(Masih) beberapa saat sebelumnya,Firasat Abdi mengatakan ada yang tidak beres. Maka dia pun mengikuti mobil Slamet dengan motor maticnya. Abdi melajukan motornya dengan gusar, sesekali dia melihat ke kiri dan ke kanan jalanan yang lengang. Hari ini masih sore lepas ashar, tapi entah kenapa jalanan sudah lengang. Abdi menatap ke mobil sedan warna merah di hadapannya, memastikan tidak ada suara minta tolong atau apapun yang terlihat wajar sehingga dia bisa lapor ke polisi. Tapi nihil, tidak ada reaksi dari bocah gelandangan yang tadi dibawa masuk ke mobil itu. Abdi meraba ponsel di saku celananya. Dia mendesis kesal saat menyadari jika ponselnya ketinggalan di rumah. Padahal dia sangat ingin merekam mobil itu, atau paling tidak menyimpan gambarnya. Akhirnya Abdi hanya bisa mengingat-ingat warna mobil dan plat nomornya saja. Mendadak mobil itu berhenti di pinggir jalan, tepat di sebuah warung bakso. Tapi tidak ada tanda-tanda penghuni mobil itu akan keluar ke warung. Abdi pun iku
Damar mencium punggung tangan Sulis, ibunya, saat akan berangkat ke sekolah untuk kegiatan Persami. "Bu, Damar berangkat dulu ya," ujar Damar seraya mengelus dan mencium kepala adiknya. Adinda yang sedang tertidur dalam gendongan ibunya menggeliat sedikit lalu kembali anteng. Ibunya menangkup wajah Damar dan mencium wajah dan pipi anak sulung nya. "Iya. Hati-hati di jalan, Sayang. Nanti malam kalau tidak hujan dan adikmu tidak rewel, ibu akan menengokmu," ujar Sulis. Damar mengangguk dan tersenyum sumringah lalu mengayuh sepedanya dengan riang. Jarak sekolah dengan rumah Damar cukup jauh, sekitar dua kilo. Bukannya di sekitar rumah Damar tidak ada sekolah, tapi memang Abdi dan Sulis memilih sekolah negeri agar biaya sekolah nya lebih murah dibandingkan sekolah swasta yang ada di dekat rumah Damar. Setelah berjalan hampir dua kilo dari rumah dan mendekati sungai, mendadak rantai sepeda Damar putus, sehingga tidak dapat dikendarai lagi. "Ya Allah, kenapa mesti putus sekarang sih
"Ibu ... ibu! Damar kangen sekali! Tolong aku pak Ustadz!"Tangan Ustadz Amir tetap memegang kepala Sulis. "Katakan siapa kamu dan dari mana asal kamu?" tanya ustadz Amir. "Saya qorin dari Damar. Saya hanya ingin jasad saya ditemukan dan dikuburkan dengan layak, Pak Ustadz! Huhuhu!"Ustadz Amir mengerut kan dahinya. Dia memang terbiasa berurusan dengan kesurupan dan berikhtiar mengobati santet, tapi belum pernah sekali pun dia berurusan dengan korban pelaku kriminal maupun pembun uhan. "Siapa yang membun uh kamu?" "Pak Slamet dan teman-teman nya. Banyak sekali anak-anak yang dibu nuh lalu dikubur di hutan. Termasuk Damar. Mereka ... mereka bahkan bekerja sama dengan jin besar berbentuk anjing. Saya tidak rela pak Ustadz! Saya ingin jasad saya ditemukan dan membalas perbuatan mereka!"Ustadz Amir merenung sejenak. Ini perkara sulit. Jelas sekali kalau mereka lapor polisi, polisi tidak akan mempercayai mereka. Mana bisa mereka yang selalu berpikir dengan logika mendadak menerima pet
Desi duduk di jok belakang mobil sedan warna merah dengan perasaan campur aduk. Bahkan di tengah perjalanan dia menangis. Supirnya Slamet, Udin, hanya melirik dari kaca spion yang tergantung di tengah mobil. Suasana mobil yang hening, mengakibatkan canggung bagi mereka berdua. "Kenapa kamu lihat-lihat aku?" tanya Desi galak, mendadak dia teringat kalau Udin, Tukiman, dan Parman adalah anak buah Slamet yang mengetahui bahkan ikut serta dalam proses tumbal itu. Bulu kuduk Desi langsung merinding, apalagi saat teringat mobil yang dia kendarai saat ini. "Saya hanya ingin menanyakan, ibu hendak diantar kemana?" tanya Udin lagi. "Antar aku pulang ke rumah saja," sahut Desi pendek. Dia memang punya rencana untuk mengemas semua perhiasan, uang tabungan, sertifikat rumah dan sertifikat berbagai aset lalu ingin pergi secepat nya pulang naik mobil sendiri ke rumah orang tua nya yang berjarak tiga jam dengan naik mobil untuk menyewa pengacara guna mengurus semua berkas perceraian nya. "Baikl
Udin mendekati Parman dengan menyanyi, "Satu satu, aku sayang ibu ..."Parman menatap Udin dengan bingung. "Din, kamu kenapa sih? Jangan aneh-aneh lah! Serem tahu!" seru Parman dengan cemas tapi ditutupi nya ekspresi cemasnya dengan memaksakan tawa sumbang. Sementara itu Udin terus maju mendekati Parman yang melangkah mundur. Tangan Parman terulur ke depan Udin, mencoba menghalangi badan Udin yang terus maju. "Heh, stop! Jangan mendekat! Kamu kenapa sih? Apa kamu mabok bensin? Mabok lem aibon? Dasar aneh! Ayo bukakan pintu gudang nya!" seru Parman semakin panik. Udin tidak mengindahkan seruan Parman. Dia bahkan tetap menyanyikan lagu kesukaan nya. "Dua dua juga sayang ayah, tiga tiga sayang adik kakak ...""Heh, wong edan! Kowe stres apa gendeng kok ngunci aku di gudang? Kamu lagi ngeprank aku? Tapi aku nggak sedang ulang tahun!" seru Parman berusaha mencari-cari saklar lampu. Klik! Saklar lampu berhasil ditekan. Dan dalam sekejap gudang menjadi menyala dan terang. "Arrrrgh!"
Tiga hari yang lalu,Ustad Amir mengangguk. "Insyallah, saya dan saudara saya akan membantu kamu, Damar. Sekarang kamu boleh pergi, kasihan ibu kamu butuh banyak energi untuk bersinggungan dengan jin seperti mu."Damar menatap ustadz Amir. "Semoga pak Ustadz menepati janji padaku!"Ustadz Amir terdiam sejenak dan menatap ke arah Damar yang masih merasuki Sulis. "Damar, saya mempunyai rencana. Tapi kamu harus mengikuti rencana saya agar para penjahat yang membunuh mu bisa ditangkap.""Saya tidak hanya ingin mereka ditangkap, saya hanya ingin mereka ma ti pak Ustadz."Ustadz Amir hanya bisa menghela nafas panjang mendengar kata-kata Damar. "Itu terserah kamu, tapi saya butuh agar kamu memancing mereka ke rumah kamu. Saya akan menempatkan Eko, adik saya, dan memasang Cctv di rumah kamu. Kami butuh bukti untuk melapor pada polisi dan mengajak mereka mencari kuburan kamu. Apa kamu paham?"Sulis terdiam dan mendadak menyeringai lebar. "Baiklah, Pak Ustadz. Saya tahu apa yang harus saya ke
Damar baru saja dimasukkan ke liang lahat saat gerimis hujan membasahi bumi. Sulis tertegun saat menatap para penggali kubur yang mengeruk tanah dan menutupkannya ke atas makam Damar. Mendadak memori saat Damar masih hidup tergambar dengan jelas di kepala Sulis. "Damar! Damar anakku! Pak, keluar kan anak saya dari dalam dan!" seru Sulis langsung menghambur ke batu nisan milik Damar. Sulis memang bersikeras untuk mengantarkan Damar ke tempat peristirahatan terakhir nya, karena Adinda dititipkan pada istri Eko. Tapi rupanya, Sulis tidak bisa mengendalikan diri saat melihat Damar dikuburkan. Perempuan itu menangis meraung-raung saat jenazah Damar mulai tertimbun tanah. Tanpa menghiraukan hujan yang mengguyur dan tanah becek yang mengotori baju Sulis, perempuan itu berlutut dan memeluk batu nisan putra sulung nya. "Ya Allah, Damar! Kenapa Engkau memberikan aku cobaan seperti ini ya Allah! Aku nggak kuat, Ya Allah!" seru Sulis menangis dengan tersedu-sedu di atas makam anaknya. Bebe
Suara ketukan di pintu rawat inap Mbok Darmi, membuat Surti tersentak dan mengalihkan pandangan nya dari ponsel iPhone yang selama ini dirahasiakan nya. Surti lalu beranjak ke pintu dan terkejut saat melihat seorang suster yang berdiri di ambang pintu. "Mbak ini keluarga dari mbok Darmi kan?" tanya suster itu.Surti mengangguk dan suster itu mengeluarkan amplop putih dari saku bajunya. "Ini ada tagihan pembayaran dari rumah sakit. Ibu Darmi sudah hampir sepuluh hari dirawat dan belum ada uang muka. Jadi pihak rumah sakit, meminta mbak ini untuk membayar tagihan selama sepuluh hari ini dahulu."Surti menelan ludah dengan susah payah. Mbok Darmi memang dirawat di ICU setelah tragedi kesurupan jin Damar, sedangkan Surti menunggu nya di paviliun agar tidak bolak balik ke rumah nya, itupun atas usul Damar. Tangan Surti meraih amplop putih itu dan memandang sang suster. "Baiklah. Saya akan baca tagihan rumah sakit dulu, Sus, baru kemudian saya bayar."Suster itu mengangguk dengan sopan