Share

bab 3

Aku ingin menjerit sekuat tenaga tapi suaraku tak sedikit pun bisa keluar dari tenggorakan.

Aku hanya bisa tercengang dengan jantung yang berdebar kencang melihat Damar di hadapan ku. Anak itu memegang bahuku dengan mulut ternganga dan wajah tanpa mata. Cairan hitam berbau anyir mengalir dari mulutnya.

"Ibuuuu, aku rinduuu padamu! Tolong cari jasadku, Bu! Aku kedinginan di sini!" bisiknya lirih.

Aku terdiam dan terpaku. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku ingin memeluk dan menenangkan nya tapi aku takut. Tunggu, tapi apa katanya tadi, cari jasadku? Berarti Damar sudah ma ti?

"Huhuhu!"

Anak itu bersuara menangis tanpa air mata. Suara nya bergema memenuhi ruangan kamar.

Otakku membeku dan aku tidak bisa berpikir lagi. Antara ragu, takut, dan rindu. Aku ingin mengusirnya tapi di saat yang sama aku ingin menahan dan memeluk nya agar tidak pergi. Ingin membacakan surat pengusir setan, An-Nas, Al-Falaq, dan ayat kursi, tapi mendadak aku lupa semua surat dan ayat yang pernah kuhapal.

Akhirnya dengan susah payah, aku mencoba berbicara pada makhluk itu meskipun aku ketakutan setengah ma ti.

"Sa-yang, apa benar ini kamu? Apa yang terjadi padamu? Si-siapa yang berbuat jahat padamu, Nak?" tanyaku dengan terbata-bata. Akhirnya aku bisa bertanya pada makhluk itu meskipun dengan susah payah.

Makhluk itu terdiam. Tak lagi menangis. Wajahnya menghadapku lama. Mungkin kalau punya mata, dia sudah menatap wajahku lama. Badanku gemetar kian kencang terutama kakiku.

Makhluk itu hendak membuka mulut, namun mendadak terdengar suara ketukan dari arah pintu depan.

Tok! Tok! Tok!

Aku tercengang dan refleks menoleh ke arah pintu depan yang dibatasi tembok kamar. Dan saat aku menoleh kembali ke arah makhluk itu, ternyata dia sudah menghilang.

Aku menghela nafas panjang dan ambruk ke lantai. Kakiku tak bisa lagi menahan gemetar nya badanku. Walaupun tak bisa kupungkiri bahwa aku lega saat makhluk itu pergi, tapi dalam hati aku merasa semakin cemas memikirkan Damar yang belum jelas nasibnya.

Ketukan pintu itu semakin keras. "Bu, bu Sulis!"

'Ternyata suara pak Slamet.'

Kakiku masih terasa kesulitan untuk berdiri. Akhirnya dengan susah payah aku mengesot dan keluar dari kamar Damar. Saat sudah sampai ke ruang tamu, aku berpegangan pada kursi kayu lalu mencoba berdiri dan berjalan menuju ke arah pintu.

Klik! Klik!

Aku memutar anak kunci sebanyak dua kali lalu memutar gagang pintu perlahan.

Saat daun pintu terbuka, tampaklah pak Slamet membawa satu karung warna putih dan dua kardus berukuran besar. Di samping pak Slamet tampak pak Udin, supir pak Slamet yang gundul dan berbadan besar.

"P, pak Slamet?"

"Iya. Ini saya. Bu Sulis, saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya mewakili diri saya sendiri dan seluruh warga karena salah membawa jasad seorang anak laki-laki yang saya pikir adalah anak ibu."

Pak Slamet menjeda kalimat nya sejenak. Lelaki itu menatap wajahku lama. "Astaga Bu Sulis, bu Sulis tampak pucat sekali!" seru lelaki itu.

Aku menelan ludah. Bingung hendak menceritakan apa yang sudah kualami. Aku takut dianggap sudah gi la oleh kepala desa yang telah menjabat selama lima tahun itu.

"Pasti Bu Sulis masih penasaran dan khawatir karena Damar menghilang dan belum ditemukan. Jangan khawatir, nanti saya akan menginstruksikan pada seluruh desa untuk mencari Damar."

Aku hanya mengangguk lemah. "Terima kasih, Pak."

Pak Slamet tampak berpikir sejenak. "Hm, atau mungkin Bu Sulis pucat karena belum makan? Saya membawa kan sembako ini untuk Bu Sulis sebagai permohonan maaf dan santunan pada ibu," ucap Pak Slamet.

"Maaf Pak. Sebelumnya terima kasih atas perhatiannya pada saya dan anak saya. Tapi insyaallah sembako saya masih cukup dan saya juga masih bisa makan dengan hasil kebun di belakang rumah," sahutku merasa tak enak.

Meskipun tidak kaya, aku dan suami ku berusaha untuk menabung dan akhirnya bisa mendirikan rumah sederhana dengan tiga kamar. Meskipun lantai masih semen dan tembok masih berupa batu bata yang belum dicat.

Mas Abdi juga menanami sepetak tanah kecil di belakang rumah dengan aneka umbi, sayuran, dan buah pisang serta kandang ayam yang berisi sepuluh ayam negeri.

Sebelum meninggalkan, Mas Abdi memang gigih bekerja sebagai pedagang sayur mayur berkeliling kampung sambil membawa aneka nasi buatan ku. Dia selalu berpesan agar tidak mudah meminta atau menerima bantuan dari orang lain bila tidak benar-benar membutuhkan bantuan.

"Bu Sulis, saya mohon jangan menolak pemberian saya. Ini rejeki dan juga sebagai tanda permintaan maaf atas kecerobohan kami membawa jenazah tak dikenal ke rumah Bu Sulis," sahut Pak Slamet cepat.

Kepala desa itu lalu menoleh pada pak Udin.

"Udin, bawa barang-barang ini masuk ke dalam rumah!"

Udin mengangguk lalu menyeret karung beras dan mengangkat dua kardus itu ke dalam ruang tamu.

Aku hanya mematung melihat pak Udin yang mondar-mandir di ruang tamuku. Pak Slamet memang loyal. Walaupun dia termasuk orang kaya baru di desa ini, tapi dia tidak pernah sombong dan sering membagi-bagikan sembako serta uang untuk para warga desa, membuatnya disegani.

Aku pikir pak Udin dan pak Slamet langsung pulang setelah pak Udin selesai memindahkan sembako ke dalam rumah, tapi ternyata pak Udin kembali ke mobilnya lalu mengambil tabung gas berwarna merah muda dari dalam mobil Xpander pak Slamet.

Mataku membeliak saat melihat pak Udin membawa tabung gas itu ke dalam ruang tamu.

"Bu Sulis, tabung gas ini dibawakan ke dapur sekalian dipasangkan atau diletakkan di sini saja?" tanya Pak Udin sopan.

"Di sini saja," sahutku lirih.

Pak Udin menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya untuk membersihkan debu yang menempel saat semua barang sudah berpindah ke ruang tamu. Aku menatap kedua laki-laki itu dengan serius.

"Saya tidak bisa mempersilahkan bapak-bapak ini masuk ke dalam rumah, karena saya janda dan saya tidak ingin ada fitnah di sini. Jadi kalau ada yang masih ingin disampaikan, silakan sampaikan saja di sini." Aku menunjuk ke arah kursi di teras rumah yang terbuat dari bambu hasil karya suami ku saat dia masih hidup dulu.

"Baiklah Bu Sulis, kami rasa tidak ada yang perlu kami sampaikan lagi. Kami pamit dulu. Kami akan berupaya untuk menemukan Damar. Kalau perlu, kita bisa lapor polisi," tukas Pak Slamet dan pak Udin sebelum akhirnya berpamitan dan masuk ke dalam mobilnya.

Mobil pak Slamet melaju meninggalkan rumahku dan aku terkejut saat melihat Damar tanpa mata yang berpegangan di bemper belakang mobil Pak Slamet sambil 'menatap' dan menyeringai ke arahku!

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status