Aku tak habis pikir dengan sikap Mas Arfan. Di sini akulah korbannya, tapi kenapa aku yang dituduh mengadu? Jika aku niat mengadu sudah aku buka tadi di depan mama mertua.nyatanya aku lebih memilih menyembunyikannya."Sabar ya, Mbak. Semoga Mas Arfan nanti sadar akan kesalahannya," kata Ana menepuk pundakku. Ana masuk ke kamarnya, aku ke kamar Kiara dan menangis di samping Kiara yang tertidur pulas."Kenapa kamu berubah, Mas? Kamu bukan lagi suamiku yang dulu," kataku.Aku menangis sampai akhirnya ketiduran di kamar Kiara.Pagi itu Mama mertua aku kira pulang, ternyata dia masih ingin menginap. Aku dan Ana tidak keberatan tapi Mas Arfan tampak keberatan."Aku akan menginap lagi. Apa ada yang keberatan mama di sini?" tanya Mama mertua."Tidak, Ma. Kinan senang mama di sini," jawabku."Iya, Ma. Kami minta maaf karena belum sempat berkunjung ke rumah mama," sahut Ana."Bagaimana dengan kamu Arfan?" tanya Mama mertua."Kalau aku sih terserah mama aja mau nginep sampai kapan. Hanya saja k
Aku tak berani mengiyakan saran dari Bibik. Aku takut jika nanti malah akan memperkeruh suasana."Kalau gak yakin, jangan dilakukan!" kata bibik."Iya, Bik. Aku gak mau melakukan itu," ucapku.Setelah selesai makan malam aku ke kamar. Ku hubungi Mas Arfan dan Ana namun tak ada jawaban.Sedih tentu saja, apalagi dia membawa Kiara tanpa aku. Meskipun Ana menyayangi Kiara tapi aku tak rela mereka pergi tanpa aku."Jahat kamu, Mas," ucapku menangis.Malam ini terasa begitu lama. Bahkan aku tak sanggup untuk memejamkan mataku.Pagi telah tiba, aku segera bangun. Aku salat subuh seorang diri.Hingga aku sarapan, mereka belum pulang. Aku memutuskan segera berangkat kerja."Kenapa lagi? Sepertinya kamu ada masalah?" tanya Erina."Biasa, Mas Arfan ngajak Kiara dan Ana menginap tanpa mengajakku," jawabku."Fix suamimu udah gak bisa ditolerir," kata Erina. "Kamu harus protes," kata Erina."Tentu," kataku.Seharian aku tak konsentrasi bekerja. Aku memikirkan mereka, tentu aku marah sekaligus cemb
Kemesraan demi kemesraan mereka tunjukkan di depanku. Sekuat apapun hati ini bertahan pasti akan runtuh juga. Belum nanti jika Ana hamil, Mas Arfan pasti akan memprioritaskan Ana. Lalu bagaimana aku dan Kiara? Haruskah aku diam? Tidak aku manusia punya hati yang tak akan sanggup diam terus."Mama, Kiara sayang mama. Kalaupun papa udah gak sayang mama masih ada Kiara, Ma," kata Kiara."Anak pinter nih, anaknya mama pasti akan sayang mama dong," kataku."Kiara, udah malam. Kamu tidur sama mama Ana ya," kata Ana."Gak mau, Kiara mau sama mama Kinan aja," tolak Kiara."Ana, kalau dia gak mau gak apa-apa. Mendingan kita tidur saja. Lagian dia masih ada Kinan yang urus. Kalau Kinan kan gak bisa ngurus aku," kata Mas Arfan membuatku kesal."Iya, kamu urus aja Mas Arfan. Kan kamu istri kesayangan," sahutku.Mas Arfan menggandeng Ana, tapi Ana terlihat enggan untuk mengikuti Mas Arfan. Dia terus menatapku seakan merasa bersalah. Tapi aku malah memilih tak peduli."Kiara, kita tidur bersama," k
Sampai rumah aku ajak Kiara mandi setelah itu gantian aku. Aku merasa kesal dengan kelakuan Mas Arfan yang semakin hari makin keterlaluan. Ana juga gak bisa mengontrol Mas Arfan."Ana, kamu gak bantu bibik masak?" tanyaku."Kata Mas Arfan aku gak boleh ngapa-ngapain, Mbak," Jawab Ana."Wah enak ya jadi kamu di manja sama suami. Kamu kan istri Kesayangan Mas Arfan pantes nurut sama suami," sindirku."Gak gitu, Mbak," ucap Ana."Lalu apa, beda dong sama aku yang hanya istri gak dianggap. Kalaupun aku mau kerja keras kaya apapun gak akan dipeduliin," kataku."Mbak Kinan kok gitu," protes Ana."Kenapa? Gak suka? Emang kenyataannya kan," bantahku."Mas Arfan juga sayang Mbak Kinan kok," sanggah Ana."Mana ada orang sayang tapi dibedakan. Ana...Ana jadi wanita polos amat sih kamu," ucapku. "Pantas sih kalau Mas Arfan suka sama kamu biar mudah dikibulin," kataku lagi."Kinan, kamu bicara apa sih," tegur Mas Arfan yang baru muncul. "Mendingan kamu sana yang bantuin bibik masak," kata Mas Arfa
Paginya ku buka kembali ponselku. Banyak pesan masuk dari Ana dan Mas Arfan namun aku tak hiraukan itu. Aku memungkinkan Kiara, setelah mandi kami sarapan bersama do restauran hotel.Rencana hari ini aku akan mengajak Kiara ke tempat bermain. Aku ingin Kiara bahagia."Ma, aku senang bisa jalan-jalan sama mama," ucap Kiara."Mama lebih senang lagi," ucapku.Kami chek out dari hotel, setelah itu menuju tempat wahana bermain.Hari ini aku tak mau di ganggu siapapun termasuk Mas Arfan.Kiara senang, dia mulai bermain. Ku dampingi dia, tak ku hiraukan ponselku yang bergetar di dalam tas."Mama, ayo main sini!" ajak Kiara.Aku menemani Kiara main setengah hari, setelah itu kami jamaah di masjid terdekat."Om Putra," panggil Kiara saat kami ke luar dari masjid.Aku kesal bertemu dengan pria itu, namun Kiara justru bahagia sekali."Halo Kiara, sedang apa di sini?" tanya Putra."Ini ha
Ana dan Mas Arfan memojokkan aku, padahal aku sama sekali tidak selingkuh. Aku hanya bisa menangis saat Ana menasehatiku."Mbak Kinan tahu kan selingkuh itu dosanya besar. Kasihan Mas Arfan, Mbak," ucapkan Ana.Bahkan Ana mengeluarkan hadist-hadist tentang perzinaan untuk menasehati aku."Ana, percayalah padaku! Aku tidak pernah selingkuh. Kemarin aku bertemu Putra di resto. Kiara yang kenal Putra, Kiara juga yang menawarkan Putra untuk makan siang bersama," tuturku."Kenapa kamu tidak menolak, Mbak. Kan jadinya kaya gini salah faham," kata Ana."Bagaimana aku menolak, aku lihat Kiara bahagia sekali dekat dengan Putra. Bahkan lebih bahagia dari pada saat dengan Mas Arfan. Bagiku kebahagian Kiara nomor satu karena dia telah diabaikan Papanya sendiri," ucapku."Kinan, jangan ngarang cerita kamu! Udah ketahuan selingkuh masih saja mengelak," bantah Mas Arfan. "Mulai sekarang haram bagiku menyentuhmu, aku juga gak akan memberi kamu nafkah karena kamu telah berhianat," sambung Mas Arfan."
Putra segera di larikan ke rumah sakit. Aku ikut menemani Putra. Biar bagaimanapun aku bertanggung jawab atas kesalahan yang Mas Arfan lakukan."Kinan, ini sudah keterlaluan. Bapak akan laporkan masalah ini ke kantor polisi atas tuduhan pencemaran nama baik dan kekerasan," kata Pak Willi."Apa tidak bisa di selesaikan dengan kekeluargaan, Pak?" tanyaku."Aku gak bisa menolerir perbuatan Arfan. Dia sudah menuduh Putra selingkuh denganmu dan melakukan tindakan kekerasan," jawab Pak Willi.Aku tak bisa berbuat apa-apa, mungkin ini lebih baik agar Mas Arfan jera. Tapi kasihan dengan Kiara karena akan menjadi anak narapidana.***Esoknya Mas Arfan dibawa polisi, Ana menangis begitu juga Kiara. Aku sudah berbicara pada Pak Willi agar kasus ini di selesaikan dengan kekeluargaan tapi Pak Willi menolak."Mbak, katanya Mas Putra anak bos kamu. Tolong dong, Mbak negosiasi dengan Bapaknya," kata Ana."Sudah, Na. Tapi Pak Willi gak mau," kataku."Usaha lagi dong, Mbak," ucap Ana."Usaha bagaimana
Dokter tengah memeriksa Ana di dalam kamar di temani dengan Mas Arfan. Aku dan Kiara hanya menunggu di ruang keluarga.Hari ini aku terpaksa izin karena takut terjadi sesuatu terhadap Ana."Mama Ana kenapa, Ma?" tanya Kiara."Mama belum tahu, sayang," jawabku.Mas Arfan ke luar bersama Dokter, dia kelihatan bahagia sekali."Maaf, Dok. Ana sakit apa ya?" tanyaku."Oh Bu Ana tidak sakit, dia tengah hamil," jawab Dokter.Hamil, itu tandanya rencana Ana untuk meninggalkan Mas Arfan akan gagal. Mana mungkin Mas Arfan mau Ana pergi, apa lagi dia tengah mengandung."Pak Arfan, saya pamit ya. Biarkan Bu Ana istirahat, dia perlu banyak istirahat," kata Dokter.Mas Arfan mengantar Dokter ke depan. Aku dan Kiara masuk ke dalam kamar Ana."Ana, kamu hamil," kataku."Iya, Mbak. Maaf ya, Mbak. Aku gak bisa menepati janjiku. Mas Arfan gak akan mau meninggalkan aku kalau aku hamil," kata Ana."Tidak masalah, mungkin memang kita ditakdirkan untuk jadi madu selamanya," ucapku."Kinan, jangan harap aku