasa yang mungkin akan Reisa sukai. 

"Rasa apa, ya? Reisa suka yang mana? Cokelat, vanila atau buah-buahan?" Lelaki itu bergumam di dalam hati.

Biasanya, Reisa suka semua rasa. Wanita itu pemakan segala. Namun, kali ini situasinya sudah berbeda. Andra tidak tahu rasa es krim apa yang bisa dimakannya. 

Lama menimbang akhirnya Andra memutuskan untuk membawa semuanya dan kembali ke atas.

"Ehem." Andra memberikan kode dari balik pintu.

Reisa langsung tersedak saat mendengar suara lelaki itu. Wajahnya pucat pasi dengan tubuh yang gemeteran. Inah langsung memeluknya. Dia takut. 

"Kenapa, Den?" tanya Inah pelan sembari tetap berusaha untuk tenang.

"Rei, gue bawain es krim buat lu." 

Andra mencoba selembut mungkin saat mengucapkannya. Namun, sekeras apa pun berusaha, tetap saja dia ditolak. 

"Jangan masuk, Den. Non Reisa lagi makan."

"Rei, ambil aja es-nya. Gue gak masuk kok." 

Andra mencoba lagi untuk berkomunikasi, walaupun selalu Inah yang akan menjawab.

"Bentar, Non. Bibik ambilkan," ucapnya menenangkan. 

Reisa mengangguk. Inah segera menuju ke arah pintu, mengambil piring berisikan es krim yang dibawakan Andra.

"Sana, Den." Inah berbisik dan mengusirnya secara halus. 

"Pengen ngeliatin Reisa, Bik." 

Wajah Andra memelas manja. Dia rindu, rindu sekali. Tinggal bersama pun mereka belum bisa bertemu. Reisa seperti orang yang kesetanan jika melihatnya. 

"Non Reisa gak mau, Den. Jangan dipaksa. Biar bibik yang ngurusin."

Bisik-bisik dua orang ini samar terdengar. Reisa tidak perduli. Dia muak melihat wajah Andra. Setiap kali, walaupun tak sengaja bertatap muka, rasanya dia ingin melenyapkan janin ini. 

"Aku kangen dia, Bik," ucap Andra memelas. 

Inah tersenyum tipis karena mengerti. Sejak dulu, sekalipun Andra tidak pernah mengatakannya langsung, dia tahu tentang perasaan yang disimpan oleh tuannya kepada nonanya.

"Tunggu waktu yang tepat. Sementara ini biar Bibik aja yang deketin Non Reisa." 

Inah menepuk punggung Andra, mencoba memberinya kekuatan.

"Anakku?" tanya Andra terbata.

"Sehat, Den. Kan udah diperiksa. Aman," jawab Inah meyakinkan. 

"Kalau Reisa butuh apa-apa bilangin ya, Bik. Biar aku yang belikan." 

Andra berjalan gontai. Semangatnya kini hilang. Padahal tadi sudah senang waktu mendengar Reisa meminta es krim. Dia berharap bisa berjumpa walau sebentar. 

"Pelan-pelan ya, Den. Non Reisa belum bisa nerima. Mungkin nanti hari itu bakalan tiba. Tapi gak tau kapan. Kita cuma perlu nunggu dengan sabar," nasihat Inah bijak. 

Andra kembali turun ketika Inah menutup pintu. Satu jam dia menunggu hingga wanita paruh baya itu muncul lagi.

"Bik. Bekas piringnya jangan dicuci. Sini, kasihkan aku aja." 

Andra mengambilnya dari tangan Inah, sewaktu bekas makan Reisa dibawa ke dapur.

"Oh, Den Andra mau bantuin Bibik nyuci piring? Tumben," tanya Inah heran.

"Gak. Aku mau makan pake' sendok bekas Reisa."

Inah tertawa geli melihat kelakuan tuannya. Andra mau makan dibekas sendok Reisa, itu berarti ....

"Aku pengen kiss bekas bibirnya."

Inah tergelak. Suasana mulai mencair. Biasanya di dalam rumah ini, sehari-harinya diliputi ketegangan. 

Inah menepuk kembali bahu Andra, lalu berkata, "Sabar, Den. Sabar ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status