Hari ini aku dan teman-teman yang akan magang di luar kota mengurus perizinan di pesantren. Aku dan Sahla juga sedang dalam proses mencari kontrakan secara online. Seminggu lagi, aku akan magang dan itu berlangsung dua bulan. Sungguh waktu yang cukup lama untuk menghirup udara segar. Setelah semua proses administratif beres, aku mengurus hal lain yang berkaitan dengan akomodasi untuk magang nanti. "Sahla, Lu udah lihat profil pegawai-pegawai di sana belum?" tanyaku. "Udah, keren-keren. Hampir semua pegawainya masih muda," jawabnya. "Atasan kita Bu Delta, kan? Aku lihat rekam jejaknya hampir menyamai orang yang dua kali lipat umurnya," papar Sahla. "Bu Delta itu yang mana, ya?" Aku membuka website perusahaan tempatku magang nanti.Wuihhh, cantik banget. Orang kayak gini kenapa jadi manajer, sih? Kenapa nggak jadi model saja? Gila, cantik banget. Bikin insecure."By the way beliau lagi hamil lima bulan," Sahla tahu kalau aku sedang mengamati profil Bu Delta. Namanya juga cantik, Delt
Kehidupan baruku sangat menyenangkan di kontrakan tempatku magang. Hari pertamaku juga sangat mengesankan. Aku, Sahla, dan Hilal magang di satu manajemen. Manajerku adalah perempuan perfeksionis yang sangat supel. Ia akrab dengan staf-staf manapun di perusahaan ini.Pembimbing lapanganku bernama Bu Retno, aku ditugaskan di front office sebagai resepsionist. Bu Retno mengajariku bagaimana cara mengangkat dan berbicara di telepon, menyapa tamu serta menangkap apa maksud kedatangannya, dan masih banyak hal lain.Jika di pesantren kegiatanku setiap hari monoton kuliah, mengaji, dan mengerjakan tugas maka di sini masih ada sisa waktu untuk sekedar jalan-jalan sore atau malam. Jadi aku sangat bertekad mendatangi acara launching bukunya Mbak Fatma dua minggu lagi. Rencananya aku akan naik travel dari pusat kota setelah naik ojek online. Jadi, aku tidak perlu koar-koar mengajak Sahla yang IPK oriented.Sesuai rencanaku, aku pergi ke tempat di mana launching buku itu dilaksanakan, tiket masuk
Mas Alvian tahu alamat rumah dan data diriku yang lainnya karena aku pernah mengikuti program Paket C di lembaganya. Aku benar-benar geram, ini penyalahgunaan data. Diam-diam Ia menggunakan data diriku untuk kepentingannya.Aku tidak habis pikir ada orang yang melakukan hal seperti ini padaku, jiwaku seakan hilang. Aku merasa sebagian hidupku dirampas namun aku tidak tahu secara pasti apa itu. "Falen, kok akhir-akhir ini sering jadi pendiam?" Bu Retno membicarakanku. "Mm, eng, enggak Bu," jawabku. "Mungkin Lu mau tukeran tempat, Fan? Gue yang di front office, Lu yang di ruang manajer," ujar Sahla. Hampir tiap pagi hari sebelum jam kerja mulai, Sahla mampir ke front office karena Ia sudah terlanjur nyaman ngobrol dengan Bu Retno.Aku melihat Bu Retno menyetujui usul Sahla, "Nanti saya bilang Bu Siska."Bu Siska sekretarisnya Bu Delta. Saat Sahla sudah naik ke ruang manajer, Bu Retno berbisik padaku. "Padahal Ibu milih kamu buat ditempatkan di meja resepsionist karena wajahmu memang
Kuakui faktor pendukung utama aku bisa berkuliah adalah Mas Alvian. Ia membantuku mengikuti program paket C di tempat kerjanya. Mungkin jika aku tidak bertemu Mas Alvian dan menerima tawarannya untuk ikut program paket C, hari ini aku bukan sedang mengikuti magang di perusahaan ternama. Tapi jalan hidupku begitu menjebakku. Aku dilamar oleh orang yang tidak kuharapkan sama sekali.Tiba-tiba aku rindu masa remajaku, masa di mana aku memiliki banyak pilihan, masa di mana aku meng-eksplore diriku habis-habisan hingga aku bertemu dengan Mas Rizki. Aku tahu benar pernikahan Mas Rizki dan Mbak Fatma hanyalah pernikahan perjodohan yang hanya menguntungkan pihak perempuan.Awalnya aku iseng masuk ke kelab malam sendirian dan ada ibu-ibu bercerita tentang kebutuhan. Ia menilaiku bahwa diriku kurang berani dalam berdandan, lalu Ia berkata bahwa Ia maklum. "Dandan kan butuh uang," ujarnya kala itu. Ibu-ibu yang akhirnya jadi Mommy-ku itu supel sekali pas ngobrol. Aku ketagihan berkunjung ke kela
Beberapa hari ini aku merasa sering sakit perut, padahal aku makan dengan teratur dan tidak pernah berlagak diet. Lidahku juga terasa pahit untuk merasakan makanan apapun. Semangat hidupku turun drastis semenjak aku tahu kebusukan Mas Alvian yang dibalut dengan modus-modus rapih.Mungkin gurauan Hilal benar jika aku sedang mengalami stress, tapi aku menepis semua itu. Aku harus tetap waras, cantik-cantik kok stress. Sepertinya aku berlebihan sakit hati melihat Mas Rizki sekarang bahagia dengan Mbak Fatma. Dadaku selalu sesak jika teringat mereka.Aku pulang magang dengan gontai, Sahla mengajakku jalan-jalan ke alun-alun dan menikmati matahari terbenam tapi aku tidak tergugah. Aku menuju balkon setelah turun dari ojek online, motorku masih di pesantren dan terlalu jauh untuk dibawa ke tempat magang. Tiba-tiba perutku terasa mual dan kerongkonganku semakin terasa pahit."Fan, Lu kenapa, Fan?"Aku tidak memedulikan suara itu, tanganku memegang tiang balkon erat-erat agar tidak limbung. N
Saat aku datang ke kantor, Bu Siska sedang menata berkas-berkas di meja Bu Delta, aku menyapanya dan membantunya. "Eh, Falen. Kemarin gimana?" "Alkhamdulillah lancar, Bu," jawabku. Aku menyembunyikan jika Bu Delta mengeluhkan jadwalnya untuk satu pertemuan dengan yang namanya Hannan."Makasih, ya. Ibu kemarin habis ngurusin anak Ibu khitan. Mungkin nanti juga pulang lebih awal dari biasanya," ujar Bu Siska."Oh, Ibu punya anak laki-laki?" Tanyaku berbasa-basi. Padahal tidak penting urusan itu untukku."Iya, satu. Dia anak bungsu, saya senang akhirnya bisa punya anak laki-laki, jadi lengkap. Kakak-kakaknya semua perempuan, yang sulung seumuran kamu," ujar Bu Siska. Anak perempuannya yang seumuranku pasti tidak sebobrok diriku yang sampai dikeluarkan dari sekolah. Mengetahui jika Bu Siska memiliki anak seumuran denganku, aku sedikit khawatir jika akan dibanding-bandingkan dengannya. Hal yang paling kutakuti, dibanding-bandingkan. Apalagi jika aku sudah jelas-jelas tidak sepadan dengan
Aku menyelesaikan sisa magangku dengan cukup konsentrasi. Hari-hariku hanya magang, mengerjakan laporan, dan tidur. Tak ada lagi acara jalan-jalan untuk menunggu malam tiba. Tubuhku tak lagi kebal udara dingin. Aku beruntung karena Sahla tidak bertanya macam-macam kepadaku, kecuekannya sungguh menguntungkan.Hingga akhirnya magang berakhir dan menggoreskan rasa kangenku pada orang-orang di kantor, terutama Bu Delta, Bu Siska, dan Bu Retno. Aku masih penasaran dengan Bu Delta, Sang Perempuan misterius dengan wajah cantik jelita. Ia menyimpan banyak cerita hidupnya. Bisik-bisik dari Bu Retno, Ia adalah muallaf. Benarkah?Aku dan Sahla menaiki kereta yang sama dengan bangku berdekatan, sedangkan Hilal kembali ke kota tempat kami kuliah dengan sepeda motor. Hening menemani perjalanan kami, aku tidak menemukan topik yang pas untuk dibicarakan dengan Sahla sementara Ia memang tidak banyak berbicara.Monic yang lebih dulu tiba di pesantren, segera menjemputku dan Sahla. Seperti biasa Ia hebo
Aku bangun di kasur UKS (Usaha Kesehatan Santri) dengan seorang petugas piket kesehatan berada di samping dipan. Tidak ada siapa-siapa selain petugas ini, Monic dan Sahla juga tidak ada. "Dek, makan dulu, ya. Mbak cariin makan di kantin. Biasanya makan apa?" Ucapnya."Nggak usah repot-repot, Mbak," jawabku."Pesannya Mbak Sabila kalau kamu sadar harus makan soalnya udah pucat banget wajahmu," ujarnya. Jika sudah berurusan dengan Mbak Sabila mau tidak mau aku harus mau."Ya udah, Mbak. Nasi sayur aja yang nggak pedas. Makasih banyak, Mbak," ucapku kemudian.Aku membiasakan diri untuk makan makanan yang tidak pedas, rasanya memang hambar tapi jauh lebih baik untuk perutku. Setelah menghabiskan nasiku, Monic dan Sahla masuk dengan menggendong tas masing-masing. Mereka selesai mengikuti kelas mengaji. "Sorry, Fan. Gue bongkar tas, Lu. Itu obatnya," ucap Sahla. "Nggak apa-apa, makasih, La," jawabku. Monic melihatku prihatin. Ia mengambil gelas dan mengisinya dengan air dispenser di sud