Usaha manusia, hanya manusia itu sendiri yang memberinya limit. Hari ini mungkin kita bejumpa hal sulit, rasanya ingin berteriak dan menjerit. Rileks, walau hanya semenit. Semangat ya hari ini, semangat juga baca BUKAN JENDRAL TAPI PANGERAN
"Aku harus mulai dari mana? Daftarnya cukup banyak. Ah, tanya Adina saja," ujar Akram merogoh sakunya dan menekan tombol nomor 2 dan panggilan terhubung pada adiknya namun sayang tidak dijawab. Panggilan diulangi kembali oleh Akram, tapi kali ini panggilan di tombol nomor 3 dan kali ini panggilan dijawab Alyana. "Halo!" sapa Alyana ketus yang terlihat sibuk dalam panggilan videonya. Dari sudut pandang yang dilihat Akram, ponsel itu diletakkan di atas meja makan rumahnya. Gadis itu sedang sibuk menata belanjaan ke dalam kulkas. "Halo juga Nona," balas Akram menahan senyum. Adiknya itu masih kesal karena tidak mengizinkan mereka berdua turut hadir dalam acara pernikahannya. Akram tidak ingin mengambil resiko. Biarlah mereka berdua marah, toh keduanya tidak bisa marah lama padanya. "Assalamualaikum Dek, kok manyun?" "Wa alaikum salam, situ pikun atau bloon? Kenapa masih tanya? Pura-pura tidak tahu atau pura-pura lupa?" Lagi-lagi Alyana ketus dengan sindirannya. "Mungkin amnesia retrog
Suara azan sayup-sayup menyapa dan kedua anak manusia itu tak satu pun tersadar, hingga suara iqamah berkumandang. Sejam kemudian Akram baru tersadar dan matanya perlahan terbuka memandang jendela kaca. Matanya langsung membelalak kala menyadari jika ini sudah pagi dan matahari telah terbit. Ia menoleh melihat jam dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 05.37 WITA pagi. Bergegaslah ia ke kamar mandi dan berwudhu untuk menunaikan sholat subuhnya di ujung waktu. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Menggumamkan istigfar ketika menggelar sajadah dan memulai menata khusyuk dalam hatinya. Setelah menyelesaikan dua rakaatnya dan bermunajat, Akram beranjak merapikan kamarnya. Wangi bunga lili yang memenuhi kamarnya membuatnya merindukan Arum. Jika saja kesadarannya belum pulih, ia pasti akan berhalusinasi. Wangi yang sama seperti parfum milik istrinya yang menenangkan. Ya, istrinya yang menolak pulang bersamanya dan memilih tetap tinggal di kamar kost sederhana itu. Akram kemba
Akram menghela lega, refleks mengusap dadanya yang akhirnya melihat Arum membuka pintu dengan mengenakan mukena. Istrinya ternyata sedang sholat sehingga tidak meresponnya sejak tadi. Dugaannya, suara yang didengarnya di balik pintu tadi adalah suara benda yang digantung. Seulas senyum terbit di wajahnya melihat iris mata coklat milik Arum yang kali ini tidak tertutup softlens hitam ataupun kacamata minus. Kini Akram bisa melihat garis wajah keturunan Tionghoa itu di wajah istrinya. Data dari Riswan memang sempat membuatnya terkejut saat mengetahui latar belakang keluarga Arum yang sebenarnya. Istrinya benar-benar mirip dengan ibu mertuanya. Pantas saja Delia langsung mengenali Arum sebagai putri sahabatnya. Kerutan di dahi Arum seolah menyiratkan tanya. "Aku pikir kamu kenapa-napa di dalam karena kamu tidak merespon. Tidak ada sahutan dan telpon dariku juga tidak dijawab. Aku bahkan sempat berpikir, mungkin aku terlambat karena mengira kamu keluar beli makan," kata Akram. "Oh." Ses
"Jangan main tinggal gitu aja dong Fa!" protes seorang pemuda serupa yang menyusul keduanya. Pemuda yang datang belakangan menggendong bocah laki-laki. Berdiri tepat di samping pemuda yang menggendong gadis kecil tadi. Keduanya sibuk celingak-celinguk memperhatikan sekitarnya. "Adina tidak di sini, dia di rumah," ucap Akram memicingkan mata ketika melihat Faiz menghela berat. Kedua pemuda itu bak pinang dibelah dua. Sama seperti yang dilihatnya saat menonton pertandingan basket di televisi. Jika diam saja, sulit sekali bagi Akram membedakan keduanya. "Kenalkan Bang, ini kembaran saya, Raiz dan dua bocah yang kami gendong ini keponakan kami," ujarnya menyenggol lengan kembarannya. Dari perkenalan singkat itu Akram akhirnya tahu jika sepasang anak kecil itu juga kembar, tapi kembar fraternal. "Tante Alum ingat Almi cama Kaka Alpa? Ketemu di gedun tinggi Tante, cama Om Capwan cama Tante Taniya juda. Waptu kita makan donat. Kita juda ketemuna di telinik Tante. Cudah inat belum?" tanya
"Arum, besok… bisa kita kontrol ke rumah sakit? Kita cek kondisi kalian. Aku tahu jadwal kontrol kamu beberapa hari lagi, tapi…." Akram terdiam sejenak. "Lusa aku harus ke Jawa. Mungkin sekitar seminggu baru bisa balik karena aku harus urus kerjaan di beberapa kota. Apa kamu keberatan?" "Sepertinya kamu sudah buat janji temu sama dokter?" Bukannya menjawab, Arum justru membalas dengan menebak. Ia tidak perlu bersandiwara karena keluarga kecil tetangga kostnya sudah masuk lebih dulu. "Belum, aku cuma tanya dia, bisa tidak jadwalnya dimajukan? Dokter kandungan kamu bilang dia tidak keberatan, makanya sekarang aku tanya kamu. Biar bisa jemput," jelas Akram. "Kamu ngapain ikut masuk?" tanya Arum lagi dan membuat Akram berusaha menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya sekarang. Sungguh ia ingin sekali melihat langsung hasil USG anaknya. Mendengarkan denyut jantungnya yang kata Riswan membuatnya lupa sejenak dengan dunia. "Ada yang tertinggal di dalam. Daripada kamu jalan bolak-balik
Akram tersenyum lega duduk di kursi pesawat. Selain memandang foto USG dari darah dagingnya, telinganya juga terus mendengar detak jantung calon anaknya melalui earphone yang tersembunyi di balik kupluknya. Riswan benar, hal itu membuatnya lupa sejenak dengan dunia. Sungguh kuasa Allah tiada terkira. Perjalanan Akram dini hari ini terasa sekejap saja di pesawat. Tiba di Surabaya, ia langsung menuju ke salah satu warkop milik kenalannya. Salah seorang sahabatnya itu mempertemukannya dengan beberapa orang. Mereka sibuk berbincang dan membuat kesepakatan. "Kenapa buru-buru banget sih Ram?" tanya Lintang. Akram tersenyum lalu menjawab, “Kamu lupa aku sibuk dan tidak boleh ketahuan ada di sini?” Sebelum subuh, Akram dijemput Jef dan mereka bergegas ke kota berikutnya. Selama empat hari, seperti itulah kesibukan Akram. Jika bukan mengurus urusan pribadi, ia akan disibukkan dengan masalah pekerjaannya yang terkait Yayasan HAS. Putra Ardanuansyah itu sudah sesibuk pejabat pemerintahan. Pe
Senyum Ardan dan Novita semakin merekah di depan kamera. Saat ini pasangan suami istri itu sedang berada di TPS. Tepatnya di depan masing-masing kotak suara yang siap menampung kertas pencoblosan. Keduanya diapit oleh putra dan juga putrinya. Di TPS lain, keluarga Latief dan keluarga Haslan sudah lebih dulu menyelesaikan kegiatannya. Mereka turut hadir di TPS tempat keluarga kecil Ardan menyalurkan suara. Setelah menanggapi beberapa pertanyaan wartawan, Ardan memboyong keluarganya ke posko induknya. Di sana keluarga dari istrinya, iparnya beserta tim suksesnya sudah berbondong-bondong datang untuk acara santap siang bersama. Begitu juga dengan keluarga calon pasangannya dalam pilkada kali ini. Akram dan Riswan bercengkrama menanggapi beberapa pria sesama anggota partai yang mengusung pasangan Ardanuansyah dan Syarief. Ardan merasa bangga putra dan keponakannya mampu mengimbangi topik pembicaraan mereka. Bahkan beberapa di antara mereka sepertinya tertarik ketika membicarakan program
Setelah semuanya beranjak untuk beristirahat, lain halnya Akram yang masih termenung menatap layar ponselnya. Tiga kata yang menghiasai wallpaper ponselnya yang selalu mengingatkannya agar tidak goyah dengan keputusannya. Putra sulung Ardanuansyah itu sedang merenungi nasibnya dan nasib adiknya. Notifikasi pesan dari sekretarisnya mengalihkan atensi Akram. Setelah dibalas jika besok dirinya akan mengurus masalah tersebut, Akram kembali membuka percakapan group dengan sahabat-sahabatnya. Tadi dalam perjalanan pulang, Lintang membahas lebih dulu tentang Faiz. Akram tidak menyangka jika gebetan adiknya itu bergerak cepat dan memenuhi tantangan dengan lancar. Boys After Flower Dok_Preman: Assalamualaikum... Ram, beneran Adina pacaran? Atau baru gebetan? Dia datangin aku kemarin. Bi_Antara: Kokbisa? Teruskamudiapaindok? Ranu_Man: Gimana ceritanya? Pacar? Gebetan? Teman aja kalieee Jangan lupa pakai spasi Bi... Susah bacanya! Aku_Ram: Iya, benar gebetannya Adina. Namanya