"Kenapa ekspresinya begitu? Nahan kencing?" Savira menahan tawa melihat ekspresi Dion. "Aku bisa sendiri.""Yakin?" Perlahan Dion beranjak dari ranjang, melangkah ke kamar mandi. Namun dia diam, tak bisa melepaskan celana menggunakan satu tangan. "Bisa ngompol di celana nanti," lirihnya. Savira menatap jam berbentuk lingkaran yang menempel di dinding. Sudah terlalu lama untuk sekedar buang air kecil. "Gak bisa sendiri saja belagu," gumam Savira. Tok! Tok! "Dion, buruan! Aku juga ingin ke kamar mandi!" ucap Savira seraya mengetuk pintu beberapa kali. "Apa minta tolong Savira saja, ya? Sumpah, aku gak tahan. Beneran bisa ngompol ini mah." Dion termenung beberapa saat, ingin meminta tolong tetapi gengsi. Namun sesuatu yang ada di dalam harus segera dikeluarkan. Ragu, Dion pun membuka pintu. "Udah selesai?" tanya Savira sambil menahan tawa melihat ekspresi Dion. Lelaki itu terlihat menahan sesuatu. Dion diam, dia bingung harus mengatakan dari mana. Baginya kejujurannya sama hal
"Aku ...." Savira gugup,bingung harus menjawab apa. Ada rasa ragu yang tiba-tiba bersemayam dalam dirinya. Wanita itu terdiam untuk beberapa saat. Dia remas jemari, berharap rasa gugup itu hilang dengan sendirinya. Namun nyatanya jantung itu kian berdebar kencang. Mencoba mengalihkan pandangan, tapi wajah Dion bak magnet yang menariknya kembali. "Tidurlah, aku tak akan meminta hakku. Karena kamu tahu apa alasanku menikahimu, Savira." Dion membalikkan badan, membelakangi Savira yang diam terpatri. Cepat-cepat Savira membalikkan badan, ia tutup wajahnya dengan sebuah selimut agar tangis yang keluar tak terdengar oleh Dion. Tak bisa dipungkiri sudut hatinya terluka mendengar kalimat yang keluar dari mulut Dion. Namun ia sadar, cinta belum sepenuhnya tumbuh. Savira beranjak, ia ambil selimut. Wanita itu berusaha memejamkan mata setelah merebahkan tubuh di atas sofa. Namun bukannya terlelap bayang Purnawan kembali hadir. "Apa aku sanggup menjalankan amanatmu, Mas," gumamnya lirih.
Savira duduk di atas sofa. Sebuah novel berada di hadapannya. Ekor matanya mengikuti setiap kata yang tertulis di buku itu. Sesekali ia tertawa saat membaca novel tersebut. Dion menghela napas, menatap kesal wanita di hadapannya. Berada di kamar berdua dengan Savira tapi wanita itu justru asyik sendiri. Kesal, Dion menyalakan musik kencang. Alunan lagu pop terdengar nyaring memenuhi kamar mewah itu. Savira masih diam, dia kembali fokus membaca novel di hadapannya. Wanita itu sama sekali tidak terpengaruh dengan suara yang dibuat Dion. Dia justru terkesan menikmati. Kesal, musik itu dimatikan oleh Dion. Niat hati mencari perhatiaan tapi tidak bisa. Savira masih asyik dengan dunianya sendiri, mengabaikan Dion yang tengah bosan. Kebiasaan Dion berkelana membuat ia bosan berada di dalam rumah. Hidupnya terasa bagai di dalam sangkar. Saat hendak terbang sayapnya patah. "Savira!" Wanita itu menghela napas. Beranjak mendekat seraya membawa novel tersebut. "Kenapa? Mau ke kamar mandi?"
"Mangsa baru kamu, Bro?" tanya Aldi, teman kuliah Dion. Lelaki itu terus memandang ke arah Savira. Tatapan suka terlihat jelas di matanya. Cinta pandangan pertama, bisa dikatakan seperti itu. Jantung Aldi kian berdetak saat memandang Savira. Senyum wanita itu bak magnet yang menarik dirinya mendekat. "Siapa kamu, Dion?" tanya salah satu temannya. Dion diam, bingung harus menjawab apa. Pernikahan ini adalah sebuah musibah. Dia membenci wanita yang kini menjadi istri, itu yang membuat dia bungkam tak menjawab pertanyaan Aldi atau temannya yang lain. Dia gengsi memiliki istri dari kalangan rendahan seperti Savira. "Saya perawat Tuan Dion.""Benar begitu, Dion?" tanya Aldi penasaran. "I--iya, dia perawat pribadiku."Cukup berat Dion mengeluarkan kata. Namun dalam hati ia bersyukur karena Savira menutup rahasia pernikahan. Entah sampai kapan. Dalam wasiat jelas tertulis pernikahan mereka harus dipublikasikan. "Sini bentar, Bro!"Aldi menarik tangan Dion, membawanya menjauh dari Savir
"Kamu tak apa, Ra?" Seketika aku menoleh, menatap lelaki yang berjongkok hendak membantuku berdiri. Aroma tubuh, perhatian dan paniknya masih sama. Meski aku sudah menggoreskan luka berulang kali. "Kamu baik saja, Ra?" tanyanya lagi karena aku mematung. "I-iya, Dok." Aku segera beranjak, sebelum ia membantuku berdiri. Merapikan pakaian yang sempat berantakan karena aku terjatuh tadi. Namun seketika berhenti saat Pak Bram terus menatapku. "Ada yang salah, Dok?" tanyaku seraya menatap dari ujung kepala hingga kaki. Memastikan tak ada yang aneh dengan penampilan ini. "Oh, tidak ... tidak. Sedang apa kamu di sini?"Ah, kembali aku teringat dengan Dion. Dia pasti kebingungan mencariku. Tapi biarlah, dia saja tak peduli dengan hatiku. Setidaknya cari jawaban yang tidak menyakitiku. Bukan justru menggoreskan luka dengan sebuah kata. "Ngemall, Dok. Bukan lagi pasang infus.""Ha ha ha ... Savira... Savira, kamu ada-ada saja."Tawa renyah itu kembali hadir. Syukurlah, dia tak membenciku
"Dion!""Ha ha ha, kamu lucu, Ra!" Dion tertawa sambil mengibarkan sebuah lingerie berwarna pink. Tangan kirinya menutup mulut, menahan tawa, meski nyatanya suara tawa itu masih terdengar begitu jelas. Ah, menyebalkan. Aku berlari ke arahnya, merebut pakaian kurang bahah itu. Sungguh lelaki itu tak memiliki urat malu. Bisa-bisanya memperlihatkan pakaian ini di tempat umum. "Gila kamu, Dion!"Dengan kesal aku berjalan ke arah karyawan yang berdiri tak jauh dari kami. Wanita itu menutup mulut, menahan tawa seraya melirik ke arahku. Namun seketika tegang kala aku semakin mendekat ke arahnya. "Maaf, Mbak. Ini tidak jadi.""Eh, i-iya, Mbak." Dia menerima dengan sedikit gugup. "Kamu seksi jika memakai itu, Ra!" bisiknya di telinga kananku. "Ngawur!" Aku jitak kepala lelaki itu. Namun dia justru semakin tertawa. Dion sangat menyebalkan. "Tunggulah di depan, aku akan membayarnya."Tanpa menjawab aku berlalu dari hadapannya. Sempat kulihat dia berbicara dengan kasir, tapi aku memilih m
Savira terpaku, beberapa kali ia cubit pahanya. Berusaha meyakinkan diri jika telinganya tak salah dengar. Dion mengakui dirinya sebagai istri. "Apa kamu bilang? Istri?"Regina mengepalkan tangan, melangkah mendekati Dion. Dada wanita itu semakin naik turun, emosi telah memenuhi hati dan pikirannya. Tiba-tiba tangan Regina melayang ke udara, dalam hitungan detik mendarat di pipi kiri Dion. Gambar lima jari terlihat jelas di pipi putih Dion. Nyeri dan panas menjalar tapi hati lelaki itu yang kini terluka. Dion diam, sudut bibirnya tertarik ke atas. Perlakuan Regina hanya dia diamkan. Lelaki itu sudah hafal sikap ibunya yang tempramental dan egois. "Kita bicara di sana!"Tangan Dion menarik Regina menjauh dari tangga. Savira memilih diam, ia memunguti pakaian yang berserakan di lantai. Sesekali mengelus dada yang terasa nyeri. "Dia pacar kamu, Mas?""Kampungan!""Wanita mudah*n! Kamu hanya mengincar harta Mas Purnawan. Licik!"Savira beristighfar seraya mengelus dada yang terasa ny
"He--Hendra ... sejak kapan kamu di situ?"Regina menelan ludah dengan susah payah. Keringat dingin membasahi dahi, bahkan sekujur tubuhnya. Ibu kandung Dion ketakutan rencananya diketahui orang kepercayaan Purnawan. Derap langkah Hendra bak sirine kematian yang terdengar begitu jelas. Regina menggeser tubuhnya, mendekat pada lelaki yang masih asyik menyeruput kopinya. Dion seolah tak peduli dengan kedatangan Hendra. "Mau kopi, Hen?" tanyanya seraya melirik lelaki yang baru saja duduk. "Tidak perlu, Mas.""Sejak kapan kamu berdiri di situ, Hen?" tanya Regina lagi. "Sejak Nyonya Regina berniat menyingkirkan Savira."Hendra menatap tajam perempuan yang duduk gelisah itu. Sorot mata bak elang, semakin membuat nyali Regina menciut. Keangkuhan yang ia miliki seketika lenyap. "I--itu tidak seperti yang kamu pikirkan, Hen. Aku tak ingin Dion menikah dengan Savira, itu saja.""Lupakan saja, kedatangan saya kemari ingin berbicara dengan Mas Dion dan Savira. Bisa panggilkan Savira?"Dion m