Share

3. Kebenaran

Melihat situasi itu, Adila menghela napas panjang.

“Maaf, Pak Bagas. Mungkin, kita bisa duduk dan berbicara masalah Zahira terlebih dahulu,” ucapnya tenang.

Adila juga meminta Bik Muti, asisten rumah tangganya untuk membawakan minuman.

Setelah keadaan mulai tenang, wanita itu kembali berbicara. "Begini, Pak. Mohon maaf sebelumnya, saya terpaksa membawa pulang Zahira karena dia tidak mau pulang ke rumah,” jelasnya, “sebelumnya, saya ingin bertanya pada Pak Bagas, apakah selama ini Zahira berperilaku nakal di rumah?"

Pria berparas tampan itu mengerutkan kening. "Tidak. Anak saya baik dan penurut. Apakah Zahira berperilaku nakal di sekolah?"

"Tidak,” ucap Adila cepat, “tapi, saya menemukan lebam biru pada tubuh Zahira, seperti bekas cubitan atau pukulan orang dewasa. Apa Bapak yang melakukannya?"

“Maksudmu?”

Bagas tampak terkejut mendengar perkataan Adila. Dia sama sekali tidak pernah mencubit atau melakukan kekerasan lainnya pada anaknya.

Sementara itu, Naila mulai kepanasan karena takut rahasianya selama ini terbongkar.

"Ah itu mah biasa, mungkin berantem sama temennya. Bukannya gitu, Zahira?" potong Naila sembari menatap tajam Zahira–seolah mengancam untuk tidak buka suara.

Gadis kecil itu sontak beringsut takut dan memeluk Adila sekencang mungkin.

Menyadari itu, Adila angkat suara, "Zahira sudah menceritakan semuanya kepada saya."

"Cepat jelaskan!” Bagas tampak bingung. “Ada apa ini sebenarnya?"

“Selama ini, wanita yang berada di sampingnya Bapak sering melakukan kekerasan verbal dan non verbal pada Zahira. Ia juga mengancam agar Zahira tidak pernah menceritakannya.”

“Puncaknya saat Zahira dititipkan di rumah wanita ini. Ia dipukul dan juga disuruh merapikan rumah. Karena tubuh Zahira tidak kuat, akhirnya ia tumbang di sekolah,” jelas Adila tenang, “tapi, wanita di samping Anda memaksanya untuk pulang secara kasar."

Tangan Bagas mengepal keras. Ditatapnya, Naila tak percaya.

“Sa–sayang, dia bohong. Kamu percaya sama aku, kan?” ucap wanita itu gelagapan lalu menatap tajam Adila. “Kamu jangan memfitnah saya, ya! Saya bisa laporkan–”

"Laporkan saja. Saya tidak takut,” balas Adila cepat, “sebenarnya, saya sendiri bisa melaporkan hal ini pada polisi dan melakukan visum. Tapi, mengingat ini urusan keluarga kalian, saya tidak mau terlibat terlalu jauh. Namun saya tegaskan, jika saya masih menemukan bekas luka itu pada tubuh Zahira, sebagai pemimpin lembaga pendidikan sekolah, saya tidak akan diam dan mengambil itu sebagai tanggung jawab saya!"

Rahang Bagas mengeras.

Ditatapnya lebam biru di sekujur tubuh anaknya.

Bagaimana bisa selama ini dia membiarkan putrinya tersiksa? Almarhumah istrinya pasti akan membenci Bagas.

"Naila, jelaskan!" bentak Bagas.

Wanita itu menggeleng. Namun, wajahnya tidak bisa berbohong.

"NAILA. Aku minta kamu jawab pertanyaanku! Apa itu perbuatan kamu?"

"I–iya, tapi itu nggak sengaja sayang. Aku kemarin pas lagi mens perut aku sakit banget nggak bisa ngapa-ngapain. Terus aku–"

"Cukup, Naila. Mulai sekarang hubungan kita selesai," potong Bagas.

“Mas!”

Pria itu menatap Naila semakin tajam.

Ia pikir wanita itu bisa menyayangi putrinya, seperti yang dia lakukan pada Bagas. Sayangnya, tidak.

Padahal, Bagas tidak hanya mencari istri untuk dirinya, namun yang paling penting ia ingin mencari ibu untuk anaknya. Apalagi kesibukan bagas sangatlah padat, ia tidak bisa lagi mengurusi Zahira.

Meskipun ada asisten rumah tangga yang bisa membantunya, tetapi seorang anak sangat membutuhkan pendidikan dini dari sekolah pertamanya di rumah, yaitu Ibu.

“Baiklah. Aku biarkan Mas berpikir terlebih dahulu,” ucap Naila kembali berpura-pura tersakiti. Wanita kejam itu lantas keluar dari rumah itu dengan hati yang menyimpan dendam.

Sebenarnya, ia tidak rela hubungannya hancur karena ulah Zahira. Namun, jika tidak menuruti Bagas untuk pergi, dirinya akan lebih sulit lagi mendekatinya. Bagas pasti akan menganggap dirinya sebagai calon istri pembangkang.

Sementara itu, Bagas perlahan mendekati putrinya kembali. Ia menatap Zahira dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah. Lalu, meraih anak itu dalam pelukannya.

"Maafin Papa, Nak. Andai Papa tahu dari dulu, Papa nggak akan titipin kamu sama tante Naila."

Anak kecil itu menangis. "Iya Papa. Zahira udah senang Papa pulang,” ucapnya, “tapi, Zahira nggak mau sama tante Naila lagi ya, Pa."

"Iya sayang," balas Bagas cepat. Keduanya berpelukan untuk beberapa saat.

Hanya saja, duda anak satu itu tiba-tiba menyadari keberadaan Adila yang masih berada di dekat keduanya.

“Ekhem,” deham pria itu menormalkan suara, “terima kasih.”

Bagas sungguh berterima kasih pada Adila. Berkat perempuan itu, dia bisa menemukan fakta tersembunyi itu sebelum menikahi Naila.

“Sama-sama, Pak,” ucap Adila santai.

Terjadi keheningan beberapa saat sebelum Bagas tersadar bahwa ia belum memperkenalkan diri secara resmi. Selain itu, Bagas juga merasa baru kali ini dia melihat Bu Adila yang dimaksud Bu Siska. Padahal, pria itu selalu aktif di kegiatan sekolah anaknya yang melibatkan orang tua.

“Maaf, perkenalkan saya Bagas, ayah Zahira,” ucap pria itu menjulurkan tangan, “Anda Bu Adila?”

“Benar, Pak. Maaf, saya juga belum mengenalkan diri,” balas Adila menyambut tangan Bagas, “saya Adila. Kebetulan, saya memang baru datang dari Jepang. Hari ini adalah pertama kalinya saya ke sekolah."

Bagas mengangguk."Begitu rupanya. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih ya, Bu. Saya juga mohon pamit, bersama Zahira."

“Baik, Pak. Tapi, saya akan ambilkan tas dan baju seragam Zahira di kamar saya.”

Perempuan itu bergegas naik ke lantai dua untuk mengambilnya.

"Papa, Zahira suka sama Bu Adila," ucap Zahira mendadak.

Bagas hanya menanggapi perkataan putri kecilnya dengan senyum.

Ia berpikir, suka yang Zahira maksud hanyalah menyukai atau mengidolakan seorang gurunya. Ia tak menyadari maksud Zahira adalah, ia ingin Adila menjadi mamanya.

Tak lama, Adila kembali turun membawakan tas dan juga seragam milik Zahira.

Ia juga membawa sebuah boneka kuda poni pink kesukaan Zahira, yang sempat mereka beli sepulang sekolah tadi.

Semua perlengkapan Zahira sudah diberikan pada Bagas. Untuk boneka kuda poninya diberikan pada Zahira, seraya memberikan beberapa pesan untuk anak manis itu.

"Zahira yang pinter ya, tetap jadi anak baik dan suka menolong."

Zahira mengangguk dan memeluk boneka kuda poninya.

Bagas berpamitan pada Adila dan mengucapkan terimakasih sekali lagi.

Hanya saja, tiba-tiba Zahira lari datang kembali memeluk Adila. Bagas dan Adila terkejut serempak, terlebih mendengar ucapan anak itu selanjutnya.

"Mama."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status