Sulis menangis tergugu. Hatinya sesak. Mendadak dia mendengar suara jeritan yang menyayat dari rumah mbok Darmi. "Aarghhh, tolong!!!"Sulis yang tadinya duduk bersimpuh di lantai dengan memegang buku harian Damar, sekarang mencoba berdiri dengan susah payah karena kaki dan lututnya masih terasa gemetaran. Pikiran Sulis masih mencerna cerita yang baru saja dibacanya. Akhirnya setelah menstabilkan nafas, dengan perlahan Sulis mengembalikan buku Damar ke tempat nya semula. Baru saja Sulis hendak menengok rumah mbok Darmi dari jendelanya yang terbuka, Sulis mendengar suara tangis yang begitu kencang. Setengah berlari, Sulis menuju ke kamar Adinda dan mencari penyebab Adinda menangis. Segera digantinya popok Adinda yang basah terkena buang air besarnya, dengan popok baru yang bersih. Lalu Sulis segera mengambil jarik dan menggendong Dinda sambil membawanya keluar rumah menuju rumah mbok Darmi, asal suara teriakan itu. "Tolong! Tolong ibu saya!"Baru saja Sulis menutup dan mengunci pint
'Ibu, apa yang harus aku lakukan sekarang?' batin pak Slamet galau bercampur bingung seraya melihat dengan sedih ke arah mbok Darmi yang masih pingsan. Mendadak pinggang Slamet dicolek dari belakang. Kepala desa itu menoleh dan melihat Surti yang tengah kebingungan. "Pak Slamet, saya ...""Ada apa Sur, kamu bilang saja."Surti menatap ke arah ibu angkat nya yang masih tertidur pulas. "Hm, saya bingung tentang ibu mau dirawat dikelas berapa?" tanya Surti ragu. "Sementara saya tidak punya cukup uang."Pak Slamet berpikir sejenak, 'duh kalau aku minta mbok Darmi dirawat di ruang yang bagus atau VIP, pasti nanti banyak warga yang merasa iri dan bertanya-tanya tentang hal ini. Mereka bisa curiga pada kami. Tapi kalau mbok Darmi dirawat di ruang bangsal, apa nanti tidak marah ya? Kalau begitu, lebih baik dirawat di kelas satu saja. Walaupun tidak ruang paviliun, setidaknya pasiennya tidak perlu berjubel,' batin Slamet. Akhirnya lelaki itu menatap ke arah Surti."Dirawat di kelas 1 saja.
Sulis baru saja memakaikan baju pada anaknya, Dinda, setelah anaknya mandi, saat ponselnya berbunyi nyaring. Dia segera meraih ponsel nya sambil menimang sang anak. "Halo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu Sulis. Ini pak Eko. Apa yang ingin ibu sampai kan?" tanya Pak Eko dari seberang telepon. "Hm, sebenarnya hal ini sangat aneh. Bersangkutan dengan hal mistis."Sulis menjeda kalimatnya. Menunggu reaksi guru anaknya itu. "Hal mistis? Maksudnya apa ya, Bu?" "Apa bapak percaya tentang santet dan jin qorin?"Suasana hening sejenak. "Jujur saja saya adalah orang yang selalu menggunakan logika dalam segala hal. Tapi saya juga mempercayai bahwa makhluk astral seperti itu ada, walaupun saya belum pernah melihatnya langsung."Suasana hening sejenak. Sulis dan Pak Eko sibuk dengan pikirannya masing-masing. "Pak, saya ingin mengatakan hal yang sejujurnya. Saya tidak tahu harus mengatakannya ke siapa. Saya menanggung nya seorang diri dan dada saya serasa sesak saya ingin menceritakan pa
Beberapa tahun yang lalu,Darmi pulang dari sekolah dengan mengendarai sepeda kayuhnya saat dia melihat kucing cantik yang kakinya sedang terluka di pinggir jalan depan sebuah rumah sederhana.Gadis itu segera turun dari sepeda nya lalu menghampiri kucing berwarna hitam."Hai, kamu cantik sekali! Nama kamu siapa?"Awalnya kucing itu tampak ketakutan dan hendak lari, tapi karena kaki nya terluka, dia hanya bisa pasrah saat Darmi mengelus tubuh berbulu nya. "Darah kamu keluar banyak. Aku ikat dulu dengan pita rambut ku ya agar darahnya tidak keluar lagi," ujar Darmi seraya berlutut dan membelai kucing itu. Dengan cekatan, Darmi pun melepas kan pita yang mengikat rambut kepang duanya lalu mengikatkan nya ke kaki kucing di hadapannya. Setelah selesai, Darmi menggendong kucing di hadapannya dengan hati-hati. "Jangan sentuh kucing saya!" seru seorang laki-laki tampan dan gagah yang keluar dari rumah sederhana di hadapan Darmi. Gadis itu tercengang dan melepaskan kucing dari pelukan nya.
(Masih) beberapa saat sebelumnya,Firasat Abdi mengatakan ada yang tidak beres. Maka dia pun mengikuti mobil Slamet dengan motor maticnya. Abdi melajukan motornya dengan gusar, sesekali dia melihat ke kiri dan ke kanan jalanan yang lengang. Hari ini masih sore lepas ashar, tapi entah kenapa jalanan sudah lengang. Abdi menatap ke mobil sedan warna merah di hadapannya, memastikan tidak ada suara minta tolong atau apapun yang terlihat wajar sehingga dia bisa lapor ke polisi. Tapi nihil, tidak ada reaksi dari bocah gelandangan yang tadi dibawa masuk ke mobil itu. Abdi meraba ponsel di saku celananya. Dia mendesis kesal saat menyadari jika ponselnya ketinggalan di rumah. Padahal dia sangat ingin merekam mobil itu, atau paling tidak menyimpan gambarnya. Akhirnya Abdi hanya bisa mengingat-ingat warna mobil dan plat nomornya saja. Mendadak mobil itu berhenti di pinggir jalan, tepat di sebuah warung bakso. Tapi tidak ada tanda-tanda penghuni mobil itu akan keluar ke warung. Abdi pun iku
Damar mencium punggung tangan Sulis, ibunya, saat akan berangkat ke sekolah untuk kegiatan Persami. "Bu, Damar berangkat dulu ya," ujar Damar seraya mengelus dan mencium kepala adiknya. Adinda yang sedang tertidur dalam gendongan ibunya menggeliat sedikit lalu kembali anteng. Ibunya menangkup wajah Damar dan mencium wajah dan pipi anak sulung nya. "Iya. Hati-hati di jalan, Sayang. Nanti malam kalau tidak hujan dan adikmu tidak rewel, ibu akan menengokmu," ujar Sulis. Damar mengangguk dan tersenyum sumringah lalu mengayuh sepedanya dengan riang. Jarak sekolah dengan rumah Damar cukup jauh, sekitar dua kilo. Bukannya di sekitar rumah Damar tidak ada sekolah, tapi memang Abdi dan Sulis memilih sekolah negeri agar biaya sekolah nya lebih murah dibandingkan sekolah swasta yang ada di dekat rumah Damar. Setelah berjalan hampir dua kilo dari rumah dan mendekati sungai, mendadak rantai sepeda Damar putus, sehingga tidak dapat dikendarai lagi. "Ya Allah, kenapa mesti putus sekarang sih
"Ibu ... ibu! Damar kangen sekali! Tolong aku pak Ustadz!"Tangan Ustadz Amir tetap memegang kepala Sulis. "Katakan siapa kamu dan dari mana asal kamu?" tanya ustadz Amir. "Saya qorin dari Damar. Saya hanya ingin jasad saya ditemukan dan dikuburkan dengan layak, Pak Ustadz! Huhuhu!"Ustadz Amir mengerut kan dahinya. Dia memang terbiasa berurusan dengan kesurupan dan berikhtiar mengobati santet, tapi belum pernah sekali pun dia berurusan dengan korban pelaku kriminal maupun pembun uhan. "Siapa yang membun uh kamu?" "Pak Slamet dan teman-teman nya. Banyak sekali anak-anak yang dibu nuh lalu dikubur di hutan. Termasuk Damar. Mereka ... mereka bahkan bekerja sama dengan jin besar berbentuk anjing. Saya tidak rela pak Ustadz! Saya ingin jasad saya ditemukan dan membalas perbuatan mereka!"Ustadz Amir merenung sejenak. Ini perkara sulit. Jelas sekali kalau mereka lapor polisi, polisi tidak akan mempercayai mereka. Mana bisa mereka yang selalu berpikir dengan logika mendadak menerima pet
Desi duduk di jok belakang mobil sedan warna merah dengan perasaan campur aduk. Bahkan di tengah perjalanan dia menangis. Supirnya Slamet, Udin, hanya melirik dari kaca spion yang tergantung di tengah mobil. Suasana mobil yang hening, mengakibatkan canggung bagi mereka berdua. "Kenapa kamu lihat-lihat aku?" tanya Desi galak, mendadak dia teringat kalau Udin, Tukiman, dan Parman adalah anak buah Slamet yang mengetahui bahkan ikut serta dalam proses tumbal itu. Bulu kuduk Desi langsung merinding, apalagi saat teringat mobil yang dia kendarai saat ini. "Saya hanya ingin menanyakan, ibu hendak diantar kemana?" tanya Udin lagi. "Antar aku pulang ke rumah saja," sahut Desi pendek. Dia memang punya rencana untuk mengemas semua perhiasan, uang tabungan, sertifikat rumah dan sertifikat berbagai aset lalu ingin pergi secepat nya pulang naik mobil sendiri ke rumah orang tua nya yang berjarak tiga jam dengan naik mobil untuk menyewa pengacara guna mengurus semua berkas perceraian nya. "Baikl