"Kenapa Abang menatap Keke seperti itu?" tanya Keke yang merasa malu ditatap penuh makna dari Bujang."Seperti apa?" tantang Bujang meraih pinggang Keke, dalam sekejap Keke sudah pindah ke pelukannya. Keke terkikik kecil, sedangkan Nabil menatap mereka dengan mata lugunya."Malu dilihat anak, Bang." Keke mendorong pelan bahu Bujang saat pria itu mengendus lengannya."Memangnya kita sedang apa?" Bujang pura-pura bodoh."Nggak tau, ah." Keke menarik diri, meninggalkan Bujang yang tersenyum simpul. "Bang, besok Keke seharian di rumah ibu, boleh?"Keke ketar-ketir, sejujurnya dia ke rumah Ibunya untuk menyiapkan kejutan untuk Bujang, karena besok hari ulang tahun pria itu."Kau semakin sering meninggalkanku di rumah.""Jadi, nggak boleh?" sahut Keke menggigit bibirnya. Jika Bujang tak mengizinkan, maka persiapan akan batal begitu saja."Jangan terlalu lama di rumah Ibu, kalau aku rindu, bagaimana?" tanya Bujang sambil memakai kemejanya kembali, ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam
"Permisi!"Bujang mendengkus malas. Lihat siapa yang datang pagi ini, setelah selesai mengangkut barang pesanan pada pemesan, dia kedatangan tamu yang tak diundang pagi ini."Permisi!" kata wanita yang tak lain adalah Anne. Wanita yang bertekad akan melakukan apa saja demi bisa merebut tanah Bujang. Tak bisa dengan jalan kasar, dia akan gunakan cara yang halus. Sebenarnya dia tak suka dengan Bujang, apalagi dengan ekspresi pria yang dingin itu. Tapi ini semua demi ambisinya yang akan mendatangkan keuntungan yang amat besar."Ada apa ke sini? Jika Anda ingin membahas tanah itu lagi, lebih baik Anda kembali pulang, saya tak akan berubah pendirian." Bujang berbicara tanpa melihat Anne. Wanita itu merusak moodnya pagi ini."Oh, bukan, saya tidak akan membahas masalah itu sekarang. Tapi, saya ingin bersilaturrahmi ke sini, sebagai pendatang yang akan berinvestasi di sini, saya tentu harus mengenal masyarakat sekitar. Oh, ya, boleh saya bertemu dengan istri Anda?"Bujang diam saja, kebetula
Keke mendapati Bujang sangat pendiam hari ini. Bahkan dari pagi sampai malam ini, pria itu berbicara seperlunya saja. Setelah anak-anak mereka tidur, Keke menggunakan kesempatan itu untuk berbicara dengan Bujang."Abang kenapa hari ini?"Bujang yang sedang mengganti bajunya melihat sekilas pada Keke."Tidak ada apa-apa.""Tapi hari ini Abang lebih banyak diam.""Iya, karena lagi lelah. Lelah bicara.""Abang marah sama Keke?" tanya Keke tanpa menyerah. Diamnya Bujang membuat dia merasa tak enak hati."Tidak.""Terus?""Aku hanya tak suka dengan wanita yang datang tadi pagi.""Mbak Anne?""Entah siapa namanya.""Oh, dia datang dengan maksud baik, kok, Bang.""Kau tau dari mana dia punya maksud baik?" Bujang duduk di sebelah Keke. Menatap istrinya itu lurus. Keke gelagapan, jika sudah dengan nada begini, Keke harus menyiapkan mental untuk menjawab Bujang."Tak ada yang tau hati seseorang, Ke. Apalagi orang asing. Orang seperti dia tak perlu dekat denganmu, dalam hidupnya yang ada cuma bi
"Tak ada pilihan, Anne. Kamu harus memiliki anak, perusahaan dalam bahaya jika kau tak memiliki keturunan, karena kau anak tunggal!" tegas pria berambut mulai keabuan tapi masih tampak gagah di usianya yang tak lagi muda.Anne mendesah bosan dengan pembicaraan yang begitu-begitu saja. "Papa tau pasti, aku takkan mendapatkannya. Hendrik bukan pria yang sempurna. Aku lelah jika harus mengatakan ini terus menerus."Pria baya itu, menatap Anne dengan tatapan tegas."Yang mandul itu suamimu, bukan kamu. Bagiku, ini bukan perkara sulit. Kau tinggal bercerai dengannya dan menikah lagi, apa susahnya!""Papa!" seru Anne kaget. Selama ini memang papanya tak pernah menyukai Hendrik, mereka menikah dengan restu yang diberikan secara terpaksa oleh papanya, demi rasa cinta sang ayah pada Anne. Papanya menatap ke luar gedung, tatapan tajam seorang pengusaha yang tak pernah mau mundur dalam perkara keuntungan."Apa yang kau harapkan dari Hendrik? Pria tak punya apa-apa bahkan tak bisa memberi seora
"Abang masih marah?" tanya Keke. Anne telah pulang satu jam yang lalu saat mendapatkan telepon dari seseorang. Dia sengaja menarik Bujang ke dalam rumah agar percakapan ini tak disimak oleh Luqman. Berapa kali pun Keke berpikir, dia tetap merasa ada yang mengganjal di pikirannya. Selain perubahan sikap Bujang yang dingin, juga bayangan tatapan Anne tadi pagi yang terbayang terus di matanya."Aku rasa kau tak perlu tau aku marah atau tidak, karena tak ada pengaruh apa pun pada sikapmu, Ke. "Keke menunduk, merasa bersalah. "Maafkan Keke, tapi sungguh! Keke tak menyuruh dia kembali bertamu ke sini, dia yang datang sendiri."Bujang menoleh, menatap istrinya itu dengan tatapan yang serius. Untung saja anak mereka tengah tidur sehingga punya waktu yang aman untuk bicara."Dan kau tak berniat melarangnya, kan? Aku butuh ketegasanmu, Ke. Anne bukanlah orang yang baik, dia melakukan sesuatu bukan karena tulus ingin berteman denganmu, ada sesuatu yang direncanakannya untuk keuntungannya send
"Apa tak sebaiknya rambutku dipotong saja, Ke?" tanya Bujang sambil memperhatikan penampilannya di depan cermin."Jangan, Keke lagi senang dengan penampilan Abang yang begini." Keke mendekat, mematut Bujang dengan mata berbinar. Dia kagum, pria itu entah kenapa malah makin gagah setiap hari."Aneh, sejak melahirkan Nabil, seleramu menjadi berbeda. Biasanya kau paling anti rambut panjang."Keke tersenyum, memeluk Bujang dari belakang. Begitu hangat punggung itu, menjanjikan perlindungan dan masa depan. Bujang benar, mereka sudah sempurna selama ini, kehadiran orang baru seperti Anne hanya membuat mereka bertengkar."Oh,ya, Bang. Jika ada tawaran mengajar yang tidak harus masuk setiap hari, apakah Abang izin?" Keke menatap Bujang penuh harap. Sejujurnya Bu Leha, guru PNS yang berada di sekolah menengah pertama yang dekat dengan rumah ibu Keke, menawarkan untuk jadi tenaga honorer, yang hanya masuk di jam pelajaran saja. "Apa kau ingin bekerja, Ke?" tanya Bujang serius.Keke mengangguk,
"Apa tidak sebaiknya uang ini kita simpan ke bank? Atau kita belikan emas?" tanya Keke sambil mengusap tumpukan uang yang disusun sebanyak puluhan ikat di dalam peti kayu tua di kolong tempat tidur.Bujang menggeleng."Lebih aman di sini, lagi pula, rumah ini sejak dulu tak pernah kemalingan." Bujang menutup peti kayu tua itu dan mendorong kembali masuk ke dalam kolong tempat tidur.Kemudian dia menyerahkan beberapa ikat pada Keke. Satu ikat isinya sepuluh juta. Ada lima ikat yang diserahkannya."Apa ini? Bang?" tanya Keke. Belum habis keterkejutannya melihat penampakan peti tua yang berisi tumpukan uang, Bujang malah menyerahkan beberapa ikat padanya. Dia tau Bujang kaya, tapi tak menyangka Bujang memiliki uang yang sangat banyak di bawah kolong tempat tidur. Melihat itu semua, Keke sangat takjub. Untung saja Bujang adalah pria sederhana yang tak pernah berubah seperti orang kaya pada umumnya. "Kau suka tas yang dibelikan wanita itu, kan? Aku yakin harganya tak murah. Belilah!" Buja
Keke mengecek penampilannya sekali lagi. Memastikan dia masih cantik dengan baju batik yang dulu dipakai sewaktu Praktek Lapangan. "Agak sempit," keluhnya."Di bagian dada," tambah Bujang.Keke frustasi. "Lalu bagaimana, Bang?""Kau cuma tinggal mengulurkan jilbabmu agak dalam," sahut Bujang. Di sekolah yang akan diajar Keke, wajib bagi guru muslimah memakai jilbab, karena peraturan itu juga diterapkan pada seluruh murid."Kau terlihat sangat Soleha dengan berpakaian begitu." Bujang menambahkan. Memang, Keke belum tergerak hatinya untuk menutup aurat secara sempurna. Bukan berarti di suka berpakaian sempit, dia selalu sopan dalam berpakaian, tapi tanpa menggunakan hijab.Keke terlihat lebih manis dengan hijab bewarna krem itu."Jadi pakai ini saja?" tanya Keke menekankan."Iya, untuk sementara. Lagi pula, kau kan belum langsung masuk kelas, hanya menemui kepala sekolah, nanti kita beli baju dinas yang lebih nyaman."Keke mengangguk. Apa yang Bujang katakan benar. Dari pagi mereka bek