Share

4. Mama

Adila berusaha tenang. Dibalasnya pelukan Zahira lembut.

“Maaf,” ucap Bagas seketika. Tampak ekspresi tak nyaman di wajah pria itu.

Hanya saja, Zahira kembali berbicara, "Tapi, Pa. Mulai sekarang, aku mau panggil Bu Guru, Mama."

"Zahira jangan begitu," ucap Bagas cepat.

Pria itu bahkan segera melepaskan tangan Zahira yang memeluk Adila.

“Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih. Kami harus segera pulang,” pamit Bagas cepat.

Adila pun mengangguk.

Melihat itu, Bagas segera menggendong putri kecilnya ke mobil lalu menuju ke rumah mereka.

Cukup lama, Zahira berceloteh tentang Adila sebelum akhirnya anak itu tertidur.

“Hah,” hela nafas Bagas setelahnya.

Dipandanginya wajah sang putri yang masih sangat polos dan menggemaskan itu.

Sejujurnya, Ia tak menyangka.

Niatnya memberikan kebahagiaan pada Zahira selama ini, justru melukainya. Entah apa jadinya, jika Bu Guru Adila tidak mengungkapkannya.

Mungkin, ia akan menjadi sosok ayah yang jahat selama hidup Zahira tanpa ia ketahui.

Tiba-tiba ia teringat sosok Adila, sifat lemah lembut dan parasnya yang cantik sangat mirip dengan mendiang istrinya. Rasa rindu tiba-tiba mendera hatinya, sekaligus rasa bersalah pada mendiang istrinya.

"Sayang, kamu pasti melihat kita dari Surga. Maafin aku ya, aku nggak bisa jagain anak kita. Aku janji, akan lebih berhati-hati lagi," lirih Bagas dalam hati.

Pria itu kembali fokus ke jalanan menuju rumah.

Digendongnya Zahira yang masih terlelap keluar dari mobil.

Namun, betapa terkejutnya Bagas saat melihat Naila berada di terasnya, duduk menunggunya pulang.

"Kamu ngapain di sini?"

Naila segera berdiri menyambut. Dengan wajah lembut, wanita itu berkata,"Sayang, tolong dengarkan penjelasan aku dulu."

"Awas, minggir!" hardik Bagas cepat.

Pria itu segera memasuki rumahnya dan menuju kamar Zahira untuk membaringkan putrinya.

Hanya saja, Naila terus mengekor di belakang Bagas–merengek meminta waktu untuk menjelaskan kesalahpahaman versi dirinya.

“Mas Bagas, tolong dengar penjelasanku,” pinta wanita itu lagi. Naila rela datang ke rumah ini malam-malam untuk memberi penjelasan tanpa gangguan siapapun. Jadi, ia tak akan pulang sebelum misinya terlaksana.

Di sisi lain, Bagas menghela napas malas mendengar rengekan wanita itu. Jadi, begitu keluar kamar, ayah dari Zahira itu pun memberikan waktu untuk Naila menjelaskan di teras–bukan di dalam rumah!

Karena baginya, wanita di depannya ini sekarang hanyalah orang lain.

"Aku cuma punya waktu lima menit,” ucap pria itu dingin, “jelaskan.”

"Sayang, aku minta maaf. Aku nggak sengaja melakukan itu. Aku juga bersikap kayak gitu kok sama keponakan aku kalau dia lagi susah dibilangin. Aku khilaf sayang," ucap Naila merengek menarik-narik lengan Bagas yang sedang disedekapkan.

Namun, Bagas tidak menatap Naila.

Ia justru melihat langit malam–mencoba bersabar dengan kata-kata manja nan sok polos dari Naila. Kini dia tersadar, ternyata Naila sangat manipulatif.

“Sudah?” tegas Bagas, "sekali lagi, aku tegaskan sama kamu. Hubungan kita sudah selesai. Jangan pernah kamu menginjakkan kaki ke rumahku lagi, dan jangan pernah menghubungiku lagi. Sekarang kamu pulang, aku lagi capek pengen istirahat."

“Mas!”

Mata Bagas menajam sebelum kembali masuk ke dalam rumah menutup pintu dengan kasar, hingga membuat Naila terkejut.

"Sayang! Buka pintunya sayang. Jangan kayak gini dong." Naila berusaha mengejar Bagas dan menggedor-gedor pintu rumahnya. Ia benar-benar tak menyangka Bagas yang selama ini dikenalnya sebagai pria lembut, bisa semarah itu.

Sadar usahanya tidak akan membuahkan hasil, Naila pergi meninggalkan rumah itu.

Ia menyimpan segudang rencana untuk meminta Bagas kembali padanya.

Senyum sinis perlahan muncul di wajah Naila. “Mas, kamu tidak bisa membuangku begitu saja. Lihat saja nanti!”

***

Pagi ini, Bagas mengantar sendiri Zahira berangkat ke sekolah.

Para guru sudah berada di depan kelas menyambut para muridnya.

Bagas melambaikan tangan pada Zahira memberikan semangat.

Selepas Zahira memasuki ruang kelas, Bagas akan langsung pergi ke kantor.

Hari ini dia ada janji meeting. Ia bergegas memacu mobilnya. Jalanan pagi ini belum terlalu macet, Bagas mengaca di kaca mobil depan untuk merapikan rambutnya.

Tanpa sengaja, pandangannya menangkap kotak bekal makan siang Zahira tertinggal di kursi belakang.

“Astaga,” gumamnya. Segera, pria itu putar balik dan melaju kencang mengejar waktu. Anak sekolah memang dianjurkan tidak diberi uang saku, dan harus membawa bekal sendiri dari rumah. Itu adalah salah satu kebijakan yang dilakukan oleh pihak yayasan.

"Pak Bagas, kenapa kok lari-lari?" sapa Adila yang kebetulan melihat Bagas.

Pria itu pun berhenti. "Bu Adila, selamat pagi. Ini Bu, bekal Zahira ketinggalan."

Melihat Bagas yang seperti sedang terburu-buru, Adila menawarkan bantuan untuk memberikannya pada Zahira.

"Boleh titip saya Pak, nanti biar saya bantu kasih ke Zahiranya."

Bagas tanpa sadar tersenyum. “Terima kasih, Bu Adila. Saya merepotkan Anda kembali.”

Deg!

Tanpa disadari, jantung Adila berdebar kencang.

Diperhatikannya Bagas yang segera berpamitan dan memacu mobilnya kembali.

Adila yang melihat betapa kerepotannya seorang duda mengurus satu anak, tersenyum terkesan oleh perjuangannya yang menggantikan tugas seorang istri.

“Zahira pasti bangga punya ayah seperti Anda,” gumamnya pada diri sendiri.

Mengingat waktu pembelajaran telah dimulai, Adila memutuskan untuk menunda mengantarkan bekal Zahira.

Waktu berjalan cepat.

Istirahat akhirnya tiba dan Adila masuk ke ruang kelas anak itu.

Melihat kedatangannya, Zahira langsung berlari ke arahnya. Matanya tampak berbinar.

Setelah melepaskan pelukannya, Adila memberikan bekal titipan ayahnya.”Ini bekal Zahira. Tadi ayahmu titipkan.”

Anak itu mengangguk. “Tapi, Zahira tidak mau makan siang sendiri,” lirihnya sedih, “bolehkah kita makan bersama?”

Mendengar permintaannya, Adila hanya tersenyum, “Baiklah. Ayo!”

Wanita itu pun menemani gadis kecil itu makan siang, hingga selesai.

"Zahira, Bu Guru 'kan udah nemenin Zahira makan siang. Sekarang, Bu Guru mau makan siang dulu boleh ya?"

Gadis cantik itu menoleh cepat dan mengangguk. "Iya, Mama."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status