"Arghhh..." teriak Ella. Prang! Segala macam kosmetik, parfum, dan benda lainnya di meja rias tumpah, berserakan di atas lantai. "Non, kenapa lagi?"Mendekati Ella, Bibi merengkuh tubuh majikannya itu. Mengusap punggung Ella dan memberikan ketenangan."Tenang ya, Non. Ada Bibi di sini. Sebenarnya ada apa?""Kenapa semua orang kejam sama Ella sih, Bi? Kenapa, hah?""Siapa yang kejam, Non?""Keluarga Sena, Bi. Mereka semua sekarang benci sama Ella. Padahal Ella udah minta maaf perkara kesalahan di masa lalu, tapi kenapa mereka nggak mau maafin Ella sih, Bi?""Ella mau disayang kayak dulu lagi. Ella mau kembali lagi sama Sena, Bi. Ella cintanya sama Sena.""Dan sekarang, gara-gara anak sialan ini Ella jadi lebih sulit buat kembali sama Sena."Berulang kali Ella memukuli perutnya. Berharap janin yang ada di dalam rahim luruh seketika. "Arghhh..."Menangis sudah Bibi. Tidak tahan wanita paruh baya itu melihat majikannya frustasi."Astagfirullah... Istighfar, Non. Nyebut. Kalau memang be
Hampir setiap hari Ella meneror Wildan. Mengirimi pesan berupa ancaman. Tidak hanya itu, Ella bahkan nekat mengirim orang untuk menghajar Wildan. Ancaman itu akan terus dilakukan sampai Wildan mau bertanggung jawab. Kepala Wildan hampir meledak rasanya. Sudah kepalang tanggung ini, daripada diteror terus menerus lebih baik mengikuti kemauan Ella saja. Biarlah perkara Andina dan keluarga besarnya akan dihadapi dikemudian hari. Sore ini, pernikahan kedua Wildan digelar. Tidak ada kedua orangtua maupun kerabat Wildan yang hadir. Hanya kedua orangtua Ella dan kerabat terdekat saja. Apalagi alasannya kalau bukan karena pernikahan ini sengaja disembunyikan."Kenapa serba dadakan sih, La? Kami kan juga belum mengenal calon suami kamu. Semuanya kan harus dipertimbangkan bibit, bebet, dan bobotnya. Tidak bisa tiba-tiba langsung menikah begini," gerutu Mama Ella. "Sebenarnya ada apa? Katakan!" ucap Papa Ella. "Tidak ada apa-apa, Pa, Ma. Ella sengaja kasih tahu dadakan karena Ella tahu kalian
Kebimbangan tengah dirasa Sena. Sampai saat ini, Sena masih bungkam dan menyimpan rapat-rapat kejadian pada waktu subuh kala itu. Tentu saja Sena tidak ingin Adinda banyak pikiran karena memikirkan nasib Andina. Tapi bila dipikir ulang, Sena tentu tidak tega mendapati kelakuan Wildan yang mungkin saja memang berkhianat di belakang Andina. Memikirkan perasaan Andina yang hancur karenanya, Sena semakin merasa bersalah karena menutupi tabiat Wildan. Malam ini, Sena putuskan untuk berbicara dengan Adinda. Siapa tahu keduanya dapat menemukan solusi terbaik untuk membantu Andina mengatasi masalah ini. Ceklek! "Sen..." sapa Adinda. Adinda baru saja pulang dari bekerja. Meletakkan jaket dan tas di gantungan, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Kini, Adinda tampak segar sesudah mandi. Istri Sena itu juga terlihat menggemaskan sebab mengenakan piyama bermotif boneka. Menutup laptop dan mengesampingkan tugas kuliah yang membuatnya mumet, Sena melangkahkan kaki mendekati Adinda. Merebut sisir
"Sayang, ikut aku ke area balap yuk!" ajak Sena. "Kamu tanding?" tanya Adinda. "Enggak sih, cuma lihat aja.""Boleh deh."Meraih sebuah helm, Sena memakaikannya di kepala Adinda. Klik! Terpasang sudah helm di kepala Adinda. Siapa lagi yang memakaikannya kalau bukan Sena. Dengan jahilnya, Sena menggetok kepala Adinda, menimbulkan bunyi 'tok' di sana. Adinda mencebikkan bibirnya. "Ih, kok digetok?""Gemesin soalnya.""Ih, nyebelin," gerutu Adinda. "Udah, nggak usah monyong-monyong begitu. Entar aku sosor baru tahu rasa.""Aku balas, week." Adinda menjulurkan lidahnya.Meraih pinggang Adinda, Sena mencubit hidung lancip itu. "Dasar nakal."Setengah jam sudah mereka di dalam perjalanan. Akhirnya, mereka berdua tiba di area balap. Jemari Sena tidak terlepas dari Adinda sedetik pun. Banyak mata melirik sinis pada Adinda. Masa bodoh dengan itu semua, Adinda yakin mereka hanya iri saja. Pastilah banyak wanita yang menginginkan berada di posisinya saat ini bersama dengan Sena. Netra Adi
Rasa gelisah menyelinap relung hati Sena. Bagaimana tidak, wanitanya saat ini tengah berada di UGD dalam keadaan tidak sadarkan diri. Bersandar di tembok rumah sakit, menunduk dan terus merapal doa. Hanya itu yang bisa Sena lakukan saat ini. Merayu Sang Pencipta agar bermurah hati memberikan kesembuhan serta keselamatan untuk Adinda. "Sena..."Menoleh ke sumber suara, Sena menubrukkan diri mendekap mamanya. Membagi rasa gelisah yang tengah dirasakan. Tumpah sudah air mata yang sedari tadi dibendung. Lemah, cengeng, rapuh. Ya, tampak kacau bukan keadaan Sena? "Sudah, Sayang. Jangan menangis! Dinda pasti baik-baik saja. Kita berdoa sama-sama ya," ucap Indah. "Duduklah, Sen! Kita tunggu kabar dari Dokter," ucap Abimanyu. Tidak lama setelahnya pintu ruang pemulihan terbuka. Belum sempat dokter menyampaikan keadaan Adinda, Sena sudah lebih dulu memberondongi dengan berbagai pertanyaan. "Dok, bagaimana keadaan istri saya?""Istri saya tidak apa-apa kan, Dok? Hanya pingsan saja kan?""T
Kriet... Suara pintu diseret membuat bulu roma merinding. Sena hendak melongok ke arah kamar mandi untuk memastikan, tapi diurungkan. Ketakutan lebih menguasai dibanding rasa penasaran itu sendiri. Jadilah sampai tengah malam Sena tetap terjaga.Suasana rumah sakit yang terlalu kentara membuatnya tidak nyaman. Bayangan arwah-arwah di kamar mayat terus berputar di otaknya. Sontak, Sena bergidik. Melihat hantu di film saja Sena berteriak histeris. Apalagi, dihadapkan pada situasi nyata seperti ini. Ekor mata Sena melirik ke samping. Didapatinya Adinda tengah tertidur pulas. Mendengkur pula. Huh, semakin membuat Sena jengkel saja rasanya. "Ingat, Dinda lagi sakit, dia butuh istirahat. Maklumilah kalau tidurnya sampai mendengkur," gumam Sena. Ditariknya selimut rapat-rapat. Berharap dengan begitu posisinya sedikit nyaman, dan bayangan arwah di kamar mayat segera enyah. "Argh!" teriak Sena jengkel. Berbagai cara telah dilakukan agar bisa terlelap. Dari mulai menenggelamkan seluruh wa
Satu minggu berlalu. Adinda sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Kondisinya benar-benar sudah pulih seperti sedia kala. Bahkan, pagi ini Adinda bergulat di dapur membuat sarapan untuk Sena. "Buruan mandinya, Sen. Sarapannya udah siap nih," teriak Adinda."Bentar lagi, Sayang," sahut Sena ikut teriak. Keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggang. Rambut setengah basah itu dibiarkan begitu saja. Mengambil kaos oblong dan celana jeans selutut, Sena memakainya cepat-cepat dan berlari ke ruang makan. "Astagfirullah, Sena!" omel Adinda."Apaan sih, Yang?" tanya Sena heran, belum apa-apa Adinda sudah marah-marah."Duduk! Aku ambil handuk dulu."Setengah berlari Adinda ke lantai dua. Rasa sebal kian dirasa. Adinda paling sebal kalau ada handuk basah tergeletak di atas ranjang. Ya, seperti emak-emak pada umumnya. Pasti sebal kan kalau ada handuk basah di taruh di atas ranjang?"Udah dibilangin berkali-kali kalau taruh handuk basah jangan di atas ranjang! Begitu juga masih d
"Hatiku terlalu kuat untuk kau buat hancur. Dipatahkan berkali-kali, tapi masih saja utuh. Kurang apa aku dalam mencintaimu?" ucap Andina. Luruh sudah tangis ini, bercampur menjadi satu bersama rasa kecewa di dalamnya. "Maafkan aku, Dina. Aku... Aku terpaksa menikahi Ella." hanya kata maaf yang sanggup ia ucapkan. Ia akui bahwa dirinya memang terlalu b******k."Andai saja waktu itu aku tak menumpang mandi di rumah Adinda, mungkin saja tak akan seperti ini. Andai saja aku tak haus dan tak meminum es teh yang dicampurkan dengan obat sialan itu, mungkin hatimu masih baik-baik saja karena aku tak perlu repot-repot untuk bertanggung jawab menikahi Ella."Sungguh muak rasanya dengan seorang b******n yang sedang berusaha membuat keadaan menjadi membaik, tapi yang terjadi malah sebaliknya."Jangan berandai-andai, Wil. Kamu pikir kata 'andai' dan 'mungkin' yang terucap dari mulutmu bisa mengubah kenyataan buruk ini? Duniaku sedang tidak baik-baik saja. Tolong jangan bebani aku dengan ungkapan