Share

Bab 04

"Sayang," panggil Damian setelah duduk di samping Alora dengan dua mangkok bakso yang telah tersaji di depan keduanya.

"Hmm," reflek Alora langsung menoleh kearah Damian.

"Apa ada masalah, kenapa kamu tidak seperti biasanya?" Tanya Damian, menyadari perubahan pada Alora.

Alora hanya menggeleng pelan, dan itu membuat Damian semakin tidak tenang. Mengurungkan niatnya untuk menyantap segera bakso yang ada di tangannya, Damian lebih memilih untuk meletakkan mangkok berisi bakso itu di meja.

"Jangan membuatku penasaran sayang, jika memang ada masalah ceritalah aku akan menerima apapun itu sayang." Bujuk Damian.

"Tapi untuk masalah ini aku yakin kamu tidak akan bisa menerimanya." Jawab Alora masih tertunduk memandangi semangkuk bakso di hadapannya yang mulai menghangat.

"Serumit apa masalah itu sampai kamu mengatakan dengan yakin tentang aku yang tidak akan bisa menerimanya." Damian semakin tidak sabar dengan apa yang belum di ketahuinya, dan membuatnya mulai berpikir lalu menebak masalah apa yang tengah menjadi kerisauan sang kekasih.

"Alora." Panggil Damian dengan hanya menyebutkan nama, yang sudah pasti laki-laki itu mulai terbawa emosi karna Alora masih belum juga memberi kejelasan.

Sesaat Alora menggigit bibir bawahnya, untuk menahan sesuatu yang terasa menyakitkan. Namun, ketika Alora hendak menjawab Damian mendahului bersuara.

"Apakah ini tentang permasalahan restu dari kedua orang tuamu Ra, yang tidak pernah menyukai hubungan diantara kita?" Kata Damian sedikit melembut, refleks Alora menoleh dengan cepat.

Menatap lekat dan begitu dalam, Alora seakan mencoba menenangkan lewat dari tatapan teduhnya. Beberapa saat Alora gunakan hanya diam dan menatap Damian dengan teduh, gadis itu mulai siap untuk memberitahu apa masalah yang tengah di hadapinya.

"Apa kamu tau, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan restu dari keluargaku. Tapi ini tentang suatu permintaan dari Kakakku, yang memintaku untuk menikah dengan Mas Chakra setelah Kakak pulang dari rumah sakit." Seketika, Damian mengalihkan tatapannya ke arah lain, perwakilan dari sebuah rasa shock ketika logikanya tidak dapat menerima pernyataan dari sang kekasih.

"Lalu, apa kamu menerimanya Ra?" Suara itu terdengar mulai bergetar, kini tatapannya kembali terkunci pada Alora dan semakin tajam.

"Aku nggak ada pilihan lain Dam, waktu itu posisinya sangat sulit!" Alora mencoba menjelaskan, ketika dengan jelas ia baru saja berhasil menimpakan kecewa dan amarah yang begitu besar pada Damian.

"Sesulit apa?, dan kenapa Kakakmu harus meminta hal bodoh itu padamu Ra." Damian benar-benar tidak dapat menerima hal itu dengan mudah.

"Itu sulit Dam, sangat sulit karna waktu itu Kakak memintaku di saat dia kritis dan keselamatannya seperti sangat kecil untuk di raih. Maka saat itu aku tidak punya pilihan lain selain menerima permintaannya." Jelas Alora berharap Damian mengerti tentang posisinya saat itu.

Mendengar penjelasan dari Alora, perasaannya semakin sakit. Damian mengusap wajahnya kasar mencoba menetralisir rasa yang begitu berantakan ketika perasaannya di hantam banyak kejutan yang cukup menyakitkan.

"Dam, kamu mau kemana?" Refleks Alora mencegah Damian ketika laki-laki bertubuh tinggi tegap itu hendak berdiri.

 Tanpa memberi jawaban, Damian melepaskan tangan Alora yang mencoba mencegahnya lalu dengan cepat laki-laki itu mengeluarkan beberapa lembar kertas dan di serahkan pada tukang bakso, lalu segera meninggalkan tempat itu dan Alora seketika menangis tanpa bisa mencegah kepergian Damian.

Ketika tangisnya masih belum reda, tidak lama setelah kepergian Damian. Sebuah suara dari ponselnya seketika menghentikan tangis Alora, dan ia cepat-cepat menerima panggilan dari Kakaknya. Setelah beberapa saat panggilan telfon itu terputus, Alora segera memesan taksi online lalu segera pergi meninggalkan tempat itu beserta dua mangkuk bakso yang masih utuh belum sempat tersentuh karna sebuah permalasahan yang tiba-tiba hadir merusak segalanya.

****

Di dalam ruangan rawat itu, selama obrolan Alara dengan seseorang di sebrang sana, semua orang hanya terdiam dan menyimak, dan ada beberapa kata yang Alara katakan yang cukup menarik perhatian Alora, sehingga gadis cantik itu ingin menanyakan apa maksud dari obrolan sang kakak dengan orang di balik telfon itu.

"Kak," panggil Alora setelah Alara menurunkan ponselnya ketika panggilan sudah terputus.

"Hmmm,"

"Kakak pesan dekor buat apa?," Alora bertanya berharap dugaannya salah.

"Oh ya, kakak lupa mau bilang sama kamu, sini-sini dek kakak liatin." Alara langsung meraih pergelangan tangan Alora, lalu menariknya pelan agar Alora dapat duduk di sampingnya.

"Liat, kakak udah pesenin kamu decor wedding ini dan udah deal baguskan?" Alara menunjukkan foto decor yang sangat cantik, dan menjelaskan dengan begitu semangat.

Sedangkan semua orang seketika terkejut dengan apa yang Alara lakukan, tidak terkecuali Chakra yang refleks memejamkan matanya menahan gejolak dalam dirinya agar ia dapat menahan emosinya.

"Kakak..." Panggil Alora dengan suara melemahnya.

Alara langsung menoleh menatap wajah sendu adiknya. "Aku mohon kak, untuk saat ini jangan membahas hal ini." Pinta Alora dengan nada suara yang masih sama.

Dalam waktu cepat, senyuman yang tadinya melengkung dan semangat yang sedari tadi begitu menggebu. Seketika lenyap ketika Alara menangkap wajah sendu dari adiknya.

"Apa kamu ingin mengingkari janjimu dek?" Tanya Alara menatap dalam pada Alora.

Alora menggeleng cepat. "Enggak kak, tapi sekarang cobalah untuk fokus terlebih dahulu pada pemulihan mu."

"Aku sudah melakukannya dek, dokter mengizinkanku pulang itu adalah hasil dari usahaku yang fokus pada pemulihan ku." Jawab Alara kekeh.

Sebuah tangan menyentuh lembut bahu Alora, mengurungkannya ketika Alora hendak kembali menjawab ucapan dari Alara. Di tatapnya sang mamah, dan Mirna membalas tatapan itu sembari menggelengkan kepalanya pelan. Alora seketika mengerti isyarat yang di berikan oleh mamanya, dan akhirnya Alora hanya diam membiarkan apa yang kakaknya lakukan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status