"Tunggu, tunggu ... j-jadi, Tante Nanda sama Om Tristan mau menjodohkan Kamu dengan perempuan pilihan mereka?
"Iya, Sayang, tapi aku menolak, aku hanya mau denganmu saja," ujar Ben menatap kedua mata Gaby.
Gaby tersenyum kaku identik dengan senyuman yang dipaksakan.
"Terus, setelah ini apa yang akan Kamu lakukan?" Tepatnya dia sedang memikirkan Ben yang sudah tidak memiliki apapun lagi.
"Aku akan coba cari kerja. Memulai semuanya dari nol. Kamu mau mendukung aku, kan?"
Gaby memalingkan wajahnya sejenak, dan berkata tanpa mengeluarkan suara, "what?" Kemudian berbalik lagi menghadap Ben, dan berusaha tersenyum senormal mungkin.
"Apa Kamu yakin mampu melakukan semua itu?" tanyanya lagi.
"Tentu saja. Aku ingin membuktikan ke mama sama papa aku kalau aku bisa tanpa mereka. Kamu mau kan, Sayang ... memulai semuanya dari nol sama aku?" ulang Ben.
Gaby mengangkat kedua alisnya, dengan ekspresi sedikit aneh, tapi tetap berusaha bersikap senormal mungkin, " hmm ... i-iya, Sayang. Aku mau," jawabnya dengan terpaksa.
"Makasih ya, Sayang. Aku seneng punya pacar kayak kamu yang mau menerima aku apa adanya. Kamu memang baik," puji Ben tersenyum senang.
Cup!
Satu kecupan lembut juga ia daratkan di kening Gaby.
Ben memang terlalu polos, dia bahkan tak tahu Gaby hanya berpura-pura mencintainya. Mana mungkin Gaby mau hidup susah bersamanya, Gaby mau sama Ben juga karena uang, yup, semua karena uang. Itulah sebabnya kenapa Ernanda tidak menyukai Gaby. Ernanda tentu saja bisa menilai dengan baik, tulus atau tidaknya seorang wanita terhadap putranya.
Ben hanya terlalu dibutakan dengan cintanya yang tak berfaedah. Ben dan Gaby pun sudah sangat sering melakukan hubungan suami istri, bersama Gaby yang selalu mendukungnya terjun ke dalam dunianya yang tak beraturan. Pulang mabuk-mabukan, diantar oleh Gaby hingga ke depan rumahnya pun sudah sering terjadi. Jelas sangat wajar, Ernanda tak menyukai perempuan itu.
***
3 hari telah berlalu, Ben belum juga pulang ke rumah orang tuanya. Ernanda yang terus-terusan mencemaskan putranya itu mulai jatuh sakit karena khawatir.
Tok tok, jegrek.
Siang itu, Bi Ina membawakan makan siang dan ramuan herbal sesuai dengan yang dipesankan oleh Tristan pagi ini, ketika dia baru saja selesai menyuapi istrinya makan pagi. "Nanti siang, setelah makan siang, jangan lupa buatkan ramuan herbal juga untuk nyonya." Demikian pesannya.
Bi Ina melangkah pelan memasuki kamar majikannya dengan membawa baki yang berisikan makan siang dan ramuan herbal dengan kedua tangannya.
Perlahan ia letakkan baki itu di atas meja nakas, lalu menghampiri majikannya yang tampak memejamkan mata.
Bi Ina sedikit tidak tega hendak membangunkan majikannya yang sepertinya tertidur dengan sangat nyenyak itu.
Bi Ina melirik ke arah jam dinding yang tergantung di samping atas, jarum jam menunjukkan tepat pukul 13.00. "Wah, sudah siang, ini sudah waktunya makan siang." Bi Ina bergumam pelan.
Dengan sangat terpaksa, mau tidak mau, dia tetap harus membangunkan majikannya itu. Akhirnya, Bi Ina pun sedikit membungkukkan badannya, dan mulai memanggil-manggil majikannya untuk membangunkan majikannya itu.
"Nyonya, bangun. Sudah waktunya makan siang," ucap Bi Ina dengan suara pelan.
Belum juga mendapatkan respon, Bi Ina memanggil sekali lagi, hingga panggilan ketiga ia tetap tidak mendapatkan respon apapun. "Nyonya, tidurnya nyenyak sekali, mungkin nanti saja baru makan."
Dan akhirnya, Bi Ina pun memutuskan untuk membiarkan majikannya tidur sebentar lagi. Dia akan kembali sekitar 30 menit lagi, pikirnya dalam hati.
Namun, baru saja Bi Ina akan melangkah, tiba-tiba Ernanda bersuara,
"Ben, kamu di mana? Pulang, Nak, Mama rindu sama Kamu." Dalam keadaan terpejam, Ernanda berkata-kata, Bi Ina menatap majikannya itu dengan tatapan sendu.
"Kasihan Nyonya, dia memikirkan Den Bensan sampai ngigau begini.” Bi Ina menundukkan wajahnya sejenak sebelum bersuara kembali, “aku harus menghubungi Nak Bensan, dia pasti mau pulang demi ibunya."
Bi Ina lalu berbalik, dan melangkah pergi, keluar dari kamar meninggalkan makanan dan minuman herbal yang ia bawa tadi di dalam kamar majikannya.
Bensan adalah nama panggilan kesayangan Bi Ina terhadap Ben Sander. Sewaktu kecil, setiap ada orang yang bertanya pada Ben mengenai namanya, dia selalu menjawab, "namaku Bensan, alias Ben Sander."
Hingga saat ini, panggilan itu melekat di kepala Bi Ina. Jika orang lain lebih memilih memanggil Ben Sander dengan nama Ben saja, hanya Bi Ina saja yang selalu memanggil Ben dengan nama Bensan.
Bi Ina menempelkan telepon yang ada di tangannya pada telinga sebelah kanannya, terdengar bunyi "tut" pertanda tersambungnya sebuah panggilan. Yup, Bi Ina sedang menghubungi Ben dengan menggunakan telepon rumah.
Ben yang saat itu sedang berjalan seorang diri menelusuri sepanjang jalan kota Jakarta di kala teriknya matahari, tepatnya di daerah Kalideres, menghentikan langkahnya saat merasakan getaran di saku celananya.
Ben merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel yang bergetar itu. Ditatapnya layar ponselnya dari jarak yang cukup dekat karena layar ponsel itu agak gelap. Ben memang suka mengatur cahaya sedikit redup pada layar benda pipihnya itu agar lebih hemat batre, hingga ia sendiri sedikit sulit melihat apa yang tertera di layar saat cahaya matahari begitu terang.
“Rumah?!” sebut Ben memicing, salah satu tangannya dia gunakan untuk menghalangi cahaya yang membuat layar ponselnya sedikit gelap. “Bodo amat, nggak akan gue jawab.”
Tit!
Bukannya menjawab panggilan tersebut, Ben justru menekan tombol merah pada ponselnya, menolak panggilan dari Bi Ina, sudah pasti membuat asisten rumah tangga keluarganya itu keheranan. Panggilan yang sudah jelas-jelas tersambung malah terputus begitu saja.
Hingga Bi Ina pun mencoba menghubunginya kembali sebanyak beberapa kali, dan panggilannya tetap tidak dijawab oleh Ben. Tak mengenal kata menyerah, begitulah Bi Ina. Karena Ben tak kunjung menjawab panggilannya, Bi Ina pun memutuskan untuk mengirim pesan singkat pada Ben.
***
Mentari tak lagi menampakkan diri, siang kini telah berganti malam. Ben yang seharian berjalan kesana kemari mencari pekerjaan kembali ke kos Gaby.
Krak … krak.
Ben memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, sedikit menghentakkan gerakannya untuk merenggangkan otot-otot lehernya.
Huuuh
“Capek banget. Ternyata nyari kerja itu susah banget. Sudah 3 hari keliling seperti ini, tapi nggak dapet kerjaan juga," keluh Ben seraya mengusap kening membersihkan peluh.
Ben yang sedang berdiri di depan pintu kos Gaby baru saja mengangkat tangan kanannya hendak mengetuk pintu, tapi ia urungkan saat melihat pintu di hadapannya itu tidak tertutup rapat. Ben menyipitkan matanya heran.
“Tumben Gaby tidak mengunci pintu,” ucapnya pelan, lalu mendorong perlahan pintu kos itu.
Ada yang aneh, ketika pintu terbuka ia mendengar suara aneh. Yakni suara erangan seperti orang yang sedang melakukan hubungan suami-istri memenuhi seisi ruangan tersebut. Ben melengkuhkan alis penasaran. Ia lalu melangkah pelan memasuki kos Gaby tanpa bersuara sedikit pun.
Bersambung ....
Suara erangan semakin terdengar jelas saat ia memasuki kamar, perasaan Ben mulai tidak nyaman. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi di depan sana, tepatnya di balik sofa bed yang terhalang sandaran. Ben terus melangkah pelan sembari menyiapkan diri untuk menerima kenyataan jika saja dugaannya memang benar. Jujur saja otaknya sudah kemana-mana saat ini. Dan ... “Gaby!?” sergah Ben. Matanya melotot seketika saat ia sungguh melihat Gaby sedang berduaan dengan pria lain di balik sofa bed. Pria yang sedang menindih Gaby nampak segera beranjak. “Be-Ben ….” Gaby jauh lebih terkejut, ia segera meraih apa saja yang ada di dekatnya untuk menutupi bagian sensitif tubuhnya. “Kau …," sebut Ben tertahan. Ia marah sekali tentunya. "Kau keterlaluan!" bentaknya kemudian. "Aku nggak nyangka, Kau tega berbuat begini sama aku.” Ben menatap tajam Gaby dan kekasih gelapnya itu bergantian. Gaby segera beranjak menghampiri Ben. Ia meraih lengan Ben, dan berkata, “maafk
Ben sangat mencintai ibunya, apapun akan dia lakukan demi keselamatan ibunya. Walaupun rasanya sangat tidak masuk akal, permintaan ibunya itu jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan penyakitnya, Ben tetap memilih mengalah. Mendengar jawaban putranya itu, Ernanda sontak membuka kedua matanya, “benarkah?" Ben menanggapu dengan mengangguk pasti. Ernanda pun menyudahi dramanya dengan beranjak segera dari posisi baringnya memeluk Ben membuat putranya itu tersadar seketika ternyata dia sudah dikerjai oleh ibunya. "Makasih ya, Ben sudah mau menerima perjodohan itu," ucapnya Ernanda tersenyum bahagia. *** Minggu pagi, Keluarga Susanto sedang mempersiapkan diri akan mengunjungi kediaman Caroline. Mereka akan meramal gadis itu untuk putra mereka. Namun sebelum menempuh perjalanan yang cukup jauh ini, mereka sarapan terlebih dulu. Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja bagi mereka untuk menuntaskan aktivitas makan pagi. Usai itu, mereka p
Caroline terbengong sejenak di depan pintu. Dia baru saja tiba di rumah, dan tanpa sengaja mendengar ucapan Tristan yang menyebut kata perjodohan. Namun ia tidak langsung menanyakan perihal tersebut seolah-olah ia tidak mendengar apapun. “Eh, Carol … kamu sudah pulang, Nak?” Anita beranjak dari tempat duduknya namun tak melangkah, melainkan Caroline yang menghampiri perkumpulan kecil itu. Keadaan sedikit menghening saat ini. Tap tap tap. Perlahan, Carol melangkah memasuki rumahnya, langkahnya langsung tertuju ke arah ruang tamu. Tiba di dekat meja tamu, Carol menatap Ben penuh arti, Ben melirik Carol kilas kemudian segera beralih pada layar pipih yang masih menyala. "Yang bener saja, jadi dia cewek yang akan dijododin ke gue? Ya ampun, cewek kampungan begini akan dijodohkan ke gue? Apa kata dunia?" batinnya tak terima. “Hai, Sayang, ternyata Kamu sudah bertumbuh jadi wanita cantik,” puji Ernanda yang membuat Ben mengernyitkan wajahnya sambil
“Ben nggak capek, mau jalan-jalan di luar saja,” ujar Ben “Kalau begitu, biar Carol yang menemanimu, Nak Ben,” saran Galih yang membuat Carol mengangkat kedua alisnya. Ben melirik Caroline sekilas, lalu bersuara, “tidak perlu, Om. Ben bisa sendiri kok.” “Jangan, nanti Kamu tersesat. Biar Carol saja yang menemanimu, Nak Ben,” sambung Anita. “Iya, bener. Kalian berdua juga bisa saling mengenal lebih dekat. Pergilah sama Carol, Ben.” Ernanda ikut bersuara. Ben pun terdiam sekarang. Apalagi Carol juga sejak tadi hanya diam saja. Ben tak memiliki alasan untuk terus melakukan penolakan. “Ben keluar dulu ya, Ma, Pa.” Ia memilih pamit segera, lalu berbalik secepat mungkin tanpa menjawab setuju atau tidak akan saran para orang tua itu. Sementara pastinya Caroline masih terdiam di tempat, dia tidak tak tau harus melakukan apa sebab tak ada jawaban dari pria itu. Ernanda segera memberi kode padanya supaya gadis polos itu mengejar Ben yang
Ben dan Carol berjalan saling berdampingan. Saat mereka berdua tiba di depan dekat rumah, Galih dan Anita tak sengaja melihat mereka. Kedua orang tua Carol saling menatap, lalu tersenyum bersama. Mereka senang melihat kedekatan pasangan itu. Sejujurnya, ayah dan ibu Carol juga mengharapkan Carol mau menerima perjodohan itu. Hanya saja mereka tak ingin memaksakan kehendak, sehingga memberikan hak pada putri mereka untuk memilih. Pastinya mereka sangat berharap bisa besanan dengan sahabat mereka. "Ma, Pa ...," sapa Carol. Sedangkan Ben tersenyum tipis seraya mengangguk sopan. Perubahan sikap Ben sangat jauh berbeda setelah pulang dari jalan-jalan. Anita memperlebar senyumannya, "Kalian sudah kembali?" sambutnya. "Tadi, apa kehujanan?" tanya Anita sambil memegang kedua tangan Caroline. Carol ikut tersenyum, bahkan menyerupai tawa kecil, "Mama ada-ada saja. Iya nggaklah, Ma. Kalo kami hujan-hujanan, ga mungkin masih kering begini, kan?" "B
Beberapa saat kemudian, aktivitas makan malam pun usai. Caroline masih saja bergulat dengan pikirannya yang tak berkesudahan. Carol tampak sangat gelisah hingga membuat Anita sedikit heran. “Carol, Kamu kenapa?” tanyanya. Deg! “Hah? hmm … ti-tidak apa-apa,” jawab Carol gelagapan. Anita mengerutkan dahinya sembari mengedarkan pandangannya melirik ke yang lain. Kini, tak hanya Anita yang heran dengan sikap Carol yang demikian, semua yang ada di meja makan ikut merasa heran, lebih-lebih si Ben. Semua mata menatap Carol, membuat Carol sedikit terintimidasi. “Atau jangan-jangan, Kamu sakit?” khawatir Ernanda. “Nggak kok, Tan. Aku hanya ….” “Hanya apa, Carol?” sambung Galih. “Tidak biasanya Kamu bersikap seperti ini,” sambungnya. “Aku … aku mau ….” Carol menghentikan ucapannya, tatapannya tertuju pada Ben yang juga sedang melihat ke arahnya. “Mau apa, Carol?” tanya Anita penasaran. “Hmm ... Um ….” Sika
Ernanda dan Caroline telah mencapai ambang pintu. Anita yang baru selesai menyiapkan bingkisan muncul dari arah dapur. “Nanda, ini untuk kalian!” ucap Anita seraya menyodorkan sebuah bingkisan yang terbungkus rapi di dalam sebuah dus kecil seukuran dus mie instan. “Ya ampun, Nit … tidak perlu serepot ini,” tanggap Ernanda sambil menyambut pemberian Anita. Ernanda juga melirik dus yang terlakban sempurna itu sekilas. “Nggak apa-apa, Nanda. Maaf, hanya bisa memberikan ini saja,” jawab Anita sambil tersenyum. “Ya ampun, ini juga sudah banyak. Seharusnya Kamu tidak perlu melakukan ini,” “Kamu ini, ini bukan apa-apa. Hanya sedikit jajanan murahan saja. Lagian kalian pulang secepat ini, ini pun masih untung kebetulan ada stok di dapur,” “Makasih ya, Nit. Aku juga lupa menyiapkan sedikit oleh-oleh untuk kalian tadi.” Ernanda menggaruk-garuk kepalanya dengan jari telunjuknya merasa tak nyaman. “Tidak apa-apa, Nanda. Kalian sudah
Panggilan tersebut tak lain adalah dari Gaby. Ben masih marah pada kekasihnya itu, ia mengabaikan panggilan tersebut. Dia lebih memilih kembali menatap layar komputer di hadapannya. Kali ini Ben tak lagi melanjutkan pekerjaannya, sudah terlalu lama dirinya menatap layar, kedua matanya bahkan terasa perih. Ben sedang menyimpan data yang ia kerjakan, juga menyimpan beberapa file hasil tulisannya pada masing-masing folder tanpa lupa memberikan nama. Usai itu, Ben mematikan perangkat perangnya satu per satu. Dari LCD, berlanjut pada CPU. Drrrt … drrrt. Baru saja Ben menekan tombol on off pada CPU, benda persegi miliknya kembali bergetar. Tentu saja peneleponnya masih sama dengan yang tadi, yakni Gaby. Huuuh! “Mau apa sih dia?" Ben menatap layar yang menyala cukup lama kali ini. Dia sebenarnya sedikit merindukan Gaby, hanya saja dia juga sangat sakit hati pada Gaby. Tit! Ben mereject panggilan dari Gaby.