"Apa belum sembuh?" Ashera mengedarkan mata ke ruang kerja Arion. Ruangan itu sudah tiga hari ini kosong dan selama itu dia tidak mendengar kabarnya. Ashera juga baru hari ini bertemu dengan Fathan setelah terakhir kali mereka pergi bersama untuk masalah pekerjaan."Kamu masih peduli padanya?" Bola mata Fathan melirik kecil Ashera, lalu melanjutkan membuka berkas.Ashera terdiam. Pertanyaan Fathan menusuk jantungnya. Selama tiga hari ini, dia bukan tidak peduli dan cemas, terlebih setiap kali melihat kursi yang biasanya ditempati Arion kosong, jelas saja dia khawatir."Apakah salah bila aku menanyakan kabar bosku sendiri?" Ashera berlagak cuek."Tidak. Tidak ada yang salah," jawab Fathan, lalu berdiri hendak pergi. "Beberapa hari ini Arion tidak memiliki napsu makan yang baik. Bila ini berlanjut, dokter khawatir akan mempengaruhi kesehatannya dan memperlambat penyembuhannya," sambung Fathan sebelum benar-benar pergi.Ashera kembali terdiam, sedangkan Fathan melanjutkan langkahnya men
"Buka mulutmu!" "Aku bisa makan sendiri. Letakkan saja!"Arion menolak dengan memalingkan wajah ketika Ashera menyodorkan sendok penuh bubur ke arah mulutnya. Bukan ingin menolak atau membuat Ashera kecewa, tapi rasa mual yang dirasakan membuatnya enggan untuk makan."Dokter bilang kamu harus makan." Ashera menatap lekat Arion. Tatapannya seperti seorang ibu memarahi anaknya.Arion terdiam membalas tatapan Ashera, hingga mata keduanya beradu dan melekat cukup lama. "Baiklah, aku letakkan di meja. Nanti kalau mualmu berkurang atau hilang, kamu bisa makan," ucap Ashera menyerah.Andai bukan karena ingin membalas budi karena Arion pernah menyelamatkan nyawanya beberapa kali, Ashera pun enggan melakukannya. Hati nuraninya masih terbuat dari elemen yang lunak sehingga dia tidak tega membiarkan pria itu menderita."Ashera." Tiba-tiba Arion menahan tangannya. "Aku mau makan," lanjutnya dengan suara rendah.Ashera tersenyum tipis, lalu memberikan mangkuk bubur pada Arion.Arion mengangkat t
"Arion, biarkan aku bangun! Aku harus kerja."Ashera semakin terkejut ketika melihat penunjuk waktu dalam ponselnya, ternyata waktu telah menunjukkan pukul 08:00 WIB. Artinya dia pasti terlambat datang ke perusahaan."Hari ini tidak perlu kerja!" Arion masih tidak melepaskan tangannya dari pinggang ramping Ashera, bahkan pria itu malah menyembunyikan wajahnya pada jeruk leher Ashera. Meski Ashera berbaring terlentang dan terkesan mengacuhkannya, namun dia merasa nyaman menghirup aroma segar yang tak pernah dilupakan."Fathan ke luar kota. Ada dokumen yang harus aku selesaikan.""Tidak. Fathan sudah menyelesaikannya dan akan membawanya ke sini siang nanti," sahut Arion tanpa mengubah sedikitpun posisinya.Mata Ashera membulat. Kepalanya segera menoleh dan sedikit menjauhi kepala Arion. Dengan ekor matanya, diliriknya wajah Arion. Layaknya anak umur 5 tahun, wajah Arion sama sekali tidak menampakkan rasa bersalah sedikitpun padahal kelicikannya telah tercium oleh Ashera."Jangan kataka
"Hei, apa yang kalian lakukan? Tolong hentikan!" teriak Ashera sembari mengangkat tangan melindungi wajah dari lemparan berkas.Meski Ashera berteriak dan meminta agar mereka menghentikan tindakan arogannya, namun tidak ada satu orang pun yang peduli. Mereka semakin brutal, terlebih setelah mendengar aduan Aleysa tentang kejahatan Ashera."Hentikan!" teriaknya lagi. "Orang yang seharusnya kalian hukum itu dia, bukan aku!" Ashera dengan kesal dan marah menunjuk Aleysa. Dia tidak peduli lagi dengan makian dan beberapa kertas yang melayang ke arah wajahnya.Tatapan matanya merah membara seolah ingin membunuh tawa Aleysa yang bertopeng tangis kesedihan. Deru napasnya memburu bak singa betina yang siap menerjang musuh yang telah mengusik ketenangannya. Ashera mengepalkan tangan. Niat dan kemarahannya telah memuncak. Darahnya telah sampai di ujung kepala dan siap menyembur deras hingga orang yang telah memancing kemarahannya itu terkena karmanya."Cukup!" pekiknya. Suara Ashera melengking
"Tidurlah lagi!" perintah Arion ketika melihat Ashera terbangun dari tidurnya dan hendak duduk.Ashera tersentak. Tubuhnya hampir melonjak. Seharusnya dia tidak seperti ini karena bukan kali pertama, setiap dia bangun selalu melihat Arion ada dalam satu ranjang bersamanya. Namun, setiap kali melihatnya ketika matanya terbuka, tetap saja tubuhnya melonjak kaget."Kenapa tidak membangunkan aku?" tanya Ashera.Melihat Ashera duduk dan menarik tubuhnya ke belakang untuk bersandar, Arion yang sedang sibuk dengan monitor mininya langsung peka. Pria itu menumpuk dua bantal untuk mengganjal punggung Ashera."Hari ini tidak usah bekerja," ucapnya.Dua hari setelah Ashera dan dirinya diperbolehkan pulang dari rumah sakit, sejak saat itu mereka berdua belum pernah pergi ke perusahaan. Arion lebih memilih melakukan pekerjaannya dari rumah dengan alasan pemulihan, begitu juga dengan Ashera. Arion yang memintanya tetap di rumah bersamanya."Bukankah kamu bilang, hari ini aku sudah boleh bekerja lag
“Arion.”Fathan mendekati Arion, namun masih terhalang oleh meja kerja. Merasa kasihan, khawatir dan cemas ketika melihat Arion terdiam mematung dengan mata tidak berkedip sama sekali. Dia takut Arion shock setelah mlihat video yang tadinya ingin dia sembunyikan. Namun, karena Arion memaksa dan malah mengancam akan memecatnya, akhirnya dia menyerahkan dengan tanpa berdaya.Setelah melihat video yang diberikan Fathan padanya tubuh Arion mematung. Bahkan rasanya dia tidak bernapas sama sekali. Tidak ada pergerakan yang terlihat. Dunianya sangat amat gelap tanpa sedikit pun celah untuk secercah cahay masuk.“Arion, aku masih menyelidikinya lagi, apakah video itu asli atau hanya editan saja,” ucap Fathan mencoba untuk menghibur.“Tidak perlu!” larang Arion. Meski telah menanggapi Fathan, namun sama sekali tidak mengubah gesture dan ekspresi wajahnya. Bahkan tatapannya masih terpatri pada layar monitor yang tidak lagi bergerak memutar.“Tapi-““Ini alasan kenapa aku memintamu menyelidiki me
“Ashera, kamu hebat!” puji Trixi.Trixi langsung menyambut Ashera dengan pelukan. Dia merasa senang karena pada akhirnya Ashera berani mengambil keputusan, meski penuh dengan resiko. Namun, paling tidak dia telah melakukan pembelaan dan pembersihan nama baiknya.“Trixi, aku gugup,” ucap Ashera.“Kamu sudah melakukan hal yang benar, Shera. Aku bangga memiliki teman sepertimu,” hibur Trixi.“Aku juga merasa lega, Trixi. Akhirnya aku bisa mengungkap semua kejahatan Aleysa.” Sebenarnya Ashera ingin menangis, ingin juga tertawa bahagia. Ada rasa lega di dalam hatinya setelah mengungkapkan semua yang mengganjal dalam hatinya selama ini. Sebenarnya hal ini sudah ingin dilakukan sejak lama, namun Arion selalu melarangnya demi keselamatannya.Kepalanya kini terasa ringan seolah beban yang selama ini memperberat hidupnya telah berkurang. Bibir Ashera tersenyum. Namun, beberapa saat kemudian kebahagiaan itu berubah menjadi wajah kesedihan dan keraguan. Ashera kembali merasakan sedih.“Shera, ad
“Astaga, Ashera. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana wajah Aleysa ketika semua orang menghujatnya,” ucap Trixi sembari memegangi perutnya yang terasa kaku dan sakit.Untuk menghibur kegelisahan Ashera, Trixi melontarkan kata-kata lucu dan terkadang konyol saat membahas masalah Aleysa dan reaksi wanita itu. Bahkan dia membayangakan Aleysa dilempar telur busuk oleh emak-emak yang membenci kejahatannya.“Tapi Aleysa bukan wanita seperti itu, Trixi. Aku rasa urat malunya telah putus dan otaknya sudah konslet,” sahut Ashera.Dia tidak yakin bila Aleysa akan memiliki rasa malu dan trauma atas video klarifikasinya. Menurutnya, Aleysa adalah wanita berhati baja yang telah berkerak. Wajahnya pun telah menjadi wajah dinding penuh molen cor yang tebal sehingga tidak memiliki rasa malu.“Emmm, benar katamu, Shera. Perempuan itu adalah nenek lampir yang mengerikan, tidak tau malu sama sekali.” Trixi kembali tertawa.Setelah lelah tertawa, keduanya kembali hening dengan pikiran masing