Suara erangan semakin terdengar jelas saat ia memasuki kamar, perasaan Ben mulai tidak nyaman. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi di depan sana, tepatnya di balik sofa bed yang terhalang sandaran.
Ben terus melangkah pelan sembari menyiapkan diri untuk menerima kenyataan jika saja dugaannya memang benar. Jujur saja otaknya sudah kemana-mana saat ini. Dan ...
“Gaby!?” sergah Ben. Matanya melotot seketika saat ia sungguh melihat Gaby sedang berduaan dengan pria lain di balik sofa bed. Pria yang sedang menindih Gaby nampak segera beranjak.
“Be-Ben ….” Gaby jauh lebih terkejut, ia segera meraih apa saja yang ada di dekatnya untuk menutupi bagian sensitif tubuhnya.
“Kau …," sebut Ben tertahan. Ia marah sekali tentunya. "Kau keterlaluan!" bentaknya kemudian. "Aku nggak nyangka, Kau tega berbuat begini sama aku.” Ben menatap tajam Gaby dan kekasih gelapnya itu bergantian.
Gaby segera beranjak menghampiri Ben. Ia meraih lengan Ben, dan berkata, “maafkan aku, Ben, tolong dengarkan aku dulu."
Wuss
Ben menepis tangan perempuan itu.
“Apalagi yang perlu dijelaskan? Kita putus!" tegas Ben. Setelahnya ia segera berbalik lalu melangkah pergi dari kos Gaby. Panggilan perempuan itu yang mencoba mencegah kepergiannya tak lagi dia pedulikan.
***
Duak! Krantang klenting.
Ben menendang sebuah kaleng bekas soft drink yang kebetulan berada di depannya untuk sekedar menghilangkan kekesalannya.
“Aaargh! Sial! Dasar wanita brengsek!” makinya.
2 tahun sudah, Ben menjalin hubungan dengan Gaby, dia sangat mencintai perempuan itu. Walaupun Ben bukan pria yang baik akhlaknya, tapi dia pria yang sangat setia. Selama menjalin hubungan dengan Gaby, Ben tidak pernah selingkuh. Tentu saja dia sangat kecewa ternyata justru Gaby yang menduakannya.
Huuuh!
“Tidur dimana gue malam ini?” Ben berkata sambil bersandar pada sebuah bangunan ruko di dekatnya.
Ben lalu merogoh saku celana jeans yang dikenakannya, mengambil ponselnya hendak melihat jam berapa saat itu.
Saat layar gawainya menyala, bukan angka penunjuk waktu yanng menjadi pusat perhatiannya melainkan belasan panggilan tak terjawab dan 2 pesan masuk dari telepon rumah yang jauh lebih menarik perhatian. Ia agak kaget saat menemukan ternyata belasan panggilan tak terjawab itu adalah dari rumah.
Ben lalu segera membuka salah satu pesan teratas yang dikirimkan Bi Ina siang tadi dan membacanya segera. Netranya membulat seketika. “Jadi Mama sakit?” sebut Ben terkesiap.
Dan dia jauh lebih kaget lagi ketika membaca pesan kedua yang terkirim ke ponselnya sekitar pukul 19.01 barusan. Tanpa berpikir panjang, Ben bergegas berlari dengan sangat cepat mengerahkan seluruh kemampuannya menuju ke suatu tempat yang tertera pada pesan masuk.
***
Setelah kurang lebih 1 jam kemudian Ben tiba di rumah sakit Permata Hati. Ya, Ernanda masuk rumah sakit sekitar jam 7 tadi.
Ernanda terjatuh di lantai saat hendak turun mengambil minum, dan Tristan begitu kaget saat ia yang baru pulang kerja dan menemukan istrinya itu terkapar di lantai. Tristan pun segera membopong Ernanda keluar dari kamar menuju rumah sakit. Ketika melewati Bi Ina, Tristan berpesan pada Bi Ina supaya ia menghubungi Ben. Bi Ina pun mengirimkan pesan kedua pada majikannya itu.
Ben mengatur nafasnya yang ngos-ngosan, menghirup dalam-dalam udara, lalu menghembuskannya pelan sebanyak beberapa kali. Merasa nafasnya mulai teratur, dia pun menghampiri meja informasi.
“Mba, apa di sini ada pasien yang bernama Ernanda Pratiwi? Kronologinya pasien terjatuh di lantai kamar.”
“Sebentar, saya cek dulu ya, Mas,” tanggap wanita yang bertugas.
Ben mengangguk gelisah.Ini adalah rumah sakit kedua yang dimasuki Ben. Bi Ina tidak memberitahukan pada Ben dimana Ernanda dirawat. Ben hanya mengira-ngira rumah sakit langganan keluarganya. Kalau bukan Family Hospital, berarti Permata Hati. Sebelumnya Ben sudah mampir di Family Hospital terlebih dahulu, karena tak menemukan ibunya disana, dia pun menuju ke rumah sakit permata hati. Beruntung, jarak kedua rumah sakit ini cukup berdekatan. Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja baginya untuk mencapai rumah sakit itu sehabis dari rumah sakit yang satunya.
Sesaat setelah mengotak-atik komputernya, wanita itu bersuara,
“Apakah maksud Anda, Ernanda Pratiwi yang beralamat di The Rose Village?”“Iya, benar, Mba,”
“Pasien ada di ruang VVIP nomor 1,”
“Baik, makasih, Mba.
Ben pun bergegas melanjutkan langkahnya dengan berlari menuju ruangan yang dikatakan oleh wanita itu.
***
Ben berdiri di hadapan pintu VVIP nomor 1, ia menatap intens ke arah tulisan yang tertempel di atasnya. Agak ragu hendak mengetuk pintu itu atau tidak, tapi tentu sesaat kemudian, dia tetap mengetuk pintu itu.
Tok tok!
Jegrek!
Tristan yang membukakan pintu untuk Ben. Ayah dan anak itu saling menatap untuk sejenak. Sementara dari tempat tidur, Ernanda bersuara, “Siapa, Pa?”
Ben pun menerobos masuk tanpa menyapa ayahnya sama sekali. Dia masih marah pada Tristan. Ia sangat keras kepala, tidak mungkin memaafkan ayahnya itu begitu saja.
“Ma …, “ sapa Ben.
“Ben?!” Wajah Ernanda sontak berseri-seri. “Kamu disini, Nak? Mama sangat merindukanmu,” lirih Ernanda.
Ben yang sudah berada di dekat ibunya menundukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke arah wajah ibunya.
Cup, cup, Ben mengecup pipi kanan dan pipi kiri ibunya, tak lupa juga dengan keningnya.“Maafin Ben, Ma."Ernanda mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Ben.”
Ernanda lalu memperhatikan Ben secara seksama seraya memegang kedua lengan putranya itu.
“Lihat saja dirimu, baru pergi beberapa hari saja sudah sekurus ini. Kamu pasti tidak makan dengan benar, iya kan?”
Ben tersenyum kecil, juga memperhatikan dirinya sendiri. “Mama ini bisa aja, mana ada kurus, Ma, Ben makan dengan baik kok. Buktinya, Ben sehat-sehat aja, kan? Mama tu yang tidak makan dengan baik, sampai sakit seperti ini.”
“Makanya, Kamu juga sih, hobinya melawan Mama.” Ernada terdiam sejenak, beberapa detik kemudian, dia kembali berucap, “Ben, mengenai perjodohan itu … Mama masih berharap Kamu menerimanya,” tambah Ernanda.
“Mama … kenapa masih ngomongin tentang itu?”
“Sshh!” desis Ernanda tetiba sambil memegang kepalanya.
“Mama … Mama kenapa?” tanya Ben panik.
Dari kejauhan, Tristan tampaknya ikut panik, dia langsung berlari menuju ke tempat tidur Ernanda.
“Minggir Kamu,” usir Tristan menggeser posisi putranya dengan lengannya.
“Ma … Mama tidak apa-apa, kan? Apa kepalanya sakit lagi?” selidik Tristan khawatir sekali.“Iya, Pa. Kepala mama sakit banget,” lirih Ernanda. Ernanda membuka salah satu matanya. Tristan mengerutkan dahi, Ernanda memberinya kode supaya ia mengikuti sandiwaranya. Tristan yang sebelumnya panik sungguhan pun mengerti, dan mengikuti drama yang sedang diperankan oleh istrinya itu.
“Sakit banget ya, Ma? Gimana ini? Bagian mana yang sakit?” tanya Tristan tetap memperlihatkan kepanikannya.
“Ma, bertahanlah. Atau Ben panggilkan dokter ya,” sambung Ben.
“Tidak, tidak perlu, Ben,” tolak Ernanda. “Kemarilah!” tambahnya, Tristan menyingkir memberikan ruang bagi Ben.
“Sshh!” desisnya lagi setelah Ben menggantikan posisi Tristan.
“Bagian mana yang sakit, Ma?” ben terlihat sangat khawatir.
“Disini, Ben.” Ernanda memegang kepala bagian kirinya.
“Lebih baik, Ben panggilkan dokter saja ya,” saran Ben lagi.
“Tidak, tidak perlu, Ben."
“Terus, apa yang harus Ben lakukan, Ma? Mama kesakitan begini hanya dokter yang tau cara ngilanginnya.” Entahlah dia tiba-tiba menyesal pernah menolak saat ditawarkan ibunya berkuliah di bidang kedokteran dulunya. Pikiran Ben sungguh sedang sangat kacau saat ini.
"Mama tidak memerlukan dokter, mama hanya butuh Kamu, Ben."
"Maksud Mama?"
Ernanda tersenyum awkward melihat ekspresi Ben yang tampak begitu panik. Ia jelas senang sandiwaranya itu ternyata berhasil.
“Terimalah perjodohan itu, Ben,” pinta Ernanda kemudian.
Ben melengkungkan alisnya sekarang, sepertinya dia bisa mencium bau-bau drama yang sedang dimainkan oleh Ernanda. Mana mungkin sakit kepala bisa dihilangkan dengan urusan perjodohan. Sungguh terlalu aneh.
Ben memang tidak mudah ditipu. Namun Ernanda jauh lebih gesit, dia bergegas memperdalam perannya.
“Sshh! Aduh … sakit sekali, ssshh …,” desisnya memperdalam sandiwara.
“Ma, Ma, Mama tidak apa-apa, kan? Mana yang sakit, Ma?” Ben kembali panik.
Tak hanya Ben, Tristan juga sedikit panik, sandiwara Ernanda memang sangat sempurna.“Te-ri-ma-lah per-jo-dohan itu. Sshh ….”
Kalimat Ernanda sungguh terdengar aneh, apa hubungannya sakit kepala dengan perjodohan. Ingin sekali Ben mengungkapkan isi kepalanya ini tapi juga tidak tega. Ben masih diam tak menjawab hingga Ernanda harus memperdalam sandiwaranya sekali lagi. Dan kali ini lebih sempurna lagi hingga Ben segera menanggapi kalimatnya itu.
“Baik, Ma. Baik. Ben terima perjodohan itu."
Bersambung ....
Ben sangat mencintai ibunya, apapun akan dia lakukan demi keselamatan ibunya. Walaupun rasanya sangat tidak masuk akal, permintaan ibunya itu jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan penyakitnya, Ben tetap memilih mengalah. Mendengar jawaban putranya itu, Ernanda sontak membuka kedua matanya, “benarkah?" Ben menanggapu dengan mengangguk pasti. Ernanda pun menyudahi dramanya dengan beranjak segera dari posisi baringnya memeluk Ben membuat putranya itu tersadar seketika ternyata dia sudah dikerjai oleh ibunya. "Makasih ya, Ben sudah mau menerima perjodohan itu," ucapnya Ernanda tersenyum bahagia. *** Minggu pagi, Keluarga Susanto sedang mempersiapkan diri akan mengunjungi kediaman Caroline. Mereka akan meramal gadis itu untuk putra mereka. Namun sebelum menempuh perjalanan yang cukup jauh ini, mereka sarapan terlebih dulu. Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja bagi mereka untuk menuntaskan aktivitas makan pagi. Usai itu, mereka p
Caroline terbengong sejenak di depan pintu. Dia baru saja tiba di rumah, dan tanpa sengaja mendengar ucapan Tristan yang menyebut kata perjodohan. Namun ia tidak langsung menanyakan perihal tersebut seolah-olah ia tidak mendengar apapun. “Eh, Carol … kamu sudah pulang, Nak?” Anita beranjak dari tempat duduknya namun tak melangkah, melainkan Caroline yang menghampiri perkumpulan kecil itu. Keadaan sedikit menghening saat ini. Tap tap tap. Perlahan, Carol melangkah memasuki rumahnya, langkahnya langsung tertuju ke arah ruang tamu. Tiba di dekat meja tamu, Carol menatap Ben penuh arti, Ben melirik Carol kilas kemudian segera beralih pada layar pipih yang masih menyala. "Yang bener saja, jadi dia cewek yang akan dijododin ke gue? Ya ampun, cewek kampungan begini akan dijodohkan ke gue? Apa kata dunia?" batinnya tak terima. “Hai, Sayang, ternyata Kamu sudah bertumbuh jadi wanita cantik,” puji Ernanda yang membuat Ben mengernyitkan wajahnya sambil
“Ben nggak capek, mau jalan-jalan di luar saja,” ujar Ben “Kalau begitu, biar Carol yang menemanimu, Nak Ben,” saran Galih yang membuat Carol mengangkat kedua alisnya. Ben melirik Caroline sekilas, lalu bersuara, “tidak perlu, Om. Ben bisa sendiri kok.” “Jangan, nanti Kamu tersesat. Biar Carol saja yang menemanimu, Nak Ben,” sambung Anita. “Iya, bener. Kalian berdua juga bisa saling mengenal lebih dekat. Pergilah sama Carol, Ben.” Ernanda ikut bersuara. Ben pun terdiam sekarang. Apalagi Carol juga sejak tadi hanya diam saja. Ben tak memiliki alasan untuk terus melakukan penolakan. “Ben keluar dulu ya, Ma, Pa.” Ia memilih pamit segera, lalu berbalik secepat mungkin tanpa menjawab setuju atau tidak akan saran para orang tua itu. Sementara pastinya Caroline masih terdiam di tempat, dia tidak tak tau harus melakukan apa sebab tak ada jawaban dari pria itu. Ernanda segera memberi kode padanya supaya gadis polos itu mengejar Ben yang
Ben dan Carol berjalan saling berdampingan. Saat mereka berdua tiba di depan dekat rumah, Galih dan Anita tak sengaja melihat mereka. Kedua orang tua Carol saling menatap, lalu tersenyum bersama. Mereka senang melihat kedekatan pasangan itu. Sejujurnya, ayah dan ibu Carol juga mengharapkan Carol mau menerima perjodohan itu. Hanya saja mereka tak ingin memaksakan kehendak, sehingga memberikan hak pada putri mereka untuk memilih. Pastinya mereka sangat berharap bisa besanan dengan sahabat mereka. "Ma, Pa ...," sapa Carol. Sedangkan Ben tersenyum tipis seraya mengangguk sopan. Perubahan sikap Ben sangat jauh berbeda setelah pulang dari jalan-jalan. Anita memperlebar senyumannya, "Kalian sudah kembali?" sambutnya. "Tadi, apa kehujanan?" tanya Anita sambil memegang kedua tangan Caroline. Carol ikut tersenyum, bahkan menyerupai tawa kecil, "Mama ada-ada saja. Iya nggaklah, Ma. Kalo kami hujan-hujanan, ga mungkin masih kering begini, kan?" "B
Beberapa saat kemudian, aktivitas makan malam pun usai. Caroline masih saja bergulat dengan pikirannya yang tak berkesudahan. Carol tampak sangat gelisah hingga membuat Anita sedikit heran. “Carol, Kamu kenapa?” tanyanya. Deg! “Hah? hmm … ti-tidak apa-apa,” jawab Carol gelagapan. Anita mengerutkan dahinya sembari mengedarkan pandangannya melirik ke yang lain. Kini, tak hanya Anita yang heran dengan sikap Carol yang demikian, semua yang ada di meja makan ikut merasa heran, lebih-lebih si Ben. Semua mata menatap Carol, membuat Carol sedikit terintimidasi. “Atau jangan-jangan, Kamu sakit?” khawatir Ernanda. “Nggak kok, Tan. Aku hanya ….” “Hanya apa, Carol?” sambung Galih. “Tidak biasanya Kamu bersikap seperti ini,” sambungnya. “Aku … aku mau ….” Carol menghentikan ucapannya, tatapannya tertuju pada Ben yang juga sedang melihat ke arahnya. “Mau apa, Carol?” tanya Anita penasaran. “Hmm ... Um ….” Sika
Ernanda dan Caroline telah mencapai ambang pintu. Anita yang baru selesai menyiapkan bingkisan muncul dari arah dapur. “Nanda, ini untuk kalian!” ucap Anita seraya menyodorkan sebuah bingkisan yang terbungkus rapi di dalam sebuah dus kecil seukuran dus mie instan. “Ya ampun, Nit … tidak perlu serepot ini,” tanggap Ernanda sambil menyambut pemberian Anita. Ernanda juga melirik dus yang terlakban sempurna itu sekilas. “Nggak apa-apa, Nanda. Maaf, hanya bisa memberikan ini saja,” jawab Anita sambil tersenyum. “Ya ampun, ini juga sudah banyak. Seharusnya Kamu tidak perlu melakukan ini,” “Kamu ini, ini bukan apa-apa. Hanya sedikit jajanan murahan saja. Lagian kalian pulang secepat ini, ini pun masih untung kebetulan ada stok di dapur,” “Makasih ya, Nit. Aku juga lupa menyiapkan sedikit oleh-oleh untuk kalian tadi.” Ernanda menggaruk-garuk kepalanya dengan jari telunjuknya merasa tak nyaman. “Tidak apa-apa, Nanda. Kalian sudah
Panggilan tersebut tak lain adalah dari Gaby. Ben masih marah pada kekasihnya itu, ia mengabaikan panggilan tersebut. Dia lebih memilih kembali menatap layar komputer di hadapannya. Kali ini Ben tak lagi melanjutkan pekerjaannya, sudah terlalu lama dirinya menatap layar, kedua matanya bahkan terasa perih. Ben sedang menyimpan data yang ia kerjakan, juga menyimpan beberapa file hasil tulisannya pada masing-masing folder tanpa lupa memberikan nama. Usai itu, Ben mematikan perangkat perangnya satu per satu. Dari LCD, berlanjut pada CPU. Drrrt … drrrt. Baru saja Ben menekan tombol on off pada CPU, benda persegi miliknya kembali bergetar. Tentu saja peneleponnya masih sama dengan yang tadi, yakni Gaby. Huuuh! “Mau apa sih dia?" Ben menatap layar yang menyala cukup lama kali ini. Dia sebenarnya sedikit merindukan Gaby, hanya saja dia juga sangat sakit hati pada Gaby. Tit! Ben mereject panggilan dari Gaby.
Sekitar setengah jam menempuh perjalanan dari bar menuju tempat mereka membooking kamar, akhirnya Ben dan Sandi beserta ketiga wanita malam yang mereka bawa serta tiba di sebuah hotel di kota Jakarta. Dua wanita yang merupakan pasangan satu malam Ben merengkuh manja pada sisi kiri dan kanan Ben. Sedangkan satu wanita lainnya adalah milik Sandi. Mereka berlima kemudian menuju ke arah kamar mereka masing-masing setelah selesai dari meja resepsionis. Tiba di depan kamar nomor 126, Ben dan kedua wanitanya menghentikan langkah mereka. Ben mengangkat salah satu tangannya, menempelkan tangannya itu pada gagang pintu, lalu menekannya ke bawah untuk membukakan pintu baginya, juga bagi kedua wanita di sisi kiri-kanannya itu. Tap tap tap! Langkah Ben Sander masih cukup mantap, dia belum begitu dipengaruhi oleh alkohol. Ben memang cukup kuat minum alkohol, hingga ia tak mudah tumbang. Bug! Ben mendorong salah satu wanitanya hingga terjatuh di temp