Share

6. Mencari Ketenangan

Happy Reading

*****

Meninggalkan sejuta luka dan tanya, Ayumi kembali melajukan motor skuter miliknya. Kali ini, tidak ada tempat yang dituju. Sang gadis menyusuri jalanan yang mulai sepi tanpa tahu arah. Mengikuti arah hati dan tangannya. Sesekali menambah kecepatan karena merasakan sesak kian mengimpit dada.

Sesakit itu hati sang gadis. Air mata terus turun tanpa diperintah semakin membuat orang iba jika melihat keadaan Ayumi sekarang.

Di tempat berbeda, Ramlan mendekati sang istri berniat menanyakan keberadaan si bungsu. Namun, lagi-lagi kalimat pedas dan kemarahan yang didapat.

"Cari saja sendiri. Kalau bukan karena kesalahan Ayah, Yumi tidak akan pergi selarut ini." Sang istri melirik jam dan meninggalkan Ramlan sendirian di ruang tengah.

Lelaki itu tengah sibuk dengan ponsel.  Menghubungi siapa pun yang sekiranya mengetahui keberadaan si bungsu. Namun, semua nomor yang dihubungi tidak mengangkat panggilnya. "Ya Allah. Kemana anak itu pergi?"

Mencoba menghubungi seseorang yang sangat dekat dengan putrinya, panggilan Ramlan terangkat.

"Ya, Om?" ucap seseorang di sebarang sana.

"Apa Ayumi menghubungi Nak Prima?" tanya Ramlan.

"Tidak, Om. Maaf, saya sangat sibuk hari ini, jika bertanya tentang Ayumi saya tidak punya waktu," balas Prima sengit.

Kening Ramlan berkerut. Sosok lelaki yang saat ini berbicara dengannya tidak pernah berkata seperti sekarang. "Apa kalian bertengkar, Nak?"

"Sekali lagi, maaf. Saya dan Ayumi sudah tidak memiliki hubungan lagi. Assalamualaikum." Panggilan diputus sepihak membuat Ramlan melongo di tempat.

"Astagfirullah," ucap lelaki paruh baya itu. Rasa penyesalan mulai merayap, tak seharusnya Ayumi mendengar pertengkarannya tadi sore.

*****

Deburan ombak di malam hari, menemani tangis pilu Ayumi. Gadis itu memilih pergi ke pantai setelah lelah berkelana tanpa arah dan tujuan. Malam yang semakin pekat membuat tak ada seorang pun yang mengunjunginya.

Sang gadis berteriak sekencang mungkin menumpahkan segala macam kesedihan di dalam hati, tangisnya kembali pecah. Selalu dan akan menjadi tempat pelarian teraman ketika hati Ayumi dilanda kesedihan. Pantai adalah tempat favoritnya menumpahkan segala macam keluh kesah.

"Allah, betapa tak adilnya Engkau. Menuliskan takdir kesedihan ini datang secara bersamaan tanpa persiapan apa pun. Tidak adakah jalan keluar yang bisa aku tempuh saat ini? Mengapa ... mengapa harus aku yang menerima semua ini? Bisakah aku memilih untuk tidak menerima semua ujian ini?"

Setelah menumpahkan semua keluh kesahnya, sang gadis tertawa terbahak. "Tidakkah ini lucu?" kata Ayumi selanjutnya. "Aku mengira hidupku adalah yang paling bahagia dan sempurna. Nyatanya, semua adalah semu."

Puas menumpahkan air mata dan keluh kesah. Sang gadis terduduk di pasir pantai tanpa alas sama sekali. Angin malam yang berembus cukup kencang tak membuatnya mundur atau memilih pulang. Ayumi tetap menikmati deburan ombak hingga matanya mulai lelah meronta untuk segera diistirahatkan.

Sejenak, gadis berjilbab yang wajahnya banyak terdapat bekas jerawat itu memejamkan mata. Tak sadar, seseorang telah duduk di sampingnya. Seseorang itu telah lama mengamati segala tingkah yang dilakukan Ayumi.

"Kenapa malam-malam ada di tempat seperti ini?" sapa seseorang itu yang berjenis kelamin laki-laki.

Menoleh pada sumber suara, secepat mungkin Ayumi menghapus jejak air mata. Tak ingin lelaki yang duduk di sampingnya ini mengetahui segala tangis kesedihannya.

Sadar jika sang gadis berusaha menutupi yang terjadi tadi, lelaki yang tak lain adalah atasan Ayumi itu tersenyum. Setelahnya, lelaki itu diam menunggu jawaban yang akan dikeluarkan sang gadis.

"Sejak kapan Bapak ada di sini?" Bukannya menjawab, Ayumi malah memberikan pertanyaan.

"Apa sangat penting kamu mengetahuinya?"

Ayumi mengangguk, memaksakan senyuman walau jejak air mata jelas-jelas terlihat di wajah.

Tak ingin menambah beban kesedihan bawahannya, sang atasan menjwab, "Sejak kamu mengeluarkan semua unek-unek itu. Kamu boleh menceritakan apa masalahmu padaku."

Membuang  muka, Ayumi kembali mengusap jejak air matanya. "Harusnya Bapak tidak mencampuri urusan pribadi saya. Ini sudah di luar jam kantor. Jadi, apa pun yang didengar dan dilihat, tidak seharusnya ditanyakan lagi. Tanggung jawab Bapak sebagai atasan kepada bawahan, hanya sebatas jam kantor. Jadi, tolong jangan menanyakan apa pun."

"Begitu, ya?" tanya sang lelaki, "apakah aku akan membiarkan seseorang yang aku kenal sendirian di pantai di jam seperti ini? Di mana rasa empatiku sebagai lelaki yang seharusnya melindungi wanita?"

"Tidak perlu bersikap peduli dan melindungi, Pak. Orang tua bahkan keluarga saya saja tidak ada yang peduli dengan keberadaan saya saat ini. Sudahlah, jangan lagi mencampuri urusan pribadi saya." Ayumi hendak berdiri meninggalkan lelaki itu, tetapi tangannya di cekal.

"Maaf, jika aku sengaja mendengarkan semua keluh kesahmu tadi. Tidak ada maksud apa pun. Aku cuma berpikir, tidak mungkin meninggalkan seseorang yang aku kenal apalagi perempuan di tempat seperti ini." Kalimat sang atasan terhenti. Dia menatap Ayumi lekat, berusaha melihat ekspresi dan  reaksi selanjutnya.

"Sekarang sudah pukul dua dini hari dan tidak ada seorang pun yang terjaga di pantai ini. Kalaupun ada orang, hanya sekelompok berandal dan pemabuk pastinya. Aku cuma tidak ingin terjadi sesuatu padamu."

"Saya bisa melindungi diri sendiri, Pak," jawab Ayumi ketus.

"Jika begitu, pulanglah. Aku akan mengikuti dari belakang untuk memastikan keamananmu sampai rumah. Sangat rawan seorang perempuan masih berada di luar rumah di jam-jam seperti ini."

"Tidak, saya tidak ingin pulang. Biarkan saya sendiri di sini. Bapak pergilah, tidak perlu menghiraukan keberadaan saya."

"Tidak bisa, Yumi," suara sang atasan naik satu oktaf mendengar sikap keras kepala sang bawahan.

"Aku tidak bisa membiarkan seorang perempuan malam-malam sendirian di pantai seperti keadaanmu sekarang. Mengertilah, ini bukan tentang status dan tanggung jawab sebagai atasan pada karyawan. Semua yang aku lakukan untuk kebaikanmu dan tanggung jawabku di hadapan Allah yang harus melindungi perempuan."

Ayumi membulatkan bola mata, memprotes apa yang dikatakan oleh sang atasan.

"Jangan protes," ucap lelaki itu, "Begini saja. Ambil ini, kamu bisa menggunakannya untuk istirahat jika kamu tidak ingin pulang. Aku tidak memiliki banyak waktu. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, gunakan kamar ini. Kamu bisa pulang setelah suasana hatimu membaik. Resort tak jauh dari pantai." Lelaki itu menunjuk bangunan bertingkat yang terlihat berkilauan tak jauh dari tempat keduanya berdiri.

"Apakah saya bisa ijin tidak bekerja besok, Pak?" tanya Ayumi. Dia sudah memutuskan untuk menerima tawaran yang baru saja diberi sang atasan.

"Lakukan yang kamu mau. Aku akan memberimu ijin. Tapi ingat, jangan melakukan hal-hal gila demi menghilangkan sumpek pikiranmu."

Sebelum pergi, lelaki itu sempat memegang pundak Ayumi dan mengatakan kalimat-kalimat penyemangat. Tentu saja, semua kalimat itu diangguki oleh sang gadis. Setidaknya, malam ini dia punya pelarian dari semua masalah yang mendera.

"Terima kasih, Pak." Ayumi mencoba menarik garis bibirnya untuk membalas kebaikan lelaki pemilik nama Yovie Andrea, salah satu petinggi perusahaan sekaligus pemegang saham tertinggi di tempatnya bekerja.

"Nikmati liburanmu tanpa berpikir apa pun. Semua biaya kamar, aku yang tanggung," ucap Yovie sebelum benar-benar pergi meninggalkan Ayumi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status