“Kamu ini kenapa nggak langsung dibuang sih?” gerutu David.
“Maaf, Sayang ... kalo malem aku takut lama-lama di kamar mandi,” sahut Adelia muram.
Mereka berdua lalu kembali ke halaman belakang selepas mengunci pagar dan pintu utama. Wajah mereka segera berganti mode menjadi ceria setelah tadi sempat tegang dan kesal.
“Oh iya, Vid. Papa ada join usaha sama teman, customer Papa sih sebenarnya. Kami bikin rumah makan baru. Semacam kafe kekinian gitu. Nah, hari ini grand opening. Kita dateng yuk?” ajak Pak Ruslan.
“Wah, boleh juga, Pa. Kebetulan aku mau join juga sama teman, mau buka kedai kopi gitu. Mungkin bisa aku tanya-tanya nanti ke temen Papa,” sahut David antusias. Adelia menatap David dengan tatapan penuh tanya. Suaminya belum cerita apa pun perihal ini.
“Abis isya kita berangkat ya?”
“Siap!”
Adelia mengerlingkan mata pada suaminya. Ia tersen
David dan Adelia sampai di tempatnya tadi. Pak Ruslan dan Bu Ratri memandang kedatangan mereka dengan tatapan penuh tanya. David melihat Papa Mertuanya dengan penuh curiga. Memang benar tadi yang dilihatnya. Pak Ruslan baru saja kembali, tampak dari napasnya yang belum teratur.“Gimana, Vid? Del?” tanya Bu Ratri. Raut wajahnya penuh kecemasan.“Ya nggak gimana-gimana, Ma. Cuma diminta sampel urin aja. Hasilnya nanti di kasih tau katanya,” jelas Adelia. Ia lalu duduk di kursinya semula, begitu juga David.“Papa udah bicara sama si Don, kalo begini caranya pengunjung pasti bubar, tuh lihat! Tadi padahal rame banget,” gerutu Pak Ruslan.David dan Adelia hanya saling pandang. Kata-kata Pak Ruslan sudah mereka prediksi sebelumnya. Dalam hati pasangan suami istri ini sungguh tak tenang, apalagi Adelia. Ia memang duduk dan bergelayutan pada suaminya, namun benaknya sangat takut apabila benar Papanya dalang dibalik peristiwa in
“Vid, masih di sekolah?” tanya Adelia lewat sambungan telepon. Sudah pukul tiga sore dan suaminya belum pulang. Kegiatan belajar mengajar seharusnya sudah selesai sejam lalu.“Ini baru jalan dari sekolah, Del. Tadi ada murid yang kena cairan asam, jadi aku antar dulu ke puskesmas terdekat. Sorry nggak ngabarin,” jawab David sambil menjepit gawai diantara telinga dan pundak kirinya.David tak pernah menghitung sudah berapa kali ia berbohong pada Adelia demi bertemu sekedar berkomunikasi dengan gadis yang tengah sibuk di belakangnya ini. Janjinya untuk membantu Anjani menyulap rumah peninggalan orang tuanya menjadi kedai kopi harus terlaksana. Ia pun rela menginvestasikan tabungan yang rencananya akan dijadikan uang muka membeli rumah pada usaha yang akan Anjani kembangkan.Sudah satu jam ia berada di sini. Di sisi gadis yang hari ini terlihat tak memiliki perasaan lebih padanya. Pipi gadis berkacamata ini tak lagi merona saat Davi
Adelia menuruti perintah Papanya untuk segera duduk. Wajah pria tempatnya dulu bermanja itu begitu dingin tanpa senyuman. Digenggamannya terdapat gawai enam inci yang ia usap-usap layarnya. Adelia menunggu dengan sabar dan penuh kekhawatiran kata-kata yang akan keluar dari mulut pria itu.“Papa sudah pesan makan? Atau minum?” Adelia mencoba mencairkan suasana.“Nanti saja, ada yang ingin Papa tanyakan sama kamu,” ujar Pak Ruslan datar. Ia lalu meletakkan gawainya di meja.Jantung Adelia seperti tak lagi kuat menerima denyut yang semakin cepat. Darahnya terpompa cepat membuat titik-titik keringat sudah muncul di dahinya. Bahkan telapak tangannya sudah basah sejak tadi. Ia ingin menawarkan atau berkata sesuatu untuk mengalihkan perhatian, namun lidahnya seolah tercekat di tenggorokan.“Kemarin Papa ketemu Rangga,” ujar Pak Ruslan.Adelia melipat keningnya. Netranya menatap aneh wajah Papanya dan telinganya berusaha
“Jadi muridmu baik-baik saja?” tanya Adelia setelah beberapa saat tak bersuara. Sedang David seperti memberikan waktu untuk istrinya diam.Mata Adelia masih bersemu merah. Pipi kirinya masih terasa panas, meski kini tak sepanas hatinya. Dua hantaman telak menghujam hati yang seharusnya tengah berbunga. Tamparan Papanya di pipi saja sudah terasa sakit di hati. Ditambah dengan kenyataan suaminya masih saja berhubungan dengan gadis tetangganya itu.“Hmm, ya, dia baik-baik aja,” jawab David. Sesekali ia melirik ke arah Adelia. Istrinya itu belum menunjukkan perubahan mimik wajah yang spesifik.“Oh ya? Siapa namanya?” lanjut Adelia.“Hmm ... Adrian, ya Adrian namanya,” jawab David meragu.“Kamu yakin Adrian? Bukan Anjani?”David segera menoleh ke kiri. Istrinya itu terus memandang kosong jalan di hadapan mereka. Seolah tak pernah menyebut nama sakral itu. Kedua lengannya menyilang di dad
Pukul tiga lima puluh pagi, David masih belum mampu memejamkan mata. Meski sudah ia basuh tubuhnya dengan wudhu dan mengadu kepada Rabbnya, ia tetap tak bisa tidur. Semalaman istrinya mengurung diri di dalam kamar. Sejak pukul sebelas malam ia tak melihat lagi tanda online di aplikasi penyelia pesannya pada kolom pesan Adelia. Ribuan sesal muncul di hati David.Entah mengapa ia begitu peduli dengan Anjani. Ia sampai rela berbohong demi menutupi keberadaannya di rumah gadis itu. Dan ia kini sama seperti tupai, jatuh meski pandai melompat. Mengapa tak juga ia berpikir potensi ketahuan keluarga Adelia saat ia di rumah Anjani kemarin siang. Sungguh gadis itu telah mengalihkan logikanya.Belum lagi perihal sandiwara istrinya yang belum ia tanyakan pasti ujungnya. Adelia begitu fokus pada kesalahan suaminya, mungkin baginya itu hal utama. Namun tersingkapnya sandiwara besar itu jelas akan memperunyam urusan atau bahkan berpotensi menghancurkan hubungan mere
Adelia terbangun karena perutnya lapar dan gerah. Kipas angin di kamarnya tak mampu menyejukkan udara. Ia lirik suami di sebelahnya, masih terlelap dengan dengkur yang mendesis. Ia raih gawai di atas nakas. Sudah jam sebelas tiga puluh. Pantas saja cahaya dari atas kusen jendela sudah begitu terang. Sepanjang malam tak tidur membuat mereka membalas waktu tidur sampai tengah hari.Perlahan Adelia bangkit, sisa-sisa tangisnya semalam masih terasa di kelopak mata. Pandangannya terasa kurang sempurna. Gontai ia berjalan keluar dari kamar. Ia tak peduli hari ini David ada jam mengajar atau tidak, kesehatan suaminya lebih penting.Adelia membuka lemari esnya, mencari apa ada yang bisa diolah cepat untuk mengisi lambungnya yang kosong. Ia pindai seluruh isi lemari es. Ia raih dua butir telur dan segera mengecek tempat menanak nasi.“Kok nggak bangunin?” tanya David sambil meraih botol air minum dari lemari es.“Eh, udah bangun? Ada jam nggak ha
David memacu mobilnya membelah jalan lintas yang terpanggang matahari. AC mobil ia hidupkan di tempertatur paling rendah dengan hembusan paling tinggi. Ia tampak begitu fokus untuk dapat tiba di rumah orang tuanya secepat mungkin. Wajahnya tegang, namun tak setegang perempuan cantik di sebelahnya.Adelia hanya mengalungkan jilbab di leher. Akan ia kenakan nanti saat hampir tiba di rumah mertuanya. Tangan kirinya mencengkram pegangan penumpang di atas kaca mobil suaminya. Alunan musik lembut dari head unit tak mampu membuat hatinya lebih baik. Ia begitu cemas akan menghadapi hal apa di rumah mertuanya.“Tegang, Del?” goda David.“Ye, kamu juga tegang. Ngebut lagi, gimana aku nggak tegang,” protes Adelia. David hanya tertawa kecil mendengar ocehan istrinya.Kecepatan mobil David tak berkurang, meski sang istri terlihat begitu tegang. Baginya hal seperti ini memang harus terjadi. Ia sadari sejak memutuskan menikahi Adelia ber
“Papa bilang apa, Bu? Pak?” Air mata Adelia meleleh tanpa ada isak yang menderanya. Kini ia mulai dikuasai emosi. Orang tuanya pasti sudah menorehkan luka dalam di hati dua insan rendah hati ini.“Sudah, nggak perlu kami katakan rinci apa yang Pak Ruslan katakan.” Bu Maryam menyeka air matanya.David bangkit dari duduknya. Ia tinggalkan istri yang tengah tak menentu perasaannya. Ibunya lebih butuh untuk dikuatkan. Entah apa yang telah dikatakan mertuanya. Kedua orang tuanya ini memang sering mendapat pendangan miring, tapi tak pernah sekali pun dimasukkan ke dalam hati. Namun beda cerita bila mertuanya sendiri pelakunya.Bu Maryam terisak dalam pelukan putra sulungnya. Ia bersyukur memiliki tempat bersandar selain suaminya. Ada rasa rikuh saat ia bertemu pandang dengan menantunya. Ia melihat titik kecemburuan di sudut mata Adelia. Biarlah, hanya sebentar. Dugaannya, putra pertamanya ini sering mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari m