Share

bab 4

Mobil pak Slamet melaju meninggalkan rumahku dan aku terkejut saat melihat Damar tanpa mata yang berpegangan di bemper belakang mobil Pak Slamet sambil 'menatap' dan menyeringai ke arahku!

Aku terkejut dan mengucek mataku lalu melihat ke arah mobil pak Slamet dan ternyata Danang sudah menghilang.

Aku menghela nafas dan duduk di anak tangga yang terbuat dari adukan semen dengan menopang dagu pada tangan kiri serta bersandar pada tembok rumah, mencoba memikirkan apa yang baru saja terjadi seharian ini. Tapi semakin dipikirkan, bukannya ketemu jawabannya, justru kepalaku terasa semakin pening. Nyeri ini seakan menggigiti kepalaku.

Desau angin malam membuat pikiran ku semakin gelisah membayangkan apa yang sebenarnya sudah terjadi pada Damar.

"Assalamualaikum."

Aku nyaris berjingkat saat mendengar suara salam. Dengan segera aku menoleh ke asal suara dan tampak lah mbok Darmi dan Surti, anak angkat mbok Darmi satu-satunya yang masih berusia 19 tahun.

"M-mbok Darmi?" tanyaku kelu. Saking seriusnya aku berpikir, sampai aku tak melihat kedatangan tetangga ku itu ke rumahku.

"Kenapa malam-malam kamu melamun di sini, Lis?" tanya Mbok Darmi.

Aku menelan ludah. Aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaran ku lagi. Dan aku tahu bahwa aku butuh teman untuk bicara.

"Mbok, dia ... kesini."

Mata mbok Darmi membeliak keheranan. "Dia siapa?"

"Masuk dulu, Mbok. Banyak yang ingin saya katakan," jawabku.

Mbok Darmi dan Surti lantas masuk ke dalam rumah. Perempuan tua itu menatap sekeliling rumah sebelum duduk di kursi kayu ruang tamu. Aku duduk berhadapan dengan mbok Darmi.

"Siapa yang datang, Lis?" tanya mbok Darmi antusias.

"Damar," sahutku singkat, ingin melihat reaksi mbok Darmi apakah dia akan percaya atau dia justru kan menganggap ku berhalusinasi. Mbok Darmi tercengang mendengar nya. Ah, sudah kuduga, dia mungkin saja tidak percaya pada ceritaku.

"Karena itulah aku datang kemari, Lis."

Kali ini aku yang terkejut. Jadi mbok Darmi sudah memprediksikan hal ini?

"Kalau kamu mengijinkan, aku akan menginap di sini bersama dengan Surti sekarang."

"Aku mau, Mbok. Tolong temani aku di sini. Aku sangat kebingungan dengan apa yang terjadi. Antara takut dan rindu pada Damar, Mbok."

Aku merasa hatiku sangat sakit. Belum lama mas Abdi meninggalkanku selamanya, dan kini Damar pun telah pergi dari hidupku.

"Tadi kamu bilanngkan kalau Damar kemari? Apa yang dikatakan oleh Damar?"

"Dia bilang dia minta tolong padaku untuk mencari jasadnya dan mereka telah jahat padanya."

"Apa dia tidak bilang siapa yang dimaksudkan?"

"Tidak, Mbok. Karena pak Slamet keburu datang ke sini dan mengantarkan sembako-sembako ini."

Mataku beralih ke aneka sembako dan tabung gas yang teronggok di ruang tamu.

"Apa yang harus saya lakukan, Mbok?"

Mbok Darmi menatapku dengan pandangan misterius.

"Kalau orang matinya nggak wajar apalagi dimakamkan secara tidak layak, orang itu pasti akan berusaha memberitahu kan kondisi nya pada orang terdekat nya. Mungkin hal ini yang terjadi pada Damar."

Mbok Damar menjeda kalimat nya dan aku masih setia menyimak.

"Sebenernya aku tidak percaya kalau Damar sudah meninggal. Lalu siapa mayat anak laki-laki yang tadi dimandikan di sini?"

"Sulis, orang yang sudah mati memang tidak bisa hidup lagi. Tapi setiap orang punya jin pendamping. Namanya jin Qorin. Jin itulah yang kemungkinan ingin menyampaikan kondisi Damar sekarang."

Mendadak aku teringat sesuatu.

"Mbok, tadi ... tadi saat pak Slamet pergi dari rumah ini, Damar menempel pada belakang mobil pak Slamet."

Mbok Darmi mendelik mendengar kan penjelasan ku.

"Apa kamu yakin, Lis?"

"Aku yakin sekali, Mbok."

"Apa sudah ada warga lain yang tahu tentang hal ini?"

"Tidak. Baru mbok Darmi dan Surti saja. Bahkan pak Slamet juga tidak tahu karena saya tidak mau dianggap aneh oleh beliau."

"Bagus. Memang seharusnya kalau hal seperti ini kamu pendam sendiri. Atau kamu cerita kan pada orang yang memahami hal mistis, Lis. Daripada bisa menimbulkan huru hara di desa ini."

Aku menelan ludah. Bingung.

"Lalu apa rencana kamu selanjutnya, Lis?"

"Aku akan lapor polisi, Mbok. Aku tidak ingin berlama-lama kebingungan mencari tahu serta bertanya-tanya tentang kondisi Damar.

Aku berharap kalau lapor polisi, Damar akan segera ditemukan. Semoga masih dalam keadaan hidup. Tapi kalau pun terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, aku akan menguatkan hati, Mbok!"

"Kalau boleh mbok memberi saran, jangan lapor polisi, Lis."

Aku mengerutkan kening. "Kenapa memangnya, Mbok?"

"Lapor polisi akan membutuhkan banyak uang, bisa membuat satu desa geger, lagipula hal mistis harus dilawan dengan mistis."

Aku mendelik mendengar perkataan mbok Darmi. Tapi kurasa ucapan orang tua itu ada benarnya.

"Aku akan memikirkan nya lagi, Mbok," sahutku segera.

"Baiklah. Kalau kamu memang mau menyelesaikan masalah kamu ke dukun, kamu bisa bilang padaku. Kita akan ke rumah dukun kenalanku bersama-sama."

Aku menghela nafas. Sebenarnya sejak kecil aku tidak begitu mempercayai dukun. Tapi aku diam saja karena ingin menghargai saran dari tetangga ku itu.

"Baiklah, Mbok. Aku akan membawa dan menata sembako ini ke dapur. Mbok Darmi dan Surti bisa istirahat di kamar Damar saja," tukasku mempersilahkan.

"Iya. Nanti aku dan Surti akan istirahat setelah membantu kamu membereskan sembako ini."

Kamipun mulai menyeret sembako dan tabung gas ke dapur sekaligus menatanya di rak.

Aku membuka satu kardus dan terkesiap melihat isinya. Ada mie instan, minyak goreng dan sarden. Aku menatanya dengan hati-hati rak makan.

Aku lalu mendekat ke arah Mbok Darmi dan Surti yang membuka kardus satunya yang ternyata berisi abon ayam, telur asin matang, telur ayam mentah dan amplop.

"Ada amplop nya, Lis!" lapor mbok Darmi seraya mengulurkan amplop padaku.

Aku menelan ludah lalu menerima amplop dari mbok Darmi.

"Buka saja di kamar kamu, jangan di sini. Itu kan untuk kepentingan kamu," ujar mbok Darmi.

Aku lalu memasukkan amplop itu ke saku daster.

"Nanti saja aku buka, Mbok. Pak Slamet itu baik ya. Kulihat beliau sering membantu warga desa yang kesusahan."

Mbok Darmi mengangguk. "Benar. Pak Slamet memang baik sekali."

"Mbak Sulis, aku mau ke kamar mandi. Itu kan kamar mandinya?" tanya Sulis yang melihat pintu kamar mandi terbuka.

Kamar mandiku memang dekat dengan dapur. Aku mengangguk. Sulis pun berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

Beberapa saat gadis itu berada di dalam kamar mandi, mendadak terdengar jeritan nya.

"Aaaaaaargggghhhh! Jangaaaaan!!!"

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status