Share

bab 5

Beberapa saat gadis itu berada di dalam kamar mandi, mendadak terdengar jeritan nya.

"Aaaaaaargggghhhh! Jangaaaaan!!!"

Suara Surti begitu keras, sehingga aku dan mbok Darmi terkejut dan saling berpandangan. Kami sontak berdiri dan menuju ke kamar mandi.

Mbok Darmi menggedor pintu kamar mandiku yang terbuat dari seng sehingga terdengar berisik.

"Sur! Surti! Kamu ngapain di dalam? Ayo keluar dari kamar mandi!"

Suasana hening sejenak. Tapi entah kenapa bulu kudukku meremang.

Mendadak terdengar suara tangisan yang menyayat dari mulut Surti.

"Tolong aku, Bu! Cari jasadku, Bu! Mereka jahat! Huhuhuhu!

Aku menelan ludah. Hanya satu pikiran yang terlintas di benakku. Surti kesurupan!

"Sulis, apa kamu keberatan kalau pintu ini kudobrak? Sepertinya Surti kesurupan!"

"Iya, Mbok. Dobrak saja. Daripada ada apa-apa dengan Surti," sahutku. "Lagi pula kayu tempat menempelnya engsel pintu ini sudah aus dan keropos, pasti mudah untuk mendobraknya."

Mbok Darmi menatapku.

"Ayo bantu aku, Lis."

Aku mengangguk lalu kami bersama-sama mendobrak pintu kamar mandi itu.

Braaaang!!! Braaaang!!!

Dua kali aku dan mbok Darmi mencoba mengarahkan berat badan kami untuk mendobrak pintu itu. Namun pintu itu masih tegak berdiri.

Dan saat kami hendak mencoba dobrakan yang ketiga, mendadak pintu kamar mandi terbuka dari dalam.

Aku dan mbok Darmi tercengang saat melihat Surti terdiam dengan kepala tertunduk. Rambut sepunggung Surti yang panjang dan tadinya diikat kebelakang sekarang tergerai dan menutupi wajahnya. Dan nafasku tercekat di tenggorokan saat melihat kaki Surti melayang.

Darahku berdesir dan jantungku berdebar kencang. Selama aku tinggal di sini, baru kali ini aku mengalami kejadian mistis seperti ini.

"Siapa kamu? Keluar kamu dari tubuh anakku! Dasar makhluk jadi-jadian!" hardik mbok Darmi. Mulutnya komat komit merapalkan sesuatu yang tidak bisa kudengar.

Surti yang awalnya terdiam dan menunduk mendadak mendongakkan wajahnya menghadap aku dan mbok Darmi.

Gadis itu menatap kami dengan keseluruhan mata yang memutih. Terdengar suara tangisan memilukan dari mulut nya.

"Tolong aku! Cari jasadku!"

Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Perlahan Surti melayang ke arah mbok Darmi. Dan dengan gerakan perlahan tangannya terulur ke arah mbok Darmi dan mence kik nya.

"Pergi kamu dari tubuh anakku!"

Tangan mbok Darmi mencengkeram tangan Surti dan berusaha melepaskan lehernya dari cengkeraman tangan Surti.

Mbok Darmi lalu menembang dalam bahasa jawa yang tak kumengerti artinya. Lalu dia menepuk kening Surti dan seketika Surti lemas dan jatuh pingsan menimpa tubuh ibu angkat nya.

"Surti!"

Aku segera membantu mbok Darmi memindahkan tubuh Surti ke lantai semen dapurku yang dingin.

Kutatap mbok Darmi dengan kebingungan.

"Mbok, apa Surti kesurupan ya? Padahal seumur-umur saya tidak di sini, saya dan keluarga saya tidak ada yang pernah kesurupan," tukasku bingung.

Mbok Darmi menghela nafas. "Seperti nya memang Damar sudah meninggal dan mungkin arwahnya gentayangan karena Damar mengalami hal yang buruk," sahut mbok Darmi.

Aku mendelik. "Jujur saja, jauh di dalam hati saya, saya hanya ingin anak saya masih hidup."

Mbok Darmi menatap mataku lalu mengelus bahuku perlahan.

"Kamu harus siap dengan apa yang terjadi, Lis. Apapun yang menimpa Damar, kamu harus ikhlas. Walaupun aku cuma punya anak angkat, aku juga bisa merasakan bagaimana kehilangan anak kandung."

Aku tercengang. "Jadi, mbok Darmi pernah punya anak kandung?"

Mbok Darmi mengangguk. "Belum waktunya aku cerita hal itu, Lis. Sekarang yang terpenting ambil kan aku air dalam gayung. Aku akan menyadarkan Surti."

"Apa tidak sebaiknya kita pindahkan dulu Surti ke kasur, Mbok. Kamarnya Damar kan kosong. Mbok Darmi dan Surti bisa tidur di sana."

"Itu urusan mudah. Sekarang yang penting menyadarkan Surti dulu. Ambilkan air di gayung untukku, Lis."

Aku mengangguk lalu dengan melakukan permintaan Mbok Darmi.

Sekali lagi mbok Darmi komat kamit beberapa saat lalu meniup air dalam gayung itu, kemudian diciprat-cipratkannya air itu ke wajah Surti.

Tak lama kemudian Surti membuka mata.

"Apa yang terjadi di dalam kamar mandi, Sur?" tanyaku cemas.

Surti menatap ku lalu menatap ibu angkatnya bergantian.

"Apa yang terjadi padaku, Bu?"

"Kamu kesurupan, Sur. Kamu istirahat saja. Sulis, dimana kamar Damar? Tolong tunjukkan pada Surti biar dia istirahat. Pasti dia masih kaget," pinta mbok Darmi.

Aku pun mengangguk lalu berjalan ke arah kamar Damar. "Ayo sini, Sur, ikut aku."

Sebenarnya aku agak kecewa karena tidak bisa bertanya ada apa di kamar mandi rumah ini pada Surti, tapi biarlah aku akan bertanya besok. Mungkin sekarang Surti memang masih terkejut.

Surti berjalan mengekori ku dan setelah gadis itu kupersilakan istirahat, aku kembali ke dapur, bertepatan dengan mbok Darmi yang baru saja selesai merapikan kardus yang sudah kosong.

"Mbok, ada yang ingin saya tanyakan."

Aku berjalan mendekat ke arah perempuan yang berusia setengah abad itu.

Mbok Darmi menoleh. "Ada apa, Lis?"

Aku menatap mbok Darmi. Janda yang sehari-harinya berjualan nasi pecel dan gorengan itu menatap ku. Sejenak aku ragu untuk bertanya padanya karena pertanyaanku menyangkut privasi dan keimanan.

"Ada apa, Lis?"

"Tapi mbok jangan tersinggung ya. Aku cuma bertanya karena penasaran saja. Tadi kulihat saat Surti kesurupan, mbok Darmi dengan mudah membuat Surti sadar. Ada tembang Jawa dan kata-kata lain yang aku tidak tahu artinya. Jadi mbok, apa mbok Darmi mempunyai ilmu ghaib? Mungkin semacam dukun?"

Mbok Darmi tertawa mendengar ucapan ku.

"Aku bisa sih kalau hanya menyadarkan orang kesurupan saja. Tapi kalau untuk mengetahui informasi orang hilang atau santet, maupun kasus mistis lain, aku nggak bisa. Makanya kamu harus bertemu dukun yang bisa melakukan semua hal itu."

"Apa mbok punya kenalan dukun yang bisa membantu saya?"

"Ada. Tapi rumahnya di seberang desa dan di tengah hutan. Makanya kamu jangan lapor polisi. Hal ini hanya bisa ditangani oleh paranormal."

Aku hanya mengangguk perlahan walaupun dalam hati aku tidak sepenuhnya setuju pada ucapan nya.

***

Aku menatap jam bulat yang menempel di tembok kamarku. Sudah jam 10 malam. Suara kentongan sebanyak sepuluh kali juga sudah berbunyi.

Mbok Darmi sudah masuk kamar sejak tadi. Tapi aku belum bisa memejamkan mata.

Kulirik Adinda yang sedang tertidur. Hatiku gerimis lagi. Apa yang salah dengan hidupku. Suamiku meninggal saat umur Adinda dua bulan. Dan saat usia Adina enam bulan, Damar pun pergi.

Air mata menderas tak dapat kutahan. Perasaan ku sesak dan aku tak tahu harus mengadu kemana. Mendadak selintas ide muncul di kepalaku. Kuraih ponsel lalu menghubungi pak Eko, guru olahraga sekaligus pembina ekstra kurikuler Pramuka.

Kutunggu nada sambung berubah menjadi suara pak Eko.

"Halo. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, pak Eko. Apa pak Eko mempunyai kenalan seorang polisi? Damar hilang dan sampai sekarang belum pulang ke rumah."

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status