“Sayang … udah donk, jangan nangis … nangis Kiana jadi makin kenceng tuh, cup … cup … cup … sini peluk aku.” Davian gelisah sendiri, memeluk Cinta dengan pandangan tertuju pada box bayi Kiana di mana sang putri tengah menangis.“Berisik, suruh dia berhenti nangis … aku pusing, Mas.” Cinta menangis dalam pelukan suaminya.Tidak mengira kalau ternyata kelahiran Kiana malah membuatnya stress.Awalnya tidak begitu tapi lama-lama Cinta mengalami syndrom baby blues.“Kalau gitu kamu berhenti nangis ya, aku gendong Kiana dulu.” Cinta menganggukan kepala dan baru lah Davian mengurai pelukan untuk beralih menggendong Kiana yang menangis kejer di box bayi.“Sayang … ulu ulu sayang Papi.” Tangis Kiana kian kencang saja sampai menendang-nendang kakinya, Davian membawanya keluar kamar dan tidak lama kemudian suara tangis Kiana tidak terdengar lagi.Sekarang Cinta baru bisa benar-benar berhenti menangis.Dia melirik ke luar jendela yang ditutup tirai putih transparan setelah menyadari ada sosok s
“Kamu yang pegang hape, aku gendong Kiana.” Davian memberi instruksi dan Cinta menurut lagi.Mereka berdiri di depan cermin, Cinta mengarahkan kamera belakang ponsel dan mulai menangkap beberapa pose dengan aba-aba hitungan satu sampai tiga. Cinta menekan beberapa beberapa kali tombol capture dengan berbagai pose dan ketika Davian merasa cukup, dia malah mengecup pipi Cinta lalu mengecup sudut bibirnya sementara Kiana melongo menatap cermin.“Sayangnya aku … sayang aku,” kata Davian setiap kali mencium Cinta.Cinta hanya tersenyum, dia tersipu tanpa memberikan penolakan.Kalau sudah seperti itu, Cinta jadi tampak menggemaskan di mata Davian.“Udah yuk, kita telat nih ketemu dokter.” Cinta memutar badan karena Davian terus menggodanya dengan memberikan tatapan misterius dan seringai melalui cermin di depan mereka.*** “Mas, kamu belum makan.” Cinta mengatakannya tanpa berani menatap Davian yang tengah berjalan mendekat dengan hanya melilitkan handuk di pinggang.Pria itu begitu meng
“Batik dari mana itu?” Kepala Cinta meneleng memindai motif batik yang menurutnya asing dan seingatnya Davian tidak pernah membeli batik dengan motif itu.“Ini lho … batik yang dikasih mama Irma oleh-oleh dari Kalimantan … ‘kan kamu juga dapet songketnya.” Davian yang tengah menautkan bulir kancing di dada, menjawab dengan santai.“Oooh iya,” kata Cinta bergumam, dia baru ingat.“Bagus enggak? Kalau enggak bagus, aku ganti … aku bawa dua hem batik lagi.” Davian meminta pendapat.Saat ini mereka sedang berada di Jakarta, tepatnya menginap di rumah ayahnya Davian.Kedatangan mereka ke Jakarta adalah untuk menghadiri pernikahan sepupunya Cinta yang bernama Baruna yang mempersunting anak dari klien bisnis ayahnya.“Bagus kok.” Cinta menjawab seadanya.“Aku pake ini biar mama Irma seneng, pemberiannya aku pakai… soalnya nanti kita ketemu beliau di sana.” Davian memberikan alasan blunder.“Oooh, jadi masih ingin menjaga hati mantan calon ibu mertua.” Cinta yang tengah mengaplikasikan wajah
Meja yang diperuntukan para orang tua itu sudah penuh, mata Cinta mengedar dan refleks Jingga mengangkat tangan memanggil Cinta.Cinta menangkap sinyal dari Jingga, bibirnya tersenyum dengan binar penuh rindu karena semenjak menginjak Jakarta dia belum bertemu Jingga, Biru dan keponakannya yang bernama Javas.Jadi tanpa menunggu lagi, Cinta langsung menarik tangan Davian—mengajak Davian menghampiri Jingga dan Biru yang belum sempat dia ucapkan.Hanya tarikan tangan Cinta saja meminta Davian agar mengikuti tanpa tahu Cinta mengajaknya ke mana.“Itu Cinta … sama Davian,” celetuk Jingga sembari mengendik membuat Biru refleks menoleh ke arah pandang Jingga.“Anjiiiiiir.” Mata Biru seolah berkata demikian melihat motif batik yang dikenakan Davian sama dengan batik yang sedang dikenakannya sekarang.Dia mengembalikan tatap pada istrinya yang tengah mengulum senyum.“Katanya benci, kok bisa sehati?” Jingga meledek.“Ini aku pake batik dari mama Irma biar beliau seneng, kamu liat ‘kan tadi …
Sengaja Biru membawa keluarga kecilnya jalan-jalan ke Anyer.Dia menyewa dua unit cottage di sebuah resort mewah yang lengkap dengan fasilitas watersport-nya.Alasan dia menyewa dua cottage yang letaknya bersebelahan adalah karena Biru membawa asisten rumah tangga dan Nanny-nya Javas ikut serta dalam liburan kali ini.Apalagi kalau bukan agar dia dan Jingga bisa menghabiskan banyak waktu tanpa gangguan Javas tapi sang putra tetap masih berada dalam jangkauannya.Begitu sampai di Cottage, Biru tidak membiarkan Jingga menikmati keindahan resort barang sebentar saja karena dia langsung memberi instruksi kepada sang Nanny agar menjaga Javas sebentar.Biru beralasan kalau dia dan Jingga akan melakukan massage di tempat spa.Jingga sempat tertawa mendengar alasan Biru tersebut.Namun tawanya sekarang berubah menjadi desahan setengah merintih penuh nikmat saat Biru menghujamnya dari belakang.Pria itu berdiri di sisi ranjang sementara Jingga menungging dengan lutut menumpu pada ranjang.Tang
“Terus kapan kamu mau lanjutin kuliah? Beranak terus.” Sumpah ya, Biru kesal sekali waktu tahu Davian berhasil menghamili Cinta lagi.“Abis lahiran Cinta mau lanjutin kuliah kok, lagian gimana donk… mas Davinya ngelarang Cinta pake KB… katanya mending sekarang banyakin anak dulu biar sekalian capeknya.”“Halaaaah, kamu mana ada capek-capeknya… kerjaan rumah dikerjain Encum, Kiana sama Nanny.” “Yeeee, si Abang sensi banget… kenapa sih?” Cinta mengerucutkan bibirnya kesal.“Kamu janji ya, udah ini….” Biru menunjuk perut Cinta menggunakan jarinya.“Udah dulu,” sambung Biru dengan sorot mata tajam.“Kalau mas Davi ingin satu lagi gimana?”“Wajib kamu tolak!” Biru berseru memaksa.“Iiiih … Abaaaang.” Cinta merengek, mendorong telunjuk Biru yang nyaris menyentuh hidungnya.“Sayaaaaang,” panggil Davian dari ruang tamu.“Eh, suami Cinta pulang.” Cinta bergegas bangkit dari sofa, senyumnya sumringah dan matanya berbinar.Dari sana Biru tahu kalau Cinta sudah kalah dengan bencinya kepada Davi
Kehamilan Jingga yang kedua ini sungguh merepotkan.Jingga jadi sering ambil ijin potong cuti karena morning sick yang tidak bisa diajak kompromi sampai terkadang Jingga pingsan karena lelah muntah-muntah.Otomatis Biru jadi sering terlambat datang ke tempat praktik.Tapi mau bagaimana lagi, Biru harus menemani Jingga di saat-saat kondisi terburuknya terlebih anak kedua ini adalah keinginannya.Bayangkan saja, bagaimana kesalnya Jingga yang sering mendapat teguran sang atasan.Sekalinya Jingga memaksakan pergi ke kantor, satu lantai gempar karena Jingga muntah-muntah lalu pingsan.Kalau bukan mengingat kinerja Jingga yang selalu bagus di masa lalu, meski sekarang terseok menutupi target karena keseringan cuti—Jingga pasti sudah menerima surat pemecatan.Atasannya percaya kalau Jingga mampu bangkit lagi.“Sayang, masih mual?” Biru berbisik di puncak kepala Jingga.Saat ini mereka berdua tengah berbaring di atas tempat tidur saling berpelukan dengan pakaian kerja lengkap setelah tadi Ji
Sesampainya di rumah sakit, Biru berlarian menuju ruang praktek, dia gelisah karena telah membuat para pasien menunggu.Tapi Biru tetap melakukan pekerjaannya dengan profesional, dia matikan ponselnya sebentar agar bisa fokus.Pasien demi pasien yang datang sebisa mungkin Biru layani dengan baik, berbekal ilmu yang dimilikinya Biru harus bisa menjadi tangan Tuhan menyembuhkan mereka yang banyaknya mengidap penyakit ganas.Hampir sore ketika dia menyelesaikan praktik, Biru menyalakan ponselnya.Sang istri tercinta yang pertama kali dia hubungi.Setelah berpamitan kepada perawat, Biru menderapkan langkah menuju basement dengan ponsel menempel di telinga.Entah panggilan keberapa akhirnya panggilan tersebut dijawab juga.“Hallo?” Suara Jingga terdengar ngegas.“Udah sampe mangga mudanya, sayang?”“Udah, tapi kenapa kamu nyuruh anggota TNI yang anter ke sini? Kamu menyalahgunakan jabatan papi kamu.”Jingga kesal, dia ingin papinya bayi yang membelikan mangga muda.“Itu ajudannya papi saya