Hari ini aku pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksa kondisiku, aku pergi sendiri karena tak mau merepotkan orang lain, lagi pula ini kepentingan pribadiku. Aku harus menyisihkan uang saku sebanyak-banyaknya untuk biaya rawat jalanku. Untung saja, perusahaan tempatku magang memberi kami gaji walaupun hanya setengahnya dari gaji karyawan terendah. Penyakitku semakin parah, kata dokter ini masa-masa bahaya. Aku ditanya-tanya apakah aku melakukan aktivitas yang berat dan terlalu berpikir keras. Kusangkal semua pertanyaan dokter, aku sedang tidak memikirkan apapun selain skripsi. Itu cukup meyakinkan dokter hingga aku tidak perlu membeberkan kegilaanku pada Mas Rizki dan rasa geramku pada Mas Alvian.Dalam perjalanan pulang dari Rumah Sakit, aku melihat parade yang sedang berlatih memainkan saksofon dan bermacam-macam terompet lainnya. Lalu, apa kabar diriku yang mengambil nafas saja sering tersengal-sengal? Aku menyesali hal ini. Sekarang, aku kesulitan bernafas. Bagi orang lain mungkin be
Hampir enam tahun aku meninggalkan kota kelahiranku untuk melewati pendidikan di pesantren dan berkuliah. Aku mendapatkan rekomendasi dari Bu Delta untuk mengawali karirku di kantornya. Aku tidak ingin menolaknya, tetapi kantor yang Ia tawarkan berada dua jam dari rumahku. Orangtuaku senang sekali mendengar keadaanku sangat baik. Bagaimana tidak, aku lulus kuliah dengan predikat Cumlaude dan tinggal menunggu wisuda. Aku berhasil bertahan hidup di pesantren selama hampir enam tahun. Orangtuaku melihatku sudah mengenakan jilbab dengan rapih. Hanya satu yang membuat mereka menangis, seseorang yang melamarku empat tahun lalu membatalkan lamarannya karena diriku tidak lekas membukakan pintu hati untuknya. Ibu menangis mendekapku. Baginya adalah sebuah aib jika perempuan dibuang begitu saja oleh lelaki. Apalagi setelah dilamar. Bagaikan makanan yang sudah dikunyah-kunyah lalu diludahkan begitu saja. Aku miris dengan pengibaratan seperti itu. karena aku adakah perempuan, bukan makanan atau
Aku tidak menyangka bahwa salah satu dari dua pilihan yang dulu diwasiatkan oleh almarhum suami Bu Delta adalah Mas Rizki. Sayangnya, Mas Rizki tidak berkenan karena lebih memilih untuk melanjutkan pernikahannya dengan Mbak Fatma yang kedua kalinya. Lalu takdir membawa Bu Delta untuk menjadi madu dari Bu Salis, istri pertama Pak Hikam.Setelah tahu hal yang mengekori pikiranku selama ini adalah Mas Rizki, Bu Delta menjadi tidak seceria dulu lagi di depanku. Ia terlihat canggung. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan itu semua, akupun tidak berminat untuk mencari tahu. Sampai akhirnya Pak Hikam menjengukku, lebih tepatnya menyusul Bu Delta sekalian menjengukku."Cepat sembuh ya, Falen," ujarnya.Bu Delta menggenggam tanganku dengan erat. "Nanti kalau sudah sembuh, Ibu bakal kenalin kamu ke direktur tempat kamu kerja. Ia dulunya satu kantor sama Ibu," ucap Bu Delta.Tapi akhirnya aku tahu Pak Hikam juga akan menjenguk Mbak Fatma di Rumah Sakit yang sama denganku. Aku baru tahu Pak Hikam a
Dalam sehari ini Ayah pontang-panting mencari orang pintar yang diyakininya bisa menghilangkan santet yang menempel di tubuhku. Ibu sibuk menghubungi keluarga besar yang sekiranya bisa membantu kami. Monic dan Sahla yang seharusnya kembali ke kota mereka, akhirnya mengalah untuk menungguku di Rumah Sakit bersama Hilal.Dokter menyarankan Ibu agar aku menggunakan ventilator, tapi aku menolaknya. Nafasku sudah tidak bisa dikatakan normal, tapi aku tahu jika menggunakan alat itu jauh lebih menyakitkan. Tepat di tengah perdebatanku dengan Ibu, Tante Ning datang. Adik perempuan satu-satunya Ibu yang masih sangat muda. Ayah menyusul memasuki kamar membawa kelapa muda, bunga tujuh rupa yang masih segar, serta berpasang-pasang pisang yang sudah matang."Ini, dari Mbah Karma," ujar Ayah. Pisang dan kelapa muda memang masuk akal untuk dikonsumsi sebagai penambah daya tahan tubuh. Tapi bunga-bunga dan bermacam-macam benda aneh lainnya hanya membuat kamar ini menjadi tidak karuan baunya. Aku yak
Kematian perempuan yang dulunya adalah anak paling menyebalkan membuatku sangat terpukul. Sebesar apapun rasa benciku padanya, pada akhirnya aku merasa bersalah. Ia sangat mencintai suamiku dan tak pernah mendapatkan balasan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan dan membuatnya menderita lahir batin.Semoga di akhir hidupnya Ia tahu bahwa dirinya sudah mendapatkan apa yang Ia inginkan, dinikahi Mas Rizki. "Kamu nggak boleh sedih, Sayang. Karena kita semua akan berjuang bersama-sama untuk kemoterapi," bisik Mas Rizki di pundakku."Sebentar lagi rambutku akan habis dan rupaku menjadi semakin jelek. Mas Rizki pasti risih melihatku," ucapku. "Tidak, Sayang," Mas Rizki menggenggam tanganku.Aku divonis mengidap tumor ganas dua minggu setelah melahirkan anak keduaku. Takdir yang tidak kuduga saat cinta kami mulai bersemi kembali. Itsna tak mendapatkan kasih sayang yang penuh karena konsentrasiku terus terbagi. Takdir ini kuterima saat hobiku sedang berada di puncak. Banyak job sebagai pembic
Dua tahun kemudian …."Ayah, nanti malam mandi bola lagi ya," ucap Ikhda."Kita kan mau ke rumah Simbah, Kak," tanggap Rizki kepada putra sulungnya. Sembari menggendong Itsna yang baru berusia dua tahun, tangan satunya menggandeng Ikhda menuju gerbang sekolah. Sudah takdir bahwa Ia menjadi seorang single father yang mengurus dua anak sekaligus. Ia berkomitmen merawat dua buah hatinya, dua bukti cinta dari istri pertamanya, Fatma.Setelah memastikan Ikhda memasuki kelas tempat Ia belajar, langkah kakinya kembali menuju mobil yang Ia parkir di dekat gedung sekolah. Didudukkannya putri piatu itu ke kursi mobil. "Ayah," celoteh si mungil."Iya?" Rizki menoleh sambil berusaha sekeras mungkin untuk konsentrasi pada kemudi mobilnya. "Nana mau apa?" Tanya Rizki karena putrinya tidak kunjung bicara juga."Ke rumah Simbah," jawabnya. "Iya, tapi nanti ya. Sekarang Nana sekolah dulu, biar pintar," jawabnya."Ke rumah simbah," ulang si kecil."Iya, kita tunggu Kakak sekolah dulu ya. Nana juga
Menjadi istri kedua bukan pilihan yang mudah bagi Putri, perempuan yang akhirnya dikaruniai buah hati di pernikahan keduanya itu mendapat bermacam-macam asumsi yang dilontarkan kepadanya. Labelling pelakor adalah salah satu yang paling menyakitkan baginya. Perempuan pelakor memang menyakitkan dan dianggap hama oleh hampir semua perempuan lain. Tetapi hal yang lebih menyakitkan adalah ketika dituduh sebagai pelakor.Apakah istri kedua sudah tentu pelakor? Bagaimana jika itu adalah pilihan Sang Suami? Bagi lelaki, memadu perempuan bukanlah hal yang berdosa. Ia berhak mempersunting perempuan lebih dari satu jika telah memenuhi syarat. Konsekuensi tersakitinya perasaan istri pertama mungkin lebih disorot karena Ia adalah perempuan yang terlebih dahulu hadir di hati suami. Apakah orang-orang tahu bahwa menjadi istri kedua juga sama menyakitkannya karena suami sudah memiliki tambatan hati yang sesungguhnya yaitu istri pertama? Ia, istri kedua hanyalah tambahan, hanya sandaran kedua. Setida
Gadis itu termenung setelah membaca portofolio di depannya. Lelaki itu, lelaki kaya raya kolega ayahnya yang melamarnya adalah seorang CEO duda beranak dua yang sudah pernah memiliki istri dua kali. Jika Ia mau menerima permintaan ayahnya untuk menerima lamaran tersebut, maka Ia adalah perempuan ketiga yang menjadi istri lelaki itu.Mengejutkannya lagi, istri kedua lelaki itu adalah almarhum temannya sendiri saat kuliah. Nahru Rizki Budiman, duda rupawan itu adalah mantan suami Falencia Nikita teman kuliah yang digandrungi banyak lelaki. Ia sangat membenci gadis itu karena kekasihnya sendiri pun tak luput menyukai Fani. Fani jugalah yang menyebabkan Ia diputus oleh Hilal.Febi sudah tidak peduli lagi sekarang Hilal ada di mana dan bagaimana kehidupannya. Ia yakin lelaki itu pasti sangat menyesal telah meninggalkannya demi gadis lain, lalu ternyata apa yan