“Maafin aku, Del. Aku sempet tadi curiga kamu masih ada hubungan sama Rangga,” ujar David sambil tertunduk. Separuh emosinya sudah menguap setelah meninju dinding tadi.
“Iya, Sayang ... aku justru curiga Papa lagi ngerencanain sesuatu sama Rangga,” ucap Adelia. Ia tepuk pundak suaminya mencoba menghabiskan emosi negatif yang tadi meledak-ledak.
“Belum bisa dibilang gitu sih. Soalnya aku nggak tau pasti Papa dan Rangga emang ketemuan atau cuma nggak sengaja ketemu di sana.” David mencoba meredam kecurigaan istrinya. Ia tak ingin Adelia menjadi tak akur dengan papanya.
“Kayanya aku harus tanya Mama deh.” Adelia menatap mata suaminya yang kini telah kembali seperti semula. “Soal ini biar aku yang urus. Aku sih yakin ada apa-apa dengan Mama dan Papa,” ujar Adelia. Ia lalu masuk meninggalkan David yang masih terus memandang dataran rendah di hadapannya.
David teringat kembali kata-kata mertuanya. Jika
David dan Andra saling pandang. Tak ada kata yang terucap dari bibir mereka berdua. David bergidik, seketika daerah sekitar tengkuk dan belakang kepala menghangat. Andra menaikkan wajahnya, mencoba bertanya ada apa namun tanpa suara. David menaikkan pundaknya.“Gue jadi merinding, Ndra,” ujar David sambil memperhatikan sekeliling.“Jangan-jangan....” Andra mengikuti gerakan David mengitari seluruh bagian ruang tamu dengan matanya.“Apaan?”“Itu bulu nggak mau dibalikin ke gue!” seru Andra.“Ah, ada-ada aja Lu!”David yang penakut terus saja memperhatikan seluruh area ruang tamu. Area jendela yang berbatasan dengan halaman samping yang gelap. Bahkan tirai yang bergerak membuatnya waspada. Ia meletakkan kertas kosong itu di atas meja. Di sisi cangkir kopi yang baru seteguk ia minum.“Bapak-bapak....!”“Astagfirullah....” teriak Andra dan David ser
Pak Ruslan menyalakan rokoknya. Ia baru saja memesan makanan dan minuman. Waktu di jam tangannya menunjukkan pukul 14:47. Lelaki muda yang ia tunggu sudah memberikan kabar akan segera tiba via pesan singkat. Setelah pertemuan yang tak sengaja di ATM tempo hari, ia jadi menyimpan nomor mantan tunangan putrinya itu. Sesuatu yang hampir tak pernah ia lakukan. Bahkan nomor menantunya sendiri tak ia simpan.Seorang lelaki tampan dan berpakaian rapi muncul di pintu rumah makan. Ia melambaikan tangan pada Pak Ruslan yang membalasnya dengan senyum merekah. Rangga memesan makanan pada seorang pekerja dan berjalan ke arah Pak Ruslan.“Sehat, Om?” sapa Rangga sambil menyalami pria yang hampir menjadi mertuanya itu.“Sehat, Ngga. Kamu sehat? Orang tuamu sehat semua?” tanya Pak Ruslan.“Alhamdulillah, semua sehat, Om. Tante sehat, Om?” Rangga duduk di hadapan Pak Ruslan.“Ya, begitulah, Ngga. Sebelum Adelia menikah, ia
Pukul enam belas tiga puluh enam menit, terdengar suara pintu mobil ditutup. Adelia segera bangkit dan melongokkan kepala. Pandangannya menembus jendela kaca ruang tamu.“Itu Mama, Vid! Lho, Papa juga ikut,” seru Adelia. Ia segera berlari hendak membukakan pintu untuk orang tuanya.“Del!” teriak David.“Apa?” Adelia sedikit menoleh ke arah suaminya.“Inget, kamu lagi hamil. Jangan lari begitu!” tegur David sambil bangkit dari duduknya. Adelia meringis dan menepuk dahinya sendiri. Lalu berjalan pelan membuka pintu.“Assalamualaikum....” seru Pak Ruslan dan Bu Ratri kompak. Senyum kedua orang tua Adelia ini mengembang begitu lebar.“Walaikumsalam....” senyum Adelia tak kalah lebar. Ia berusaha membusungkan perutnya semaksimal mungkin. Lalu berjalan pelan menyambut orang tuanya. David lalu muncul dan merangkul istrinya. Bu Ratri begitu bahagia melihat pasangan suami istri i
“Kamu ini kenapa nggak langsung dibuang sih?” gerutu David.“Maaf, Sayang ... kalo malem aku takut lama-lama di kamar mandi,” sahut Adelia muram.Mereka berdua lalu kembali ke halaman belakang selepas mengunci pagar dan pintu utama. Wajah mereka segera berganti mode menjadi ceria setelah tadi sempat tegang dan kesal.“Oh iya, Vid. Papa ada join usaha sama teman, customer Papa sih sebenarnya. Kami bikin rumah makan baru. Semacam kafe kekinian gitu. Nah, hari ini grand opening. Kita dateng yuk?” ajak Pak Ruslan.“Wah, boleh juga, Pa. Kebetulan aku mau join juga sama teman, mau buka kedai kopi gitu. Mungkin bisa aku tanya-tanya nanti ke temen Papa,” sahut David antusias. Adelia menatap David dengan tatapan penuh tanya. Suaminya belum cerita apa pun perihal ini.“Abis isya kita berangkat ya?”“Siap!”Adelia mengerlingkan mata pada suaminya. Ia tersen
David dan Adelia sampai di tempatnya tadi. Pak Ruslan dan Bu Ratri memandang kedatangan mereka dengan tatapan penuh tanya. David melihat Papa Mertuanya dengan penuh curiga. Memang benar tadi yang dilihatnya. Pak Ruslan baru saja kembali, tampak dari napasnya yang belum teratur.“Gimana, Vid? Del?” tanya Bu Ratri. Raut wajahnya penuh kecemasan.“Ya nggak gimana-gimana, Ma. Cuma diminta sampel urin aja. Hasilnya nanti di kasih tau katanya,” jelas Adelia. Ia lalu duduk di kursinya semula, begitu juga David.“Papa udah bicara sama si Don, kalo begini caranya pengunjung pasti bubar, tuh lihat! Tadi padahal rame banget,” gerutu Pak Ruslan.David dan Adelia hanya saling pandang. Kata-kata Pak Ruslan sudah mereka prediksi sebelumnya. Dalam hati pasangan suami istri ini sungguh tak tenang, apalagi Adelia. Ia memang duduk dan bergelayutan pada suaminya, namun benaknya sangat takut apabila benar Papanya dalang dibalik peristiwa in
“Vid, masih di sekolah?” tanya Adelia lewat sambungan telepon. Sudah pukul tiga sore dan suaminya belum pulang. Kegiatan belajar mengajar seharusnya sudah selesai sejam lalu.“Ini baru jalan dari sekolah, Del. Tadi ada murid yang kena cairan asam, jadi aku antar dulu ke puskesmas terdekat. Sorry nggak ngabarin,” jawab David sambil menjepit gawai diantara telinga dan pundak kirinya.David tak pernah menghitung sudah berapa kali ia berbohong pada Adelia demi bertemu sekedar berkomunikasi dengan gadis yang tengah sibuk di belakangnya ini. Janjinya untuk membantu Anjani menyulap rumah peninggalan orang tuanya menjadi kedai kopi harus terlaksana. Ia pun rela menginvestasikan tabungan yang rencananya akan dijadikan uang muka membeli rumah pada usaha yang akan Anjani kembangkan.Sudah satu jam ia berada di sini. Di sisi gadis yang hari ini terlihat tak memiliki perasaan lebih padanya. Pipi gadis berkacamata ini tak lagi merona saat Davi
Adelia menuruti perintah Papanya untuk segera duduk. Wajah pria tempatnya dulu bermanja itu begitu dingin tanpa senyuman. Digenggamannya terdapat gawai enam inci yang ia usap-usap layarnya. Adelia menunggu dengan sabar dan penuh kekhawatiran kata-kata yang akan keluar dari mulut pria itu.“Papa sudah pesan makan? Atau minum?” Adelia mencoba mencairkan suasana.“Nanti saja, ada yang ingin Papa tanyakan sama kamu,” ujar Pak Ruslan datar. Ia lalu meletakkan gawainya di meja.Jantung Adelia seperti tak lagi kuat menerima denyut yang semakin cepat. Darahnya terpompa cepat membuat titik-titik keringat sudah muncul di dahinya. Bahkan telapak tangannya sudah basah sejak tadi. Ia ingin menawarkan atau berkata sesuatu untuk mengalihkan perhatian, namun lidahnya seolah tercekat di tenggorokan.“Kemarin Papa ketemu Rangga,” ujar Pak Ruslan.Adelia melipat keningnya. Netranya menatap aneh wajah Papanya dan telinganya berusaha
“Jadi muridmu baik-baik saja?” tanya Adelia setelah beberapa saat tak bersuara. Sedang David seperti memberikan waktu untuk istrinya diam.Mata Adelia masih bersemu merah. Pipi kirinya masih terasa panas, meski kini tak sepanas hatinya. Dua hantaman telak menghujam hati yang seharusnya tengah berbunga. Tamparan Papanya di pipi saja sudah terasa sakit di hati. Ditambah dengan kenyataan suaminya masih saja berhubungan dengan gadis tetangganya itu.“Hmm, ya, dia baik-baik aja,” jawab David. Sesekali ia melirik ke arah Adelia. Istrinya itu belum menunjukkan perubahan mimik wajah yang spesifik.“Oh ya? Siapa namanya?” lanjut Adelia.“Hmm ... Adrian, ya Adrian namanya,” jawab David meragu.“Kamu yakin Adrian? Bukan Anjani?”David segera menoleh ke kiri. Istrinya itu terus memandang kosong jalan di hadapan mereka. Seolah tak pernah menyebut nama sakral itu. Kedua lengannya menyilang di dad