Share

5. Cemburu

"Wah, Zahira panggil Bu Guru, Mama? Emang, Bu Guru itu mamamu apa?" celetuk teman yang duduk di bangku sebelah Zahira.

Namun, anak itu tak menunjukkan rasa terganggu. Dengan bangga, ia justru berkata, "Iya. Bu Guru ini calon mamaku."

Adila yang awalnya terkejut, seketika tertawa mendengar perkataan Zahira pada temannya.

Baginya, ucapan anak itu terdengar seperti candaan.

Lagi pula, gadis itu sudah memiliki tunangan sejak satu tahun lalu. Selain kepulangannya ke Indonesia untuk meneruskan yayasan ayahnya, Adila juga berencana menikah dalam waktu dekat. Terlebih, keluarga besar sudah menginginkan mereka untuk mempercepat acara pernikahan karena mereka khawatir jika jarak pertunangan dengan pernikahan terlalu lama–dapat menyebabkan keretakan hubungan. Bahkan, bisa gagal menuju pelaminan.

***

Waktu berlalu cepat.

Suasana pulang sekolah begitu ramai.

Para murid berhamburan keluar dari ruang kelas masing-masing dengan rapi, sedangkan orang tua mereka juga sudah banyak yang datang–menunggu anaknya di luar kelas. Tidak terkecuali Bagas.

Melihat ada Adila yang tengah berjalan melintasi depan kelas Zahira, Bagas menghentikannya.

Ia memanggil Adila ingin mengucapkan terima kasih.

Beberapa pasang mata ibu-ibu memandang ke arahnya.

Arah Bagas tepatnya, karena Bagas merupakan duda keren inceran ibu-ibu untuk cuci mata setiap ke sekolah.

"Wah, Pak Bagas. Lagi deketin Bu Guru ya?"

Terkejut dengan pertanyaan salah satu ibu murid teman Zahira, ia langsung menampik.

"Bukan begitu, Bu. Tadi saya sempat merepotkan Bu Guru. Jadi, saya mau mengucapkan terima kasih."

"Ah kalau saya mah, juga mau banget kok direpotin Pak Bagas," tambah yang lain.

"Ingat, Ibu sudah punya suami dirumah." Para ibu lainnya hampir serempak menjawab seraya tertawa.

Hal itu membuat Adila terkekeh, tidak disangka ternyata di sekolah ada pemandangan yang menghibur.

Zahira yang keluar kelas langsung menuju ayahnya. “Papa!”

Bagas pun tersenyum. Terlebih, ketika anak itu menceritakan betapa bahagianya dirinya saat makan siang tadi yang ditemani oleh Adila.

Baru kali ini, Bagas melihat anaknya sangat semangat menceritakan tentang seorang wanita padanya.

Sekali lagi, Bagas mengucapkan terima kasih pada Adila, yang terus-menerus direpotkan oleh dirinya.

Keduanya hendak berpamitan, Adila menawarkan untuk mengantar mereka hingga sampai tempat parkir.

Sebenarnya Adila tengah berupaya menggali informasi dan memastikan, bahwa Bagas dapat menjamin keselamatan Zahira dari kekerasan apapun bentuknya kedepannya.

"Terima kasih, Bu. Atas perhatiannya. Tapi saya benar-benar bisa jamin, Zahira aman sekarang. Saya juga sudah benar-benar memutuskan hubungan dengan teman wanita saya," ucap Bagas cepat.

Adila mengangguk paham.

Tampaknya, Bagas benar-benar serius dengan perkataannya. Hal itu membuat Adila lebih tenang.

Mereka telah sampai halaman parkir.

Adila mengucapkan selamat jalan pada Zahira dengan kata-kata lembut dan senyuman yang hangat.

Bagas yang melihat sikap Adila seketika terhipnotis, Adila tiba-tiba terlihat sangat cantik di matanya. Senyumnya juga manis dan cantik.

"Hati-hati di jalan ya, Pak Bagas."

Kalimat itu menyadarkannya seketika.

"I–iya Bu. Terima kasih."

Bagas meminta Zahira naik lebih dulu di kursi mobil tengah, dan memakaikan seatbelt untuk Zahira. Setelah selesai, Bagas masuk dan duduk di kursi kemudi. Ia menekan tombol klakson berpamitan.

Adila melambaikan tangan saat mobil mereka mulai melaju. Namun tiba-tiba Adila dikejutkan dengan kedatangan Nico yang memeluknya dari belakang.

Bagas melihat itu dari kaca spion mobilnya.

Entah mengapa, seperti muncul rasa kesal di hatinya, saat melihat pria lain dekat dengan Adila. “Siapa dia?”

***

"Selamat sore, Bu Guru sayang."

Suara seorang pria yang memeluknya dari belakang mengejutkan Adila.

Wanita itu membalikkan badan, menatap tunangannya itu dengan binar mata bahagia penuh cinta dan rindu.

“Nico!”

Pria itu tersenyum.

Sejak kepulangannya lima hari lalu dari Jepang, baru kali ini keduanya bisa bertemu.

Adila segera menguraikan pelukan Nico, karena masih di lingkungan sekolah. Rasanya tidak pantas. Apalagi jika ada yang melihat, bisa jadi contoh yang tidak baik untuk para murid.

"Sayang. Kamu kok udah disini aja, nggak ngabarin aku kalau mau jemput?"

Nico masih tersenyum. “Sengaja. Aku ingin memberi kejutan. Apa kamu sudah makan?”

Adila menggeleng.

“Baiklah, kalau begitu, ayo kita segera makan bersama!” ucap Nico cepat.

Kini, Adila pun ikut tersenyum. Ia merasa bahwa Nico sungguh pengertian. Adila memang sedang berusaha keras untuk menjalankan tugas dari ayahnya. Sekadar menonton dan makan di mall, jelas akan membantunya mengusir kejenuhan dengan pekerjaan.

"Tunggu ya, aku ambil tasku dulu."

"Aku tunggu kamu di mobil ya," ucap Nico.

Adila mengangguk. Ia segera kembali ke kantornya untuk mengambil barang-barangnya.

Kecintaan mereka terhadap makanan Jepang, membuat mereka hampir selalu makan di restoran Jepang saat mereka berkencan.

Kali ini mereka memesan beberapa menu sushi. Keduanya sangat menikmati makan sore di kencan pertama mereka setelah setahun tidak bertemu.

"Gimana di kantor?"

"Gimana apanya?" Adila menjawab dengan mulut penuh sushi sehingga pipinya menggembung seperti Nyonya Puff di serial anak 'Spongebob'.

Seketika, ia menyadari maksud pertanyaan Nico. "Oh, di sekolah? Seru, lumayan seru. Papa minta aku buat bikin beberapa kebijakan buat aku ajukan ke Papa nanti," lanjut wanita itu.

Setelah puas menikmati hidangan sushi, keduanya melanjutkan rencana kencannya. Mereka memutuskan untuk menonton film 'Avatar' kesukaan mereka berdua.

Kencan yang benar-benar menyenangkan.

Bagaimana tidak, selain mereka disibukkan dengan pekerjaan dan aktivitas masing-masing. Mereka juga berada di negara yang berbeda.

Adila merasa beruntung. Setidaknya, tunangannya itu setia. “Oh, iya mengenai pernikahan, apakah kamu sudah memikirkannya, Nic?”

“Pernikahan?” Wajah pria itu tampak terkejut. Namun, tak lama ia tersenyum. “Tentu saja.”

Sayangnya, Adila tak menyadari ada sesuatu yang aneh dari tunangannya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status