Bab117Jeremy diam, sembari memandangi wajah cantik nyonya Jovanka."Saya ingin berinvestasi kepada perusahaan ini, dengan satu syarat."Memang dunia bisnis, tidak ada yang gratis, oke."Dengan senang hati, Nyonya. Tapi, apakah syaratnya itu?" Tentu saja Jeremy sangat welcome dalam hal ini. Karena bagaimana pun juga, perusahaannya memang masih sangat membutuhkan banyak dana.Perusahaan yang bergerak dibidang property dan bahan bangunan ini, tentu saja selalu mengharuskan, memiliki modal banyak untuk membuat sebuah proyek perumahan berjalan lancar."Syaratnya, menikahlah dengan putriku.""Menikah?" Jeremy tercengang, dengan syarat yang diajukan Nyonya Jovanka."Ya, menikahlah. Saya percaya, dengan ketampanan Anda, juga kebaikan hati, kalian pasti sangat cocok."Ngelag dalam sesaat, Jeremy tidak menyangka, akan mendapatkan syarat sekonyol ini."Apakah ini saya tidak salah dengar?" Kembali Jeremy bertanya, karena sulit baginya untuk percaya begitu saja."Benar, ini sangat serius! Jika ka
Bab118Sebuah restoran besar yang bernama Delicious Food, tempat Jeremy dan Rebecca, melakukan pertemuan penting dengan seorang klien besar dari kota Monarki."Mereka memiliki bahan bangunan terbesar, dan berdiri selama 3 tahun ini.""Siapa?""Tuan Khai Catwalk.""Nama yang tidak asing," celetuk Jeremy. Lelaki berbadan tegap, memasuki ruangan private, yang telah Rebecca pesan, untuk kepentingan meeting tersebut."Maafkan saya, apakah kalian telah menunggu lama?" tanya lelaki itu, membuat Jeremy terkejut, ketika melihat wajah si empu suara."Khan Wilson," seru Jeremy.Lelaki yang di panggil Khan Wilson itu tersenyum. "Saya Khai Catwalk, bukan Khan Wilson."Sulit di percaya, wajah lelaki yang bernama Khai Catwalk ini, begitu mirip dengan Khan Wilson. Lelaki yang telah mencampakkan, dan mempermalukan kakaknya."Kamu yakin?" "Tentu saja."Jeremy memandangi Rebecca, wanita itu mengangguk, seolah membenarkan jawaban lelaki di depannya.Meeting akhirnya di mulai, dan sukurnya bisa berjala
Bab119"Wow, Deslim ...." Terdengar suara nyonya Jovanka, menyebut nama Deslim.Jeremy menoleh ke arah pintu utama. Benar saja, sosok Deslim tengah berpelukan dengan nyonya Jovanka.Sudah sangat lama dia tidak bertemu wanita itu, nyaris 7 bulan yang lalu, Jeremy mengusirnya dari kantor. Saat itu, kondisi Deslim masih buta, tapi kini, wanita itu nampak jelas bisa melihat lagi."Rupanya dia juga mengenal nyonya Jovanka, dan datang ke pesta jamuan malam ini lagi," kesal Jeremy dalam hati. Andai dia tahu, akan bertemu Deslim di tempat ini, maka dia enggan datang."Tuan, mari kita nikmati hidangan malam ini," ajak Desca, yang di sambut senyuman oleh Jeremy."Bisakah kau mengajakku juga?" tanya Zacob penuh harap.Desca menatap Zacob sesaat. Desca merasa kesal, juga bingung."Sangat tidak normal, jika 1 wanita, di temani dua pria sekaligus," sahut Jeremy penuh arti."Come on Bro, ini hanya acara jamuan, bukan acara kencan," kata Zacob dengan terkekeh. "Lagi pula, aku yakin, nona Desca tidak
Bab120"Deslim," desah Jeremy. "Masih banyak meja kosong! Bukankah masih banyak tempat untuk kamu duduki," terang Jeremy."Aku ingin mengenal jauh, anak dari rekan bisnisku." Deslim pun menarik kursi, dan duduk dengan santai."Perkenalkan, aku Deslim, pengusaha muda dari kota Monarki," kata Deslim, sembari menyurung tangan untuk bersalaman.Desca pun berusaha tersenyum, meski dia tak suka dengan kehadiran Deslim diantara mereka.Meskipun merasa kesal, Desca menyambut tangan Deslim dan memperkenalkan diri juga."Nama yang indah, dan wajah yang juga cantik." Deslim memuji."Terimakasih, Nona Deslim.""Emm, kudengar, nyonya Jovanka, menjodohkan kamu dengan lelaki di samping ini."Desca melirik Jeremy."Tentu saja, apakah ada masalah?" sahut Jeremy. "Aku sangat menyukai wanita muda di depanku ini. Cantik, imut dan juga menarik."Pujian Jeremy seakan membuat Desca mengudara."Cih! Kau berlebihan sekali," kekeh Deslim. "Apakah kamu berniat membuat aku terbakar api cemburu?"Jeremy pun ikut
Bab121Jeremy melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, sembari melacak keberadaan Rebecca. Matanya sesaat terus melirik ke ponselnya, melacak titik lokasi keberadaan Rebecca."Tengah hutan?" Jeremy mengernyit, ketika titik merah telah muncul, menunjukkan titik lokasi wanita tersebut.Hati Jeremy seketika di penuhi kekhawatiran. _______Di dalam sebuah gedung tua bertingkat dua, di tengah hutan lebat, Rebecca terikat disebuah kursi kayu.Wanita itu dalam keadaan tidak sadarkan diri, dengan wajah lebam dan kening terkena goresan luka benda tumpul.Keberadaan wanita itu di lantai 1, dengan suasana ruangan yang lembab, di temani beberapa serpihan pelafon yang sudah rusak berjatuhan di lantai semen yang tidak berkeramik itu.Ponsel Rebecca tersimpan di dalam sepatunya. Wanita itu masih tidak sadarkan diri, setelah mendapat penganiayaan keras.Malam itu.Rebecca mendapat panggilan telepon."Kau harus mau!!""Tidak, aku sudah sangat jijik padamu.""Arnold White, tidak pernah suka dengan
Bab122Tubuh Rebecca seketika bergetar hebat, wajahnya memucat dengan tatapan mata ketakutan."Becca, ada apa? Mengapa menatapku seperti itu?" tanya Jeremy melembut. Lelaki itu sadar, tidak seharusnya dia membentak Rebecca seperti tadi.Air mata meluncur seketika, tapi wanita itu tetap diam menatap Jeremy."Rebecca, aku minta maaf." "Mengapa aku tidak mati saja," lirih Rebecca, membuat Jeremy menghentikan laju mobilnya, tepat di halaman parkiran club tersebut."Bukan kamu yang akan mati, tapi aku, atau Arnold mantan kekasihmu itu," tegas Jeremy, sambil melepas sabuk pengamannya.Rebecca memeluk lengan Jeremy dengan cepat. "Kumohon jangan pergi, jangan tinggalkan aku," pinta Rebecca.Jeremy merasakan ketakutan di dalam diri asisten nya itu. Perlahan, Jeremy melepaskan pelukan tangan Rebecca kepada lengannya. Lelaki itu menangkupkan kedua telapak tangannya, ke wajah Rebecca yang penuh luka lebam."Aku tidak akan meninggalkan kamu! Mulai hari ini, aku berjanji, aku akan menjaga kamu."
Bab123"Kau ...." Arnold mengeram, sembari melotot menatap Jeremy dengan tatapan marah."Pergilah dan cari wanita sialan itu! Aku yakin, dia sedang meratapi nasibnya yang akan terkubur di gedung tua itu.""Jadi kamu tahu keberadaanya?""Tentu saja, aku tidak akan memberitahukanmu, sebelum kamu mau, mencium sepatuku ini," jelas Arnold dengan angkuh.Lelaki itu menjulurkan kakinya, ke arah Jeremy. Jeremy memasang wajah memelas, kemudian dia berdiri, dan mendekati sepatu Arnold.Arnold tersenyum mengejek, dia mengira, bahwa Jeremy akan semudah itu melakukan perintahnya."Dasar lelaki payah," ejek Arnold, ketika Jeremy, memandangi sepatu Arnold tersebut."Aku yakin, kamu pasti baru melihat sepatu semalam ini kan!" lagi- lagi Arnold mengejek Jeremy.Hingga, terdengar suara erangan."Akkkhh, kakiku," pekik Arnold. Lelaki itu berguling- guling kesakitan, diikuti gelak tawa Jeremy Alexander.Jeremy mengeluarkan cincin besi dengan mata berbentuk kepalan tinju. Dia pun mengenakannya di jari man
Bab124Rebecca membuka mata, di sambut pemandangan yang tidak biasa dia lihat.Wanita itu menyisir seluruh ruangan dengan matanya, terlihat sosok Jeremy, tengah tertidur di atas sofa yang berukuran lumanya panjang.Kamar yang sekarang dia gunakan untuk beristirahat lumayan besar dan di lengkapi beberapa peralatan mahal.Rasa haus menghinggapi. Dengan perlahan, Rebecca mencoba bangun, namun tubuhnya tidak kuasa menahan sakit. Wanita itu merintih, menangis dengan pelan."Rebecca," panggil Jeremy. Entah sejak kapan, lelaki itu sudah terbangun dan menghampiri Rebecca."Kamu sudah bangun rupanya, ayo makan dulu, aku sudah menyiapkannya dari tadi." Jeremy meraih nampan, yang terletak di atas nakas. Nampan itu berisi nasi goreng bertabur daging di atasnya, dengan jus buah hangat."Sakkkiittt," rintih Rebecca."Jangan menangis, tahanlah! Kalau tidak, lukamu akan semakin terasa sakit. Setelah makan, dokter pribadiku akan kemari untuk memeriksamu.""Apa yang Tuan lakukan tadi di club?""Kamu t