enjoy reading ...
"Apa para komplotan itu memiliki keluarga inti?" tanya Kak Alfonso sambil menatap kelima komplotan yang sudah diikat rapat. "Tidak, Bos. Mereka benar-benar manusia buangan dan keluarganya sudah tidak peduli." "Bawa mereka pergi dari Bali. Bila perlu bawa ke daerah yang terpencil di bagian timur." Usai memberi perintah demikian pada tim yang melumpuhkan komplotan itu, Kak Alfonso berlalu ke dalam mobil dengan aku mengikutinya dari belakang. Lalu aku membuka pintu bagian belakang dan duduk di sebelahnya. Sopir melajukan mobil ini menuju rumah sakit tempat Risty dirawat. Aku sudah tidak sabar ingin melihat perkembangannya usai mendaat pertolongan pertama. "Makasih, Kak Al. Udah nyewa tim terbaik untuk nemuin Risty," ucapku tulus. "Dia itu sepupu gue yang paling kasihan, Do. Sejak Papanya meninggal, Risty benar-benar berusaha mandiri. Dia mau nunjukin ke keluarga besar kami, terutama nenek dan nyokapnya," ucap Kak Alfonso sambil menatap keluar jendela mobil. Lelaki berperawakan p
"Gue tinggal bentar ya, Do. Tolong jagain Risty," ucap Kak Alfonso. Kepalaku mengangguk lalu memilih duduk di kursi yang ada di samping kiri ranjang pesakitan Risty. Kutatap wajah lelapnya yang tirus dengan sedikit luka memar yang membekas dan selang oksigen yang masih terpasang di kedua lubang hidungnya. Rambut indahnya yang dulu sering bergoyang kesana kemari saat ia sedang berjalan atau diterpa angin, kini berubah pendek sekali. Hanya sampai di bawah daun telinganya saja. Tubuhnya terlihat lebih kurus dan pergelangan kakinya membekas luka yang hanya melihatnya saja membuat mataku sakit. Belum lagi lengan tangannya terdapat bekas luka disulut rokok panas hingga melepuh. Malangnya Risty. Lalu tanganku bergerak membetulkan selimut nyaman berwarna ungu itu hingga sebatas lehernya kemudian duduk di sebelahnya kembali. Kuberanikan diri mengambil tangan kirinya yang tidak terpasang jarum infus lalu kukecup lama dengan penuh perasaan. Ya, perasaan rindu, cinta, dan banyak lagi. Intin
Sudah dua hari Mas Kian di Bali untuk menemaniku dan Kak Alfonso menjaga Risty. Untuk kuliah kami, Kak Alfonso sudah memerintahkan tangan kanannya agar aku dan Risty tetap lulus semester ini meski tidak hadir dalam perkuliahan. Apalagi jika bukan uang yang berkuasa. "Do, jaga diri baik-baik. Mas balik dulu," pamit Mas Kian. "Ya, Mas. Aku pasti akan jaga diri." "Hubungi Mas kalau ada apa-apa." Lalu Mas Kian menghampiri Risty yang sudah diperbolehkan dokter untuk belajar duduk dan berjalan di dalam kamar rawatnya. Meski tubuhnya masih belum sepenuhnya sehat. "Makasih udah jenguk dan jagain aku, Mas," ucap Risty. "Cepat sembuh." Dan siang itu, Mas Kian benar-benar meninggalkan rumah sakit tempat Risty dirawat. Sedang Kak Alfonso sudah berpamitan lebih dulu pada Risty karena dia tidak bisa meninggalkan posisinya sebagai wakil CEO. Akhirnya, hanya kami berdua di ruang rawat inap ini. Sesuai janjiku pada Kak Alfonso dan diri sendiri, bahwa aku akan ada untuk Risty. "Gue bosen c
"Mama bawain makanan kesukaanmu, Ris." "Aku nggak punya makanan favorit. Jadi nggak usah repot-repot bawain." Akibat ucapan Risty itu, mamanya berubah ekspresi. Beliau menghela nafas pendek dengan wajah sendu. "Oh ya, hari ini sampai kamu pulang dari rumah sakit, nanti biar Mama yang jagain. Biar Rado pulang." Mendengar ucapan itu, Risty meliriknya tajam. "Mending Rado yang jagain aku dari pada anda yang nemenin. Bukannya aku makin sehat, yang ada aku makin sa-kit!" Kemudian Risty terbatuk-batuk dan membetulkan sendiri selang oksigen di hidungnya. "Mama mau nemenin kamu, Ris. Ayo kita berbaikan dan membangun keluarga yang bahagia." Mata Risty kembali menatap nyalang wanita yang melahirkannya ke dunia. "Keluargaku udah mati! Anda yang bikin Papa meninggal! Untuk apa sekarang anda bilang mau bikin keluarga bahagia! Apa anda lupa kalau Papa nggak mungkin bisa hidup lagi, heh?!" "Mending anda pergi! Pergi!" "Urus aja suami baru anda itu dan anak kesayangan anda dari hasil pers
“Lo tadi habis nelfon siapa, Ris?” tanyaku ketika baru masuk kamar rawat Risty. Bukannya menjawab, Risty justru langsung meletakkan ponselku di atas nakas lalu merebahkan tubuh dengan posisi miring kemudian memejamkan mata. Melihat selang infusnya tertekuk, aku melangkah mendekat untuk membetulkan posisinya. Namun Risty segera menepis tanganku dengan memberi lirikan tajam. “Gue bisa sendiri!” gumamnya tegas. Sesakit ini ketika kehadiranku masih tidak dianggap oleh Risty. Sesakit ini ketika perjuanganku untuknya berakhir diacuhkan. Ya Tuhan, kenapa Engkau mengizinkan hatiku mencintai perempuan yang tidak mungkin bisa kudapatkan? *** Seharian ini Risty menunjukkan aura dingin padaku dan Mamanya. Alasannya sederhana, dia marah karena kami bersekongkol menyembunyikan siapa dalang dibalik penculikannya. Aku hanya terlalu sayang dengan kesehatannya jika mengatakan siapa dalangnya saat ia masih dalam tahap pemulihan. Sedang Mamanya terlalu sayang jika suami keduanya itu harus dimusuhi
"Halo, Do?" "Halo, Mas." Aku sedang menghubungi Mas Kian dengan duduk santai di taman rumah sakit sambil melapangkan hati. "Gimana kabar Risty?" tanyanya melalui sambungan telfon. "Baik, Mas." "Kamu kenapa? Kok jawabnya singkat-singkat?" Mas Kian sangat hafal dan tahu sekali tentang diri ini jika sedang tidak baik-baik saja. Maklum, sejak masih kecil, dia selalu bersamaku hingga diri ini beranjak dewasa. "Aku ... " Mengakui masalah asmaraku pada Mas Kian rasanya begitu sulit karena terlalu malu. Aku terbiasa mengatakan semua masalahku padanya tapi tidak dengan masalah hatiku. “Rado, kalau kamu ada masalah, mending bilang Mas. Itu lebih baik dari pada kamu pendam sendiri. Mas nggak mau kamu salah langkah lagi kayak dulu.” Ya, salah langkah mencintai istrinya dan berujung kami menjadi tidak akur. Namun aku masih beruntung karena Mas Kian masih mau memberikan maafnya untuk kesalahan fatalku itu. Setelah menghela nafas panjang dengan sarat akan maksud, aku berpikir jika tida
Ini kali pertama aku duduk berdua dengan Richard demi membahas seorang Risty. Ya, gadis itu sama-sama kami cintai tapi Richard dan Risty tidak tahu jika aku memendam rasa cinta ini seorang diri. Ah ... biarlah. "Risty udah cerita semuanya, Do," ucap Richard lebih dulu setelah kopi pesanan kami tersaji. Sengaja kami berbicara di salah satu kafe yang ada di kantin rumah sakit ini. Karena tadi yang memergokiku masuk ke dalam kamar rawat Risty adalah Richard. Sedang Risty tetap terlelap karena satu jam sebelumnya, baru saja mendapat suntikan obat. Kepalaku mendongak perlahan dengan memasang mata dan alis serius. "Cerita apaan?" "Cerita tentang hubungan dia dan lo. Awalnya gue pikir lo sama dia emang bener pernah pacaran, tapi ternyata gue salah. Andai Risty nggak bilang sendiri kalau lo adalah bodyguardnya, mungkin selamanya gue bakal nganggap lo sebagai rival gue." Tanpa Richard sadari, sebenarnya dia adalah rivalku. "Risty juga udah bilang segalanya kenapa sampai ngakuin lo s
Sepanjang perjalanan udara kembali ke Jakarta, Risty terlihat duduk berdua bersama Richard. Sedang aku lebih banyak bersama Kak Alfonso dan Mamanya Risty. Rupanya Risty sedang membuat perang dingin karena kami sepakat tidak akan memberi tahu dulu siapa dalang dibalik penculikannya. Tak apa, jika nanti Risty mengerti mengapa aku sengaja mengulur waktu demi kesehatannya, dia pasti akan berterima kasih. “Rado, lebih baik kamu aja yang bilang semuanya ke Risty.” Kepalaku menoleh ke samping kiri tempat beliau duduk. “Apa Nyonya tidak mencoba mengatakannya lebih dulu?” Kepalanya menggeleng, “Hanya akan ada pertengkaran saja. Setelah ini, aku akan menebus itu semua perlahan-lahan dengan memberi Risty perhatian penuh.” Hubungan Risty dan Mamanya rupanya tidak kunjung membaik dan lagi-lagi aku yang harus menjadi perantara. Padahal Risty juga sedang marah padaku. Setibanya di bandara, Risty lebih memilih acuh padaku. Dan sebagai bodyguardnya, dengan sigap kubawa tas berisi pakaiannya. Sed