Keadaan rumah dinas Davian sekarang terasa ramai karena kedatangan kakek dan neneknya Kiana.Sang primadona sedang dikerubungi oleh para kakek dan nenek yang tampak bahagia menyambut kehadirannya ke dunia.Bagi papi dan mami, Kiana adalah cucu kedua sedangkan bagi ayah dan bunda—Kiana merupakan cucu pertama yang pasti akan mereka sangat sayangi dan manjakan.Cinta keluar dari dalam kamar setelah mandi dibantu oleh Davian.Semenjak pagi, Cinta sibuk sekali mengurus Kiana dari mulai menjemur, memandikan hingga menyusui.Semua itu Cinta pelajari dari bidan yang sengaja Davian panggil ke rumah untuk mengajari Cinta bagaimana merawat bayi baru lahir.Jadi meski terkantuk-kantuk karena malamnya begadang, Cinta harus tetap fokus menerima ilmu baru agar bisa merawat Kiana dengan baik.“Gimana keadaannya sekarang?” Ayah yang pertama kali bertanya, beliau perhatian sekali kepada Cinta yang telah memberikan penerus untuknya.“Ngantuk, Yah.” Cinta menjawab jujur menghasilkan tawa dari yang lain.
Masa cuti Jingga sudah lama sekali berakhir, tapi dia masih saja merasakan berat hati setiap pagi karena harus meninggalkan Javas untuk bekerja dan berjuang sampai titik darah penghabisan setiap bulannya agar memenuhi target Regional bersama kepala tim marketing kartu kredit yang lain.Jingga yang pergi ke kantor pagi ini di antar sang suami tercinta tampak lesu.Beruntung bagi Jingga memiliki suami penyayang dan juga pengertian.Biru tidak melarang Jingga bekerja meski sebenarnya dia mampu memenuhi semua kebutuhan rumah tangga dan keinginan Jingga.Pria itu terlalu sayang kepada istrinya sampai menurunkan ego agar mereka tidak perlu bertengkar hanya untuk urusan waktu.Tidak peduli Jingga akan menghabiskan tiga perempat harinya untuk urusan pekerjaan dari pada urusan keluarga yang penting Jingga senang karena sesungguhnya Biru percaya kalau Jingga mendahulukan apa yang terpenting.Biru sudah melihat bukti, meski Jingga seorang ibu bekerja tapi bisa memiliki waktu berkualitas dengan J
Biru melepas sarung tangan, nurse cap, baju terusan operasi, apron medis lalu baju seragam dan terakhir scrub suits.Semua perlengkapan operasi ini menjamin dirinya berada dalam kondisi steril selama melakukan tindakan operasi tapi juga menghindarkan pasien dari berbagai zat kimia, partikel kotor, hingga radiasi berbahaya.Setelah itu Biru memakai pakaian bersih yang dia bawa dari rumah.Dia keluar dari toilet khusus para dokter di ruang istirahat yang kali ini sepi sekali, hanya dirinya di sana.Membuka loker untuk mengambil tasnya yang berisi dompet dan ponsel lalu keluar dari ruangan itu.Sesuai janji kepada sang istri, dia akan langsung pulang untuk menemani Javas karena mami Jingga sudah bisa dipastikan akan pulang malam.Risiko bekerja di Bank memang seperti itu dan Biru memakluminya.Banyak perawat dan petugas medis lain juga karyawan mengangguk hormat menyapanya yang akan dibalas Biru dengan anggukan tanpa senyum kecuali dokter senior atau dokter pria karena sesungguhnya Biru
“Sayang … udah donk, jangan nangis … nangis Kiana jadi makin kenceng tuh, cup … cup … cup … sini peluk aku.” Davian gelisah sendiri, memeluk Cinta dengan pandangan tertuju pada box bayi Kiana di mana sang putri tengah menangis.“Berisik, suruh dia berhenti nangis … aku pusing, Mas.” Cinta menangis dalam pelukan suaminya.Tidak mengira kalau ternyata kelahiran Kiana malah membuatnya stress.Awalnya tidak begitu tapi lama-lama Cinta mengalami syndrom baby blues.“Kalau gitu kamu berhenti nangis ya, aku gendong Kiana dulu.” Cinta menganggukan kepala dan baru lah Davian mengurai pelukan untuk beralih menggendong Kiana yang menangis kejer di box bayi.“Sayang … ulu ulu sayang Papi.” Tangis Kiana kian kencang saja sampai menendang-nendang kakinya, Davian membawanya keluar kamar dan tidak lama kemudian suara tangis Kiana tidak terdengar lagi.Sekarang Cinta baru bisa benar-benar berhenti menangis.Dia melirik ke luar jendela yang ditutup tirai putih transparan setelah menyadari ada sosok s
“Kamu yang pegang hape, aku gendong Kiana.” Davian memberi instruksi dan Cinta menurut lagi.Mereka berdiri di depan cermin, Cinta mengarahkan kamera belakang ponsel dan mulai menangkap beberapa pose dengan aba-aba hitungan satu sampai tiga. Cinta menekan beberapa beberapa kali tombol capture dengan berbagai pose dan ketika Davian merasa cukup, dia malah mengecup pipi Cinta lalu mengecup sudut bibirnya sementara Kiana melongo menatap cermin.“Sayangnya aku … sayang aku,” kata Davian setiap kali mencium Cinta.Cinta hanya tersenyum, dia tersipu tanpa memberikan penolakan.Kalau sudah seperti itu, Cinta jadi tampak menggemaskan di mata Davian.“Udah yuk, kita telat nih ketemu dokter.” Cinta memutar badan karena Davian terus menggodanya dengan memberikan tatapan misterius dan seringai melalui cermin di depan mereka.*** “Mas, kamu belum makan.” Cinta mengatakannya tanpa berani menatap Davian yang tengah berjalan mendekat dengan hanya melilitkan handuk di pinggang.Pria itu begitu meng
“Batik dari mana itu?” Kepala Cinta meneleng memindai motif batik yang menurutnya asing dan seingatnya Davian tidak pernah membeli batik dengan motif itu.“Ini lho … batik yang dikasih mama Irma oleh-oleh dari Kalimantan … ‘kan kamu juga dapet songketnya.” Davian yang tengah menautkan bulir kancing di dada, menjawab dengan santai.“Oooh iya,” kata Cinta bergumam, dia baru ingat.“Bagus enggak? Kalau enggak bagus, aku ganti … aku bawa dua hem batik lagi.” Davian meminta pendapat.Saat ini mereka sedang berada di Jakarta, tepatnya menginap di rumah ayahnya Davian.Kedatangan mereka ke Jakarta adalah untuk menghadiri pernikahan sepupunya Cinta yang bernama Baruna yang mempersunting anak dari klien bisnis ayahnya.“Bagus kok.” Cinta menjawab seadanya.“Aku pake ini biar mama Irma seneng, pemberiannya aku pakai… soalnya nanti kita ketemu beliau di sana.” Davian memberikan alasan blunder.“Oooh, jadi masih ingin menjaga hati mantan calon ibu mertua.” Cinta yang tengah mengaplikasikan wajah
Meja yang diperuntukan para orang tua itu sudah penuh, mata Cinta mengedar dan refleks Jingga mengangkat tangan memanggil Cinta.Cinta menangkap sinyal dari Jingga, bibirnya tersenyum dengan binar penuh rindu karena semenjak menginjak Jakarta dia belum bertemu Jingga, Biru dan keponakannya yang bernama Javas.Jadi tanpa menunggu lagi, Cinta langsung menarik tangan Davian—mengajak Davian menghampiri Jingga dan Biru yang belum sempat dia ucapkan.Hanya tarikan tangan Cinta saja meminta Davian agar mengikuti tanpa tahu Cinta mengajaknya ke mana.“Itu Cinta … sama Davian,” celetuk Jingga sembari mengendik membuat Biru refleks menoleh ke arah pandang Jingga.“Anjiiiiiir.” Mata Biru seolah berkata demikian melihat motif batik yang dikenakan Davian sama dengan batik yang sedang dikenakannya sekarang.Dia mengembalikan tatap pada istrinya yang tengah mengulum senyum.“Katanya benci, kok bisa sehati?” Jingga meledek.“Ini aku pake batik dari mama Irma biar beliau seneng, kamu liat ‘kan tadi …
Sengaja Biru membawa keluarga kecilnya jalan-jalan ke Anyer.Dia menyewa dua unit cottage di sebuah resort mewah yang lengkap dengan fasilitas watersport-nya.Alasan dia menyewa dua cottage yang letaknya bersebelahan adalah karena Biru membawa asisten rumah tangga dan Nanny-nya Javas ikut serta dalam liburan kali ini.Apalagi kalau bukan agar dia dan Jingga bisa menghabiskan banyak waktu tanpa gangguan Javas tapi sang putra tetap masih berada dalam jangkauannya.Begitu sampai di Cottage, Biru tidak membiarkan Jingga menikmati keindahan resort barang sebentar saja karena dia langsung memberi instruksi kepada sang Nanny agar menjaga Javas sebentar.Biru beralasan kalau dia dan Jingga akan melakukan massage di tempat spa.Jingga sempat tertawa mendengar alasan Biru tersebut.Namun tawanya sekarang berubah menjadi desahan setengah merintih penuh nikmat saat Biru menghujamnya dari belakang.Pria itu berdiri di sisi ranjang sementara Jingga menungging dengan lutut menumpu pada ranjang.Tang